CakNun.com

Rakyat Antri Tiket, Pejabat Potong Jalur

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 6 menit
Photo by Krizjohn Rosales

Negara kita ini kadang seperti gerbong kereta yang hanya jalan di satu rel — lurus, keras, dan tidak bisa belok. Tapi yang bikin geleng-geleng kepala adalah: kok ya cuma rel kereta api yang terus dibenahi? Sementara kapal laut masih mbambung, dan pesawat terbang? Ya, semacam burung besi yang tak lagi mau terbang bagi rakyat jelata, kecuali kalau rakyatnya nyamar jadi koper.

Saya perhatikan, pelayanan publik yang paling terasa progresif itu ya di kereta api. Dulu naik kereta itu seperti ikut lomba bertahan hidup. Tiket tak bergaransi tempat duduk, acapkali kita duduk di atas koper, berdiri di antara kaki orang lain, atau bahkan — ini serius — di atas atap gerbong. Tapi sekarang? Masuk stasiun harus check-in seperti di bandara, tempat duduk terjamin, ada AC, colokan listrik, bahkan kadang petugasnya lebih sopan dari pejabat. Subhanallah.

Tapi ya itu tadi, hanya kereta. Sementara kapal laut kita? Jangan tanya. Di beberapa tempat, pelabuhan lebih mirip pasar ikan. Penumpang dijejalkan seperti sarden, tiket bisa dinego kayak beli baju bekas, dan soal keselamatan? Ya, semoga engkau wafat dalam husnul khatimah kalau kapalnya tenggelam.

Transportasi udara? Ah, itu hanya untuk kelas menengah yang masih punya gaji tetap dan cita-cita terbang ke langit (walau realitanya ke Kalimantan saja harga tiketnya bisa setara umrah). Bandara-bandara besar memang megah, tapi fungsinya kadang lebih mirip mall daripada terminal. Ada eskalator, ada butik, ada kopi seharga bensin satu liter — tapi pesawatnya delay, pilotnya mogok, maskapainya pailit.

Nah, pertanyaannya: kenapa hanya kereta api yang maju pesat? Apa karena kereta itu jalannya lurus, tak bisa belok, jadi cocok buat birokrasi kita yang takut berpikir kreatif? Atau karena yang naik kereta itu kebanyakan rakyat — sementara yang naik pesawat adalah orang-orang penting, jadi justru tak merasa perlu diperbaiki karena toh mereka bisa mengeluh langsung ke menteri? Atau jangan-jangan karena kereta api itu milik BUMN, yang kebetulan pimpinannya tidak ikut nyalon?

Tapi saya tidak mau suudzon. Bisa jadi ini semua karena kereta api adalah simbol dari satu-satunya bentuk “keberhasilan negara” yang bisa dinikmati rakyat secara kolektif. Selebihnya, rakyat cuma dapat brosur. Atau janji. Atau pembangunan yang hanya bisa dilihat tapi tak bisa dinaiki.

Maka saya ingin kita merenung, sambil duduk di peron. Kalau negara ini benar-benar serius melayani rakyat, maka kemajuan itu mestinya tidak hanya seperti rel — satu arah, satu jenis, satu moda. Rakyat butuh kapal laut yang manusiawi, bukan hanya untuk logistik, tapi juga untuk menjahit nusa dan bangsa yang tercerai-berai. Rakyat juga butuh transportasi udara yang tidak memberatkan langit dompet. Dan yang lebih penting, rakyat butuh rasa keadilan: bahwa kemajuan tidak dimonopoli oleh satu sektor. Bahwa negara hadir bukan hanya di rel kereta, tapi juga di gelombang laut dan angin langit. Karena bangsa ini bukan kereta. Kita ini kapal besar yang sedang mencari pelabuhan sejarahnya. Dan jangan-jangan, kalau kita cuma fokus ke rel, kita tak sadar kapal kita bocor, dan sayap pesawat kita patah. Kita ini bukan sekadar penumpang. Kita ini juga nahkoda. Asal mau belajar dari suara peluit dan gemuruh mesin, bukan hanya dari narasi pembangunan di layar televisi.

Coba renungkan sejenak: kalau kereta api saja bisa berubah dari makhluk besi yang dulu sering telat dan bikin encok, jadi moda transportasi yang bersih, tepat waktu, dan manusiawi — kenapa urusan lain di republik ini, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan, malah masih seperti kereta uap zaman Belanda yang mogok di tanjakan?

Apa ndak bisa kita naikkan mutu rumah sakit dan sekolah seperti kita menaikkan kualitas gerbong eksekutif? Dulu naik kereta itu rawan stres: tiket tak tentu, jadwal molor, bau gorengan campur keringat. Tapi sekarang? Semua terjadwal. Ada AC, ada aplikasi, bahkan di stasiun besar ada mushola dan ruang menyusui. Artinya apa? Bisa. Bisa banget negara ini memberi pelayanan publik yang layak, rapi, dan manusiawi. Lha kok bisa? Karena ada niat. Ada tekanan publik. Ada manajemen. Dan, mungkin, karena direktur utamanya bukan politisi.

Nah, sekarang mari kita bandingkan. Pangan. Harga beras naik, harga telur ikut-ikutan, harga cabai kadang lebih mahal dari bensin. Kalau kereta punya jadwal keberangkatan, kenapa pangan kita jadwal naik harganya yang pasti? Kalau kereta api bisa dikelola terpusat, kenapa distribusi pangan masih seperti drama sinetron — penuh intrik dan stok fiktif?

Petani kita sudah menanam dengan peluh dan doa, tapi ketika panen, mereka malah kalah saing sama impor. Lucu, kan? Kayak petugas stasiun yang bersihkan rel, tapi malah gak dikasih tiket buat naik.

Kesehatan. RS rujukan penuh, BPJS antrenya seperti antre sembako. Kadang lebih cepat sembuh bukan karena dokternya hebat, tapi karena pasien sudah pasrah duluan. Yang bikin sedih, pelayanan kesehatan masih untung-untungan: tergantung kamu sakit di kota atau di kampung. Kenapa rumah sakit tidak bisa dikelola seperti stasiun? Ada manajemen antrean, informasi yang jelas, tenaga profesional yang senyum bukan karena disuruh, tapi karena tahu bahwa senyum juga menyembuhkan.

Pendidikan. Nah ini yang paling tragis. Sekolah kita masih sibuk ikut lomba akreditasi, bukan lomba bikin anak bahagia. Kurikulum berubah-ubah seperti jadwal konser dangdut. Guru-guru kelelahan dengan administrasi, sementara murid bingung antara belajar atau ikut bimbel. Coba pikir: kereta api tahu jelas tujuan akhir dan setiap stasiun pemberhentiannya. Tapi pendidikan kita? Anak-anak sekolah 12 tahun, tapi tak jelas mau jadi apa. Kita tak pernah tanya: kamu ingin jadi manusia macam apa? Kita cuma sibuk: kamu nilainya berapa?

Padahal, kalau kita jujur, negara ini sudah membuktikan bisa. Buktinya kereta api bisa berubah. Artinya, bukan karena kita tak mampu. Tapi mungkin karena yang mengurusi kereta tidak terlalu sibuk kampanye. Tidak terlalu banyak rapat dengan agenda selfie. Dan tidak terlalu pusing urusan pencitraan.

Maka, kalau boleh rakyat ini mengusulkan—bukan menuntut, karena kita sudah terlalu lelah dituduh nyinyir setiap kali bersuara—barangkali ada baiknya para pengelola negara ini belajar dari jadwal kereta.

Coba lihat bagaimana kereta api dikelola: datang dan pergi tepat waktu, ada pengumuman sebelum berangkat, bahkan kalau telat lima menit pun diumumkan dan minta maaf. Lho, ini kereta lho ya, bukan manusia. Masak urusan pangan, yang menyangkut perut 270 juta orang, justru tidak ada kejelasan jadwalnya? Panen datang, harga jatuh. Butuh stok, impor datang. Ini pangan atau sandiwara?

Kemudian, rumah sakit. Cobalah dikelola seperti ruang tunggu stasiun. Bersih, terang, ada tempat duduk yang layak, ada petugas yang siap membantu, bukan malah bikin panik pasien dan keluarga. Jangan sampai pasien yang datang dengan harapan pulang sehat, justru pulang dengan trauma administratif dan hutang obat.

Lalu sekolah, jangan terus-terusan dijadikan medan uji coba kurikulum. Susunlah seperti jalur rel: jelas arah dan tujuannya. Anak-anak kita itu bukan kereta barang yang asal bisa jalan. Mereka butuh peta hidup, bukan sekadar rapor angka. Rel pendidikan harus terhubung dari TK sampai dunia kerja, bukan diputus di tengah lalu disuruh naik ojek takdir masing-masing.

Karena rakyat ini bukan penonton, bukan pula kru produksi dari sinetron pembangunan yang skenarionya ditulis elite tapi ditanggung air matanya oleh masyarakat bawah. Rakyat ingin ikut naik, ikut duduk, ikut menikmati pelayanan negara yang bisa dipercaya, seperti kita percaya jadwal kereta api yang sekarang makin bisa diandalkan.

Dan satu lagi, yang sering dilupakan oleh mereka yang duduk di lokomotif kekuasaan:
Rakyat juga tahu kapan harus turun. Ketika arah perjalanan negara ini tak lagi jelas, ketika suara penumpang diabaikan, dan ketika kereta kekuasaan makin menjauh dari tujuan yang dijanjikan — maka penumpang akan memilih turun. Bukan karena tak sabar, tapi karena tak mau dibawa ke jurang yang tak mereka pilih.

Jadi, wahai masinis-masinis negara, jangan hanya sibuk klakson dan menambah gerbong. Pastikan relnya lurus, tujuannya benar, dan penumpangnya diberi hormat. Karena sejarah akan mencatat: siapa yang mengantarkan rakyat sampai ke tujuan, dan siapa yang menyesatkan arah perjalanan.

Tapi, dari semua usul dan harapan itu, yang paling penting dan paling mendasar—sebelum bicara jalur rel, ruang tunggu, atau jadwal keberangkatan—adalah jangan korup. Jangan kereta api-nya bersih, tapi pejabatnya kotor. Jangan sistemnya rapi, tapi hatinya masih semrawut mikirin kantong sendiri. Jangan pelayanan publiknya dibuat kinclong di depan kamera, padahal anggarannya sudah dikorup rame-rame di belakang layar.

Apa gunanya rel lurus kalau nuraninya bengkok? Apa artinya rakyat disuruh antre tiket kalau pejabatnya nyolong dari loket? Coba sampeyan bayangkan: seorang petani kerja dari pagi sampai sore, ngurus sawah sambil ngelus dada karena harga pupuk naik. Ibu guru di kampung ngajarin murid dengan sepenuh cinta, padahal gaji cuma cukup buat beli pulsa. Pasien menunggu antrean berjam-jam sambil menahan sakit. Sementara di ruang lain, ada pejabat yang potong anggaran, yang “mark-up” pengadaan, yang bikin proyek fiktif, demi kantong sendiri dan partai yang menjeratnya dengan ambisi.

Ini bukan soal kereta atau stasiun. Ini soal hati. Soal kesediaan menjadi pelayan, bukan raja kecil yang hobi naik podium tapi lupa turun ke lapangan. Karena sesungguhnya, kemajuan tidak lahir dari teknologi dan beton, tapi dari jiwa yang jujur dan nurani yang takut makan uang haram. Rakyat tidak butuh pejabat yang pintar bikin retorika.
Rakyat butuh pemimpin yang tidak tega mengkhianati amanat.

Dan jangan dikira rakyat ini bodoh. Mereka diam bukan karena tak tahu, tapi karena masih sabar. Tapi kalau kesabaran itu habis—maka kereta sejarah bisa melindas siapa saja yang selama ini main-main di rel kekuasaan. Jadi, sebelum bicara pembangunan, bersihkan dulu hati dari kerak korupsi. Karena rel sekuat apapun akan percuma, kalau masinisnya mengutamakan isi dompet, bukan keselamatan penumpang.[]

Nitiprayan, 19 Juli 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:
Exit mobile version