Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani


Sementara di republik ini, meritokrasi masih berkelahi dengan sensasi. Partai politik yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi, justru sering menjadi sarang negosiasi pragmatis. Arie menghitung, jika partai sehat, 60–70 persen persoalan bangsa bisa selesai. Tapi hari ini, yang sering kita lihat justru sebaliknya, partai menjadi alat distribusi kekuasaan, bukan rumah dialektika.
“Kekuatan seseorang diuji ketika kekuasaan ada di tangannya,” tutup Arie.
Maka, angon bukan sekadar menggiring domba. Ia adalah kompas moral, penjaga arah, dan ruang diskursif di mana fairness bukan sekadar jargon, melainkan praksis harian dalam tiap keputusan. Pemerintah, seharusnya, tidak hanya tahu ke mana menggiring. Tapi tahu, siapa yang mereka layani.
Dari Pelayanan Menuju Pergerakan
Sesudah Arie dan Budi, jamaah tampak terdiam sejenak — takjub, barangkali. Tapi bukan karena pujian atau retorika. Melainkan karena kedalaman, ketepatan, dan keberanian menempatkan “politik” kembali ke tempatnya yang luhur. Ketika mikrofon beralih ke Anies Baswedan, suasana berubah, tapi tak bergeser dari derajat kesadaran. Ia datang bukan untuk menggurui, melainkan memberi kerangka — frame of understanding — atas paradoks hari itu.
“The best predictor of your future behaviour is your past behaviour,” ujarnya mengawali. Kalimat sederhana, tetapi tak ubahnya pisau bedah bagi ruang demokrasi yang hari ini sesak oleh kosmetika pencitraan. Janji kampanye, kata Anies, hanya bisa kredibel jika ditopang oleh rekam jejak. Demokrasi tidak boleh hanya menjadi seni mengelola harapan, tetapi juga kemampuan menunaikan kepercayaan.
Meritokrasi tak bisa berhenti di panggung pemilu. Ia harus menjadi arsitektur dasar yang menopang semua sektor, dari birokrasi sampai pendidikan, dari diplomasi hingga olahraga. Ketika yang di “atas” gagal menjaga, maka seluruh struktur akan ikut rapuh. “Yang bisa menerapkan meritokrasi adalah yang ada di atas, tidak bisa dimulai dari tengah,” katanya tegas.
Ia menyebut contoh: seorang guru dari Sumatera mengeluhkan penerimaan P3K yang penuh nepotisme. Ketika protes, jawabannya justru mencerminkan pembusukan sistemik: “Yang di Jakarta saja bisa seperti itu, kenapa di Sumatera tidak boleh?” Bukankah ini logika pembusukan vertikal?
Brazil, katanya, selalu lolos ke Piala Dunia karena meritokrasi dijaga di sepak bolanya — sementara sektor lain porak poranda karena patronase. Demokrasi pun begitu, jika partai politik tidak menjadi penyaring awal dengan merit, maka publik tak punya pilihan yang bermutu. Sementara merit sendiri, tanpa integritas dan relevansi, hanyalah angka-angka kering dalam CV.
Anies bicara pula soal ownership. Ia menolak gagasan bahwa rakyat hanya pelayan atau pengguna. Republik ini, tidak didirikan atas dasar jasa pelayanan, tapi atas dasar pergerakan. Jika mempertahankan republik hanya jadi program pemerintah, maka pertempuran Surabaya 10 November 1945 tak akan pernah terjadi. Dalam gerakan, ada kepemilikan. Dalam kepemilikan, ada keterlibatan. Dalam keterlibatan, ada kepercayaan.
Integritas, kata Anies, bukan sekadar moralitas. Tapi kapasitas untuk mengambil keputusan tanpa menimbang untung pribadi. Ia mencontohkan Syafruddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia yang saat sanering tidak memberitahu istri dan keluarganya demi integritas kebijakan. Bandingkan dengan hari ini, sebelum keputusan diketuk, bocorannya sudah viral di grup WhatsApp.
Ia mengingatkan, dalam demokrasi, tidak ada musuh. Yang ada hanyalah lawan — dan lawan dalam demokrasi harus saling menguatkan, bukan saling menghabisi. Maka dari itu, kampanye rekonsiliasi harus dimulai, seperti balon yang diikat di tengah saat pemilu, setelahnya ia kembali bulat. Demokrasi bukan tentang menang, tapi tentang merangkul. Tentang sikap kenegarawanan, bukan hanya strategi elektoral.
Dan akhirnya, pelayanan — yang sering dijadikan standar minimal kepemimpinan — seharusnya ditransformasikan. Dari pelayanan menuju kerja sama, dari kerja sama menuju kolaborasi, dan dari kolaborasi menuju pergerakan. Sebab republik ini lahir bukan dari birokrasi, tetapi dari keberanian orang-orang biasa yang merasa memiliki negeri ini.
Kapal Indonesia: Seruan dari Gelombang Maiyah
Sabrang turut menambahkan dari pertanyaan dan respon yang sudah disampaikan pembicara lain. Ia berbicara dengan suara yang tenang namun tajam, mengurai benang kusut demokrasi Indonesia yang pelik. Dari Maiyah, ia menyampaikan pesan yang sederhana namun sarat makna: “Mbok rakyat dilibatkan.”
