CakNun.com

Truk Raksasa Tanpa Sopir

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Randy Laybourne on Unsplash

Kita ini, adalah makhluk yang diberi kemampuan mencipta, tetapi juga dengan kelemahan untuk lupa. Manusia dan masyarakat modern, dalam kecepatan luar biasa yang mereka bangun, seperti pelari maraton yang sudah kehilangan arah — terus melaju, tapi tak tahu lagi ke mana tujuannya. Kita menyebutnya modernitas. Kita menyebutnya kemajuan. Tapi sesungguhnya, kita juga sedang menyebut bencana yang samar-samar — tersembunyi, tapi mengintai seperti ular di balik semak.

Kita ini, mohon maaf, seperti bocah-bocah yang bermain-main dengan petasan tanpa tahu bahwa itu bisa meledakkan seluruh rumah. Kita mencipta teknologi yang luar biasa: kecerdasan buatan, senjata nuklir, rekayasa genetika, pengawasan digital, tapi kita lupa menyiapkan akhlak, etika, dan kebijaksanaan untuk menuntunnya. Ini yang oleh para filsuf disebut sebagai the invisibility of catastrophe. Ancaman bencana tak terasa karena ia menjelma dalam kenyamanan. Maka kita pun menunda reaksi moral dan politik. Karena bencananya tidak terasa mendadak, maka kita mengira tak ada bencana sama sekali.

Dalam budaya Jawa, ada istilah: “ngelmu tanpa laku,” Ilmu yang tak dibarengi dengan pelaksanaan, etika, kesadaran spiritual, adalah seperti rumah tanpa atap — dari luar tampak megah, tapi dalamnya basah kuyup oleh hujan. Modernitas itu seperti rumah semacam itu. Megah, penuh perangkat canggih, dipenuhi impian manusia tentang kesejahteraan dan kebebasan. Tapi di dalamnya, diam-diam bocor oleh kegelisahan, keterasingan, kerusakan lingkungan, dan keputusasaan rohani.

Sejak dulu, Prometheus mencuri api dari para dewa dan memberikannya pada manusia. Tapi ia tak bisa mencuri hikmah, tak bisa mencuri kebijaksanaan. Maka sampai hari ini, kita menyaksikan bagaimana manusia terus membakar dunia dengan apinya sendiri — bukan untuk menerangi, tapi untuk membakar. Itulah yang disebut sebagai jebakan promethean: kita mencipta lebih cepat daripada kita bisa bertanggung jawab. Kita memproduksi risiko-risiko baru yang bahkan belum kita kenali bentuknya.

Modernitas, memang, telah membebaskan kita dari dogma, dari feodalisme, dari banyak kekangan lama. Tapi ia juga mencabut akar-akar sosial kita dari tanahnya, dari komunitas, dari nilai-nilai lokal, dari kebersamaan. Ia melemparkan kita ke ruang global, tapi kadang tanpa kompas. Giddens, ilmuwan sosial itu, menyebut masyarakat kita seperti truk raksasa tanpa sopir. Berjalan cepat, berat, penuh muatan, tapi tak ada yang tahu siapa yang memegang kemudi.

Apakah kita akan diam saja? Atau apakah kita akan menjadi saksi bisu atas apokalips buatan kita sendiri — bukan kiamat dalam pengertian kitab suci, tapi kehancuran akibat ulah kita sendiri yang terlalu sombong dan tergesa?

Saya tidak tahu jawaban pastinya. Tapi saya yakin, dalam setiap hati manusia masih ada ruang untuk mendengar panggilan langit. Bahwa kita ini bukan mesin. Bahwa kita ini bukan hanya otak yang bisa mencipta. Tapi juga jiwa yang harus mengasuh. Maka marilah kita kembali merangkai teknologi dengan kebijaksanaan, ilmu dengan kasih sayang, modernitas dengan nurani. Karena tanpa itu, truk raksasa kita mungkin akan menabrak jurang yang tak terbayangkan.

Jika benar dunia ini adalah truk raksasa tanpa sopir, maka jangan-jangan kita semua bukan hanya penumpang. Jangan-jangan, kitalah para sopir yang lupa sedang menyetir. Lupa bahwa setir itu bukan hanya di tangan teknolog, bukan cuma di tangan politisi, bukan semata urusan ilmuwan — tapi juga milik setiap insan yang memilih diam atau bersuara, apatis atau sadar.

Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apa yang akan terjadi pada dunia?” Tapi: “Masihkah kita memilih untuk membiarkan truk ini melaju tanpa arah — atau bersedia merebut kembali setirnya, sebelum semuanya benar-benar terlambat?” Karena kiamat terbesar bukan ketika bumi meledak. Tapi ketika manusia berhenti merasa bertanggung jawab.[]

Panaruban, 02 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo

Tepat di kaki Merapi yang seperti ndhodhok tapi waspada itu, para petani, seniman, anak-anak alam, dan bocah-bocah yang masih percaya pada embun pagi, bikin geger dengan satu istilah yang mungkin bikin dosen filsafat gatal kupingnya: Andhudhah Kawruh Sinengker.
Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version