CakNun.com

Koperasi dan Tragedi Menjadi Diri Sendiri

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Kita ini bangsa yang aneh. Kalau bisa meniru, kenapa harus berpikir? Kalau bisa menjiplak, kenapa harus menggali dari akar sendiri? Bahkan yang lahir dari rahim rakyat pun, ketika sudah gede, malah ingin jadi anak kota — berjas necis, berbicara efisiensi, dan memakai istilah manajemen strategik sambil melupakan bau tanah tempat ia dulu menyusu.

Begitulah kira-kira nasib koperasi di negeri ini. Dulu katanya lahir dari cita-cita kerakyatan, keadilan ekonomi, gotong-royong — pokoknya semua istilah yang kalau disebutkan membuat air mata menitik. Tapi begitu besar, ia dipaksa ikut lomba lari bersama perusahaan multinasional yang sejak kecil sudah minum susu formula dari Swiss. Mana bisa menang?

Ada tiga jenis “salah asuh” yang menimpa koperasi kita. Pertama, salah asuh dari negara. Ini jenis kepalsuan koersif. Koperasi dibuat bukan karena rakyat butuh, tapi karena negara butuh rakyat untuk nurut. Jadilah KUD, Kopdes, Koptan, dan macam-macam nama yang seolah akrab tapi sejatinya asing. Mereka seperti bayi tabung: dibikin dengan teknologi kebijakan, bukan cinta gotong royong. Lahir bukan dari rahim rakyat, tapi dari birokrasi yang lebih suka data ketimbang doa.

Yang kedua, kepalsuan mimitik. Koperasi jadi peniru. Tapi peniru yang nggak ngerti siapa yang ditiru. Meniru korporasi tapi lupa bahwa korporasi memang tidak punya rasa iba. Koperasi pakai istilah profit orientation, cost efficiency, dan key performance indicators — tapi nggak ngerti key-nya siapa, performance-nya buat siapa, dan indikator-nya apa. Gotong royong ditukar dengan kompetisi. Persaudaraan diseret ke ruang meeting. Dan pengurus koperasi bangga karena pakai Excel, padahal anggota-anggotanya tidak tahu kenapa harga sembako naik terus.

Ketiga, kepalsuan normalitatif. Yang ini sudah level dewa. Saking seringnya bohong, jadi biasa. Koperasi yang isinya cuma satu keluarga. Koperasi yang pinjamannya lebih mencekik dari rentenir. Koperasi yang hanya hidup karena proyek, bukan karena kepercayaan anggota. Ini bukan koperasi. Ini koperasih, singkatan dari “koperasi tapi mirip perusahaan siluman”.

Maka jangan heran kalau orang sekarang lebih percaya aplikasi pinjaman daring daripada koperasi. Meski bunga aplikasi itu setara dengan neraka kecil di bumi, setidaknya mereka jujur: mereka memang kapitalis. Koperasi kita? Seringkali tidak kapitalis, tidak sosialis, tidak koperatif, dan tidak jelas hidupnya dari mana.

Padahal, koperasi itu mestinya bukan sekadar organisasi. Ia itu semacam pondok pesantren ekonomi rakyat — tempat belajar bareng, tumbuh bareng, jatuh bangun bareng, dan makan gorengan bareng sambil mikir nasib. Tapi sekarang, koperasi malah jadi korban dari tiga hal yang mestinya ia lawan: kekuasaan yang otoriter, pasar yang rakus, dan budaya yang permisif terhadap kepalsuan.

Maka kalau hari ini ada pejabat yang masih bilang “koperasi adalah sokoguru perekonomian nasional,” mari kita tanyakan: sokoguru siapa? Gurunya siapa? Sokonya masih kuat, atau sudah lapuk dimakan rayap proyek?

Menjadi koperasi sejati itu, ternyata, lebih sulit daripada menjadi perusahaan besar. Karena koperasi sejati menuntut kejujuran, kebersamaan, kesabaran, dan keberanian menjadi diri sendiri. Dan itu, Saudara-saudaraku, adalah nilai-nilai yang sedang punah di republik yang terlalu sibuk mengejar ranking dan lupa belajar kasih sayang.

Koperasi itu mestinya bukan sekadar papan nama. Ia adalah jalan sunyi — jalan yang mungkin tidak menguntungkan cepat, tapi menyejahterakan di dalam. Ia adalah rumah, bukan kantor. Tapi rumah yang pintu dan jendelanya tidak bisa digadaikan untuk proyek siapa pun. Dan kalau sekarang jiwanya entah ke mana, mari kita cari bersama-sama. Barangkali ia sedang duduk di surau, menunggu kita datang, bukan sebagai investor, tapi sebagai saudara.

Maka kalau koperasi hari ini tampak seperti rumah tua yang reyot, jangan buru-buru menyalahkan gentengnya. Barangkali kita semua memang sudah terlalu lama berteduh di bawah kebohongan dan pura-pura, sampai lupa bagaimana rasanya membangun dari kejujuran dan rasa percaya. Dan jika ada yang bertanya, “Masih adakah harapan bagi koperasi?”    jawaban kita bukan pada pidato pejabat atau seminar berbiaya miliaran, tapi pada satu langkah kecil: berani kembali jadi manusia. Karena koperasi, pada akhirnya, hanya bisa tumbuh kalau manusianya memilih hidup dalam nilai — bukan sekadar dalam neraca laba rugi. Dan itu, saudara-saudaraku, adalah bentuk perjuangan paling sunyi di tengah zaman yang bising oleh ambisi. []

Nitiprayan, 27 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Governmental Organization Tutup Buku

Governmental Organization Tutup Buku

Era 1990-an itu, bukan hanya zamannya celana cutbray terakhir sebelum punah, atau kaset pita yang kalau pitanya kusut kita gulung pakai pensil 2B.

Redaksi LKMS
LKMS
Exit mobile version