Andhudhah Kawruh Sinengker: Ganesha, Godzilla, dan Gubuk Suroloyo


Karo aku dijlentrehke pelan-pelan. “Andhudhah” itu artinya ngregeti, mbongkar, nyelidiki. “Kawruh” ya ilmu, pengetahuan, kawicaksanan. “Sinengker” itu disembunyikan, dikunci, digembok, kadang dikubur di bawah pohon sawo yang cuma bisa dibuka pakai mantra dan hati yang bersih. Jadi, ya kurang lebih artinya: membongkar pengetahuan yang disembunyikan. Tapi tenang, iki bukan kode untuk nyolong skripsi di repository kampus.
Di tahun ke-24 Festival Lima Gunung (FLG) — festival rakyat yang lebih sakral dari debat capres dan lebih meriah dari konser band nostalgia — mereka nggak cuma hadirkan tarian, kidungan, dan suara gamelan yang bisa bikin batu nangis, tapi juga sebuah Ganesha raksasa, ukuran 7 x 4 meter, yang nggak terbuat dari plastik atau fiberglass, tapi dari bahan-bahan alam pertanian Gunung Merapi.
Dewa ilmu pengetahuan itu dibentuk dari jagung, jerami, gedebok pisang, mungkin juga disisipi kopi Merapi biar melek terus. Ini bukan cuma seni instalasi. Ini adalah protes halus terhadap era digital yang cuma ngerti “upload” tapi gak paham “ngundhuh kawruh”.
Ganesha ini bukan sekadar patung. Ia adalah sindiran, adalah puisi, adalah guru yang diem tapi nyubit. Ia duduk tegap di tengah petani dan seniman yang ngerti, bahwa kawruh itu bukan hak paten kampus atau jubah akademik. Kawruh itu lahir dari lumpur, dari mata air yang menetes ke tempurung kelapa, dari obrolan warung kopi selepas panen.
Kenapa yang diangkat Ganesha? Kok bukan Hulk atau Godzilla? Karena Ganesha itu lambang kawruh, lambang pemusnah kebodohan, pembuka jalan (Vighnaharta!). Tapi juga karena Ganesha itu lucu. Perutnya buncit, belalainya panjang, dan kalau jalan mungkin nabrak meja. Tapi dari kelucuan itu ada kebijaksanaan yang nggak sok serius.
Di sinilah kelucuan dan kontemplasi bersatu. Kayak sampeyan yang dulu waktu kecil suka main layangan tapi sekarang kerjaannya buka Excel. FLG ngajari kita bahwa hidup itu bukan cuma cari cuan dan nambah followers, tapi mbaleni kawruh-kawruh tua yang disembunyikan zaman.
Dan yang paling penting, ini bukan pameran. Ini bukan event marketing atau CSR yang bawa selebgram ke desa terus selfie di sawah. Ini bukan konten. Ini panggilan jiwa. Dan karena itu, ya wajar kalau banyak yang nggak ngerti. Wong kawruh sinengker kok. Kadang justru orang yang sok tahu paling nggak bisa ngerteni.
Jadi, marilah kita belajar dari Ganesha raksasa di Tutup Ngisor itu. Kalau sampeyan merasa hidup ini terlalu ribut, terlalu cepat, dan terlalu banyak micin — cobalah mampir. Duduklah di bawah gunung. Dengerin suara angin. Dan pelan-pelan andhudhah kawruh sinengker sampeyan sendiri. Karena bisa jadi, kawruh paling berharga itu tidak ada di Google, tapi di hati yang diam-diam mendengarkan.
Tahun ini, di tengah aroma jerami basah, asap dapur yang naik dari tungku-tungku kayu, dan gamelan yang ditabuh seperti mengetuk langit, Festival Lima Gunung ke-24 ndak main-main. Bukan hanya nari, mbanyol, mocopatan, dan pentas ndadi yang dihadirkan. Tapi juga penghargaan, piagam kehormatan, atau istilah kerennya: Lima Gunung Award.
Kok tumben FLG ngadain award-an, Cak? Ora tumben-tumben amat. Wong yang dikasih penghargaan ini bukan seleb TikTok, bukan pameran influencer yang kalau ngomong penuh filter. Tapi mereka yang selama hidupnya membela kawruh, mbela rakyat, mbela batin, dan mbela kesenyapan dari keramaian palsu peradaban.
Siapa saja yang dapet? Coba kita selusup satu-satu ya…
KH Hamam Djafar Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Pabelan. Kalau sampeyan ngerti Pabelan, sampeyan ngerti bahwa di situ ada pesantren yang bukan hanya ngajari ngaji, tapi juga ngajari hidup dengan laku. Santrinya diajak mikir, bukan cuma apal. Dia itu kayak petani kawruh — nanem bibit hikmah di lahan santri, disiram dengan cinta, dan dipanen jadi akhlak.
M. Habib Chirzin Ini tokoh perdamaian internasional, tinggalnya di Desa Ngrajek. Jangan kira kalau tinggal di desa lalu pikirannya kecil. Justru dari situ beliau menyebarkan ide-ide besar tentang perdamaian, keadilan, dan cinta kasih. Kalau dunia ini penuh orang seperti Pak Habib, mungkin kita semua udah bisa tidur nyenyak tanpa takut digedor utang luar negeri.
Romo Sindhunata SJ Romo Sindhu ini wartawan, penulis, dan pendiri Omah Petroek. Seorang Yesuit yang bisa nulis renungan kayak puisi dan bisa nyambung sama tukang bakso sampai filsuf Jerman. Rumahnya, Omah Petroek, bukan tempat ngumpet, tapi tempat orang menemukan dirinya sendiri lewat budaya, cerita, dan diskusi yang gak ngawang-ngawang.
Jacob Oetama ini tokoh besar. Salah satu pendiri harian Kompas. Beliau bukan hanya wartawan, tapi penjaga akal sehat bangsa lewat koran yang tidak pernah lelah jadi cermin — meski kadang pembacanya malas ngaca.
KiaiKanjeng (Maiyah) — ini… keluarga sendiri. Kelompok musik pengiring perenungan, pelengkap pertunjukan spiritual, penggugah tidur-tidur panjang pikiran bangsa. Dipimpin Cak Nun, rombongan ini ngajari bahwa ilmu dan seni bukan untuk pertunjukan, tapi untuk penyembuhan.[]