Kata-kata itu bukan sekadar seruan biasa. Ia mengingatkan pada sebuah paradoks zaman: Soekarno pernah berkata, “Lebih mudah zamanku karena lawannya penjajah, tetapi zamanmu akan lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.” Memang benar, melawan penjajah jelas musuhnya bisa dikenali, bahkan berujung pada pertempuran fisik. Tapi bagaimana ketika musuh itu adalah sesama anak bangsa? Bagaimana ketika perpecahan datang dari dalam?
Sabrang menolak gagasan yang sudah akrab namun problematik, bahwa partai politik adalah penentu pemimpin. Demokrasi, ia ingatkan, bukanlah hal yang otomatis bisa diterima dan dimengerti oleh semua orang. Bahkan Plato, sang filsuf agung, meragukan proses pemilihan itu. Karena memilih bukan sekadar hak, melainkan sebuah kemampuan — skill — yang harus dipelajari dan diasah.
Di sinilah problematika besar kita muncul. Semua punya hak suara, tapi berapa banyak yang benar-benar mampu memilih dengan penuh kesadaran? “Kampanye lewat TikTok dan Instagram jadi efektif,” katanya, “bukan karena kualitas ide, melainkan karena kemampuan memilih masyarakat masih terbatas pada apa yang bisa dipahami dengan instan.”
Demokrasi tanpa pendidikan politik, tanpa kemampuan memilih, hanyalah arena yang kacau, tempat preferensi pribadi berputar tanpa landasan yang kokoh. “Kita buta politik,” ujar Sabrang. “Kita tak punya parameter lain kecuali naluri dasar manusia.”
Di tengah kebingungan itu, ada kekuatan, viralitas. Sabrang melihat viral sebagai tanda bahwa masyarakat masih punya potensi bergerak, asalkan ada kemampuan untuk merumuskan masalah secara jelas. Karena entitas bernama Indonesia punya tujuan besar, yakni memakmurkan rakyatnya. “Musuh kita,” katanya tegas, “adalah siapa saja yang menghalangi kemakmuran itu.”
Di ranah hukum dan keadilan, Sabrang membawa kita kepada etika sebagai lautan tempat hukum berlayar. Ia menyinggung eksperimen Skinner dan studi fairness monyet sebagai gambaran naluri keadilan yang melekat pada makhluk hidup, bukan hanya manusia.
Namun, kita selalu defensif. Kenapa? Karena tanpa metodologi untuk menghadapi krisis dan tanpa transparansi, kita kehilangan visibilitas akan kenyataan. Yang tersisa hanyalah prasangka, yang memperkeruh suasana.
Di sini, kejujuran muncul sebagai modal utama yang paling berharga. Seperti Nabi Muhammad yang disebut Al-Amin — yang dijuluki jujur sebelum mengemban misi kenabian — kejujuran menjadi pondasi untuk mempercayai dan memperbaiki. “Tanpa kejujuran, kita tak akan tahu masalah dan tak punya kesempatan memperbaiki,” tegas Sabrang.
Maiyah tidak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin kesempatan. Kesempatan untuk ikut membangun bangsa bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek yang bergerak bersama, dalam sebuah gerakan yang melampaui program pemerintah. “Kami siap membantu, asalkan tujuannya jelas,” ujar Sabrang.
Sabrang menutup dengan sebuah permohonan yang menyentuh: “Wahai para pemimpin dan pemerintah, beri kami ruang dan kesempatan untuk ikut berjuang dan mendukung mimpi Indonesia. Kami bukan musuh. Kami hanya ingin membuka tabir apa yang sebenarnya terjadi dan ikut membangun.”
Di akhir malam itu, satu kalimat menggetarkan ruang diskusi: “Indonesia adalah kapal kita bersama. Seburuk apapun kondisinya, kami tidak akan membiarkan kapal ini karam. Kami mau berjuang bersama.”
Dalam hening yang sempat menyusup setelah kata-kata itu, tersimpan harapan besar, bahwa demokrasi bukan sekadar sistem yang berfungsi secara mekanik, tapi sebuah pergerakan yang melibatkan seluruh rakyat dengan kejujuran, etika, dan keberanian untuk bersama-sama menjaga kapal bangsa ini tetap mengarungi samudra perubahan.
Penutupan: Melabuhkan Inspirasi, Menyalakan Optimisme
Sebagai penutup sesi diskusi, Anies Baswedan mengajak setiap jamaah yang hadir untuk berhenti sejenak — tidak sekadar menutup, tapi juga meresapi. “Kita melakukan refleksi kolektif,” katanya lembut, “setiap kita melihat, mendengar, dan merenungkan. Namun, pengalaman dan pesan yang kita bawa pulang pasti berbeda, tergantung dari mana kita berdiri dan apa yang kita rasakan.”
Kata-katanya mengajak setiap jamaah untuk tidak buru-buru menutup forum malam itu, karena di dalamnya tersimpan kekayaan yang tak ternilai: dialog, pengalaman, dan pengetahuan yang lahir dari interaksi manusia yang jujur dan terbuka.
“Forum ini adalah ruang inspirasi,” ujarnya. “Inspirasi itu bukan hasil meditasi yