
340 Juta Tuhan
Entah siapa yang punya ide dan berani menjadi pemrakarsa: tiga anak muda milenial itu seperti sengaja mempermainkan Simbah.
Entah siapa yang punya ide dan berani menjadi pemrakarsa: tiga anak muda milenial itu seperti sengaja mempermainkan Simbah.
Cobalah sesekali pelajari perbedaan orang-orang dalam memahami kebenaran. Koordinatnya, kedalamannya, konteks ruang waktu dan sejarahnya.
“Untuk apa kamu deket-deket atau bahkan mungkin terlibat agak aktif di kegiatan Mantra 2019 Itu?”, saya bertanya kepada Pèncèng.
Paugeran itu bukan untuk dipahami, hanya karena bisa dirumuskan. Paugeran bukan padatan sehingga bisa digenggam.
Rupanya Simbah merasa perlu menyela pemaparan Beruk dengan mengingatkan kembali perlunya menerapkan piweling para leluhur: empan papan.
Kata Beruk, kalau dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam sejarah jauh di masa silam, perilaku kekuasaan dan penguasa-penguasa yang kita alami di zaman Now ini–tidaklah ber-kaliber.
“Mbah, saya melihat ada dua gelombang besar yang sedang mengarus deras di Negeri ini.
Dengan berat hati kami mengambil keputusan untuk meminta Beruk tidak meneruskan uraiannya tentang Sultan Panotogomo.
“Jangan habis-habisan mengagumi seorang Kiai, sebab cucunya kelak tidak mustahil menjadi Maling.
Pèncèng duduk bersila. Menghadap tembok. Di pojok ruang depan rumah Simbah.
Pèncèng mengutip ungkapan seorang Seniman Sepuh Yogyakarta. “Dalam kehidupan ini sebenarnya persahabatan pun tidak ada.
Simbah mengulangi pernyataannya: “Lho, saya tidak pernah konflik dengan Mbah Linus, Ruk!
Ah, pokoknya sangat banyak tokoh-tokoh Yogya yang tidak dikenal oleh generasi sekarang. Jangankan lagi dikenang, dihargai atau dihormati. Terlebih lagi tokoh-tokoh nasional.
Kalau mau tahu persis apa makna syair “Sluku-sluku Bathok”, jalannya hanya satu: mewawancarai langsung Kanjeng Sunan Kalijogo.
Sama sekali di luar persangkaan Simbah, bahwa di awal laporan Pèncèng itu ia menuliskan: “Masukilah.
Kemudian Beruk menyambung laporan tentang betapa ASI adalah kejaiban Tuhan yang cetho welo-welo dan kasat mata.
“Saya berpendapat bahwa saat ini sangat urgen untuk diinisiatifi sebuah profesi baru”, Gendhon mengawali laporannya tentang “Air Susu Ibu sebagai satu dari sekian keajaiban Allah yang dianugerahkan ke dalam tubuh setiap manusia”.
Mungkin karena pekéwuh sendiri tidak mau diaturi hadir rembug sesepuh desa, besoknya Simbah malah mengutus Pèncèng sowan ke rumah pribadi Pak Lurah.
Terdapat dua destruksi sosial yang sangat menggelisahkan di kampung tempat tinggal Simbah.
Maka mulai hari ini saya menikmati kelelahan masa tua saya. Sejak pagi saya sibuk membuka-buka lembaran masa silam.
Pèncèng ternyata tidak main-main dengan kejengkelannya. “Saya lelah, gerah, sebah”, katanya, “seperti ada lubang besar yang kosong di dada saya, dan kepala retak-retak, tidak bersambung sebagai suatu keutuhan…”
Gendhon dan Beruk yang semua senyum-senyum setengah mengejek, akhirnya mulai serius memperhatikan juniornya ini.
Pèncèng tiba-tiba mengeluh bahwa lama-lama merasa lelah bergaul dan berdiskusi dalam saresehan bersama saya dan teman-temannya.
Mungkin karena usianya paling muda, pengetahuan dan pengalamannya tergolong mutakhir, maka Pèncèng yang duluan beres melaksanakan administrasi “National Single Identity”.
Pèncèng yang paling penasaran apa maksud simbah KR digelari “Panembahan Mangkunegoro”.