Sawit, Sosialisme yang Tersesat di Kebun Kapitalisme


Wong ndeso itu kalau disuruh milih antara sawit dan sawah, ya milih yang bisa buat ngopeni anak lanang sampe jadi sarjana. Lha kok bisa-bisanya dulu, negara ini pernah punya program sawit yang sungguh mulia dan masuk akal — kok malah sekarang tinggal kenangan yang dilindungi oleh arsip berdebu?
Saya dulu sempat ngintili kawan-kawan peneliti Eropa. Bukan karena saya bule, tapi karena saya bisa minum kopi sambil ngguyu dengerin logat Belanda yang berusaha ngomong “petani sawit” kayak baca mantra Jawa. Mereka meneliti evolusi bisnis sawit dari jaman VOC nginceng kelapa sampai jaman sekarang di mana label “ramah lingkungan” jadi tambalan moral atas kerakusan global.
Yang bikin saya garuk-garuk kepala — dan kepala tetangga juga kalau diajak ngobrol — adalah fakta bahwa negara ini dulu pernah punya reforma agraria yang benar-benar niat. Bukan model “bagi-bagi tanah trus selfie bareng menteri”, tapi beneran program yang terstruktur, sistemik, dan nggak koruptif. Namanya PIR — Perkebunan Inti Rakyat.
Bayangkan, Petani disediakan lahan, dikasih rumah, jalan, sekolah, puskesmas, dan koperasi. Ya Allah, ini bukan mimpi. Bahkan hutangnya ke bank — yang pada zaman itu 3 juta rupiah — bisa lunas dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Sekarang? 3 juta baru cukup buat ngisi bensin Fortuner-nya bos pabrik sawit seminggu.
Jadi ceritanya begini: pemerintah saat itu nyuruh BUMN (kayak PTPN) buat jadi induk perusahaan, mereka bikin kebun sawit dan pabrik CPO. Petaninya? Dikasih lahan plus koperasi sebagai badan hukum. Bahkan, koperasi ini bisa punya duit miliaran — zaman itu! — karena sawit lagi mahal dan petani bisa panen rejeki. Kalau negara serius, mestinya koperasi ini sekarang udah kayak Nestlé tapi versi rakyat. Tapi ya itu… mestinya.
Sayangnya, pas masuk tahun 80-an, dunia lagi demam neoliberalisme. Kita juga ikut-ikutan panas. Lah, yang dulunya semangat gotong royong jadi mental go-tong-sorong. Izin konsesi lahan yang mestinya bisa jadi hak koperasi, malah dikasih ke pengusaha aseng, asing, dan asu-asuan lainnya.
Petani, yang awalnya jadi aktor utama, sekarang cuma jadi figuran. Bahkan banyak yang terlempar dari tanah sendiri. Ironis? Iya. Tapi lebih ironi lagi kalau kita sadar bahwa semua ini bukan semata-mata karena ketololan internal — tapi karena sistem global memang ndak pengin petani kita pinter dan mandiri. Dunia takut. Bayangin kalau petani Indonesia bisa punya korporasi besar, punya pabrik, punya logistik sendiri — wah, itu bisa jadi mimpi buruk WTO dan IMF. Bisa bubar kartel dagang.
Lah kita? Kita malah bangga jadi pelayan. Lahan jutaan hektar dikasih ke konglomerat. Padahal dulu, koperasi petani sawit hampir punya kesempatan jadi kekuatan ekonomi nasional. Tapi aturan konsesi kita kayak dibikinin khusus buat ngusir rakyat dan nyambut investor. Undang-undang kita jadi kayak pagar yang lebih sayang maling daripada pemilik rumah.
Ini semua bisa dilacak ke “perubahan DNA” bangsa kita pasca 1965. Dulu kita punya napas sosialisme. Sekolah rakyat. Ekonomi kerakyatan. Tapi setelah dikudeta secara ideologis, kita dicekoki kapitalisme dengan kemasan pembangunan. Jadi sejak itu rakyat hanya jadi slogan di spanduk — bukan subjek dalam pembangunan.
Sekarang, coba Anda tengok. Kata “rakyat” cuma muncul di judul: sekolah rakyat, pasar rakyat, rumah sakit rakyat. Tapi isinya? Jangan tanya. Mahal, susah diakses, dan kadang bau pungli.
Kesimpulannya? Reforma agraria yang dulu pernah nyata lewat program sawit PIR bukan utopia. Ia pernah berdiri, tegak dan jalan. Tapi karena kita memilih jadi bangsa yang lebih suka jadi penjaga pintu investor, daripada tuan rumah atas negeri sendiri, ya wajar kalau kita sekarang cuma bisa cerita. Bahkan cerita pun harus ditulis pakai gaya humor, biar nggak terlalu pahit ditelan.
Tapi tenang saja. Kita bangsa yang punya tradisi panjang dalam hal… sabar. Kalau udah mentok sabarnya? Ya tinggal revolusi. Tapi ingat, revolusi itu nggak harus bawa parang. Kadang cukup dengan… menanam sawit lagi, tapi kali ini benar-benar untuk rakyat.
kalau sekarang ada yang nyeletuk, “Reforma agraria itu cuma mimpi,” ya bolehlah kita jawab dengan senyum sinis: “Ndak, Bos. Dulu itu sudah kenyataan. Cuma keburu digusur oleh mimpi orang lain — yang lebih mahal, lebih licik, dan lebih putih kulitnya.”
Program PIR sawit pernah jadi bukti bahwa negara bisa kok serius mikir rakyat, asal nggak sibuk ngitung fee proyek dan bagi-bagi jatah kursi. Bahwa petani bisa jadi konglomerat kalau sistemnya adil dan koperasi bukan sekadar pajangan dalam pidato 17 Agustusan. Bahwa reforma agraria bukan soal bagi tanah kosong ke orang bingung, tapi menata kembali struktur ekonomi agar petani tidak cuma jadi tukang panen buat dapur korporasi asing.
Tapi ya sudahlah, kita ini bangsa yang pelupa. Lupa bahwa dulu pernah bisa. Lupa bahwa pernah punya mimpi, lalu dikemplang realitas neolib. Yang penting sekarang, jangan cuma teruskan amnesia. Karena kalau rakyat masih mau belajar dari akar sejarahnya sendiri — ya masih ada harapan, walau kecil dan tersembunyi di balik rimbunnya kebun sawit yang sekarang lebih banyak milik orang kota.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, koperasi petani sawit bangkit lagi. Bukan buat ikut seminar, tapi buat ngambil alih pabrik. Bukan buat minta tolong, tapi buat bikin kebijakan. Lha wong Tuhan aja konsisten sama hukum sebab-akibat, masa kita kalah sama malaikat?
Sawit boleh tinggi, tapi martabat rakyat harus lebih tinggi. Kalau tidak, ya siap-siap aja jadi penonton di ladang sendiri. Dari hutan yang dulu rakyat punya, kini tinggal sisa peta konsesi. []
Pakem, 15 Juli 2025