CakNun.com

Juna Rindu Ayam

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 4 menit
Photo by ArtHouse Studio

Namanya Juna, berasal dari sebuah kampung di Nusakambangan. Dari kondisi dan cerita ibunya, mereka berasal dari keluarga yang tak mampu. Mungkin sangat tidak mampu. Cerita untuk sampai ke Jogja pun sangat panjang. Mesti menyeberang dengan perahu mesin tempel dari kampungnya untuk sampai ke Cilacap, untuk mengupayakan pengobatan atas sakit yang dialaminya.

Di kota Cilacap, Juna menumpang di rumah keluarga kakak ibunya. Hingga pada suatu saat, Juna dan ibunya ‘diusir’ dari rumah itu, karena proses pengobatannya yang panjang, dan dirasa membebani keluarga budhenya.

Pada akhirnya Juna sampai di RS ini, di bangsal ketika saya pas jaga. Dari penampakan luar, kita sepakat bahwa ini adalah sebuah kanker tulang di kaki kiri, yang sudah sudah cukup lanjut. Dari hasil pemeriksaan lanjutan, sudah didapatkan penyebaran kankernya sampai di paru-paru.

Juna sangat kesakitan. Kanker tulang di kaki kirinya sangat besar dan sakit. Siang malam Juna menangis menahan sakit. Sampai akhirnya kita putuskan memberi anti sakit pamungkas, setelah pemberian anti sakit lini pertama sudah tak mempan lagi.

“Mak… sakit sekali kakiku,” rintih Juna kepada ibunya. Saya mendengarnya pas ketika saya membuka pintu kamar di mana Juna dirawat.

“Dokter.., tolonglah anak saya…,” kata ibunya kepada kami yang sedang visit ke Juna.

Secara ilmu kedokteran, penyakit Juna kecil kemungkinan untuk sembuh.

Kami lalu mengadakan konferensi klinis untuk kasus Juna ini. Beberapa ahli datang dan berbicara mengenai kasus ini sesuai dengan kepakarannya. Ahli orthopedi, ahli radiologi, ahli patologi, ahli anestesi, dan juga tak ketinggalan psikolog.

Dalam konferensi klinis itu, diputuskan untuk melakukan tindakan amputasi kaki kirinya sampai sebatas panggul. Tindakan ini biasanya ditujukan untuk tujuan “menyembuhkan”. Tetapi pada kasus Juna, tindakan amputasi ini dilakukan untuk tujuan paliatif (mengurangi kesakitannya dan sekaligus menaikkan kualitas hidupnya).

Kemi memberikan penjelasan kepada Ibunya Juna. Berulang dan pelan-pelan. Tapi, nampaknya pemahaman tentang “sembuh” tidak sepenuhnya nyantol di pemahaman beliau. Kami pun maklum adanya. Pelan-pelan dan berulang kami terus memberitahu bahwa semua upaya ini dipakai untuk mengurangi sakitnya saja.

Tidak untuk menyembuhkan kankernya!

Sesungguhnya Allah yang memberinya sakit, maka Dialah yang akan menyembuhkan. Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syu’ara’ ayat 80, disebutkan:

 وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ.

Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.

Sesudah tindakan operasi, Juna tak lagi bergantung pada obat penghilang sakit, sudah bisa senyum gembira, makan sudah mau dan hari berganti hari bertambah lahap. Kontrol rutin di poliklinik, dan memulai pengobatan kemo.

Beberapa minggu berselang, saya berpindah rotasi ke bangsal lain.

Ketika mengawali hari itu dengan diskusi bersama para residen, saya mendapati nama Juna ada dalam daftar list penghuni bangsal Barat.

Saya mempelajari masalah apa yang dialami Juna dari catatan medis yang ada di komputer.

Ternyata masalahnya adalah kondisi yang mengalami penurunan terkait sistem pernapasannya. Saya buka file foto rontgen dada, dan saya terbelalak melihat kondisi rongga dadanya. Saya memutuskan untuk menunjukkan hasil foto dada tersebut ke orangtua Juna.

Alhamdulillah hari itu ada bapak dan ibunya. Saya ajak mereka duduk di depan komputer dan saya tunjukkan hasil foto rontgen dada Juna. Tak lupa saya jelaskan dengan membandingkan foto dada yang normal.

“Ibu dan bapak Juna…,” saya memulai perbincangan dengan mereka setelah saya jelaskan kepada mereka keadaan rongga dada Juna.

“Dengan kondisi seperti ini, rasanya (agak) susah memulihkan kondisi Juna seperti sediakala. Kankernya sudah menyebar sampai paru-paru. Tiga perempat dari paru-paru sudah terisi oleh sel tumor.”

“Maka yang bekerja untuk bernapas hanya seperempat dari paru-paru. Maka bisa dimengerti kenapa Juna mengalami sesak napas seperti itu,” lanjut saya.

“Tapi saya mau Juna sembuh…,” sambil meledak tangis ibunya.

Kami semua terdiam sesaat mendengarkan isak tangis ibunya. Sementara, bapaknya terlihat lebih tabah.

Sesudah ibunya lebih tenang, saya melanjutkan pembicaraan ini. “Jadi yang bisa kita lakukan adalah…”. Saya berhenti sesaat sambil melihat sorot mata pasrah kedua orangtua Juna.

Ibunya pun memotong pembicaraan, “Juna mulai beberapa hari ini minta pulang…, bolehkah?” kata ibunya.

“Itulah yang mau saya katakan Bu…,” jawab saya.

“Yang bisa kita lakukan adalah membuat Juna bahagia. Apapun itu!” jawab saya.

Kembali ibunya menangis tak tertahan. Sambil terisak-isak, beliau pun menuturkan keinginan Juna untuk pulang.

“Juna pengin pulang, Dok… Pengin melihat ayamnya,” kata Sang Ibu kembali menangis.

“Apapun itu, asal Juna bahagia, maka lakukan itu. Mau pulang sekarang boleh. Biar Juna senang,” sambung saya.

“Tapi, Dok…,” potong ibu Juna, tapi tak bisa melanjutkan kata katanya.

“Tapi apa, Bu?” tanya saya.

Susana hening sejenak, sambil saya tunggu kata-kata ibunya Juna.

“Tapi ayam-ayam Juna sudah dijual…,” katanya, sambil menangis sesenggukan.

Kami, perawat, residen, dan yang ada di situ saling berpandangan. Terdiam.

Diam. Tak bisa berkata-kata.

“Ayam-ayam punya Juna itulah sisa-sisa kepunyaan kami yang bisa kami jual,” sambungnya sambil terisak-isak.

Air mata saya berlinang. Saya mengalihkan tatapan wajah dari kedua orangtua Juna, menatap layar komputer. Untuk tak diketahui kalau saya akan menangis.

Sambil melamun sejenak terlintas di benak saya, “Wahai betapa tidak adilnya negara ini. Negara yang kaya akan hasil alam, ada minyak, batubara, nikel, kelapa sawit, hasil ikan, udang dan masih banyak hasil yang lain, yang bisa menjamin setiap penduduknya dengan hasil kekayaan yang ada, yang mestinya tidak ada satu orang pun yang miskin, yang mestinya negara bisa menjamin kesejahteraan semua rakyatnya, yang mestinya tak ada yang menderita kekurangan, yang mestinya…, yang mestinya…, kenapa masih ada makhluk yang menderita seperti yang sedang ada dihadapanku ini.”

Juna!

Lamunan saya buyar ketika perawat saya bilang, “Sudah cukupkah pertemuan ini, Dok?”

“Oh yaaaa…,” sambil saya menutup muka saya dengan kedua telapak tangan ini, pura-pura mengucek-ucek mata, sebagai penahan air mata supaya tak jatuh.

“Sudah cukup Bu dan Pak, nanti kalau memang Juna ingin pulang sekarang, bisa kita siapkan sarana kepulangannya”.

Setelah pertemuan itu bubar, saya beranjak ke pantry untuk nyeruput kopi. Di pantry ada Ranung, NE (nurse educator) kami. NE berfungsi mendampingi pasien untuk setiap langkah yang mesti dikerjakan oleh pasien. Temasuk juga untuk mengarahkan ke Rusing (rumah singgah) untuk pasien dan keluarganya yang berasal dari jauh. Juna pun termasuk salah satu penghuni rusing tersebut.

Kami kemudian berbicang sejenak tentang Juna, ibu-bapaknya, dan juga ayam-ayamnya.

Saya kembali melelehkan air mata.

“Itulah yang kami temui sehari-harinya,” kata Ranung.

“Ibu bapaknya sudah habis-habisan itu, diporoti sama saudaranya!” lanjutnya.

“Lha kok bisa?” tanya saya.

“Iya, Dok…,” sambut Ranung sambil menceritakan bagaimana budhenya itu “moroti” keluarga Juna.

Saya terdiam, terus beranjak akan meninggalkan pantry.

“Dokter mau kemana?” tanya Ranung.

“Mau ke ruang Juna,” jawab saya sambil gresek-gresek di dalam tas ransel saya, barangkali saya menemukan sesuatu. Ranung mengintip kegiatan saya sambil curiga.

Saya pun menemukannya. Ranung tahu dan tanggap.

“Ohhh ya… saya tahu,” kata Ranung.

Saya masuk ruang Juna, sambil bertanya,

Piye le sido mulih?”

“Jadi, Dok…,” jawabnya.

Sambil saya dekati dan saya jabat erat tangannya, dan saya sisipkan sesuatu.

“Ini untuk beli ayam di rumah nanti ya,” bisik saya.

Juna yang dalam kondisi tidur langsung bangkit, memeluk saya erat, bahkan sangat erat, dan menangis.

“Terimakasih…,” katanya sambil sesenggukan. Ibunya yang ada di samping tempat tidur pun ikut sesenggukan. Saya pun ikut meledak dalam tangis mereka!

Asoka 2025

Lainnya

Governmental Organization Tutup Buku

Governmental Organization Tutup Buku

Era 1990-an itu, bukan hanya zamannya celana cutbray terakhir sebelum punah, atau kaset pita yang kalau pitanya kusut kita gulung pakai pensil 2B.

Redaksi LKMS
LKMS
Exit mobile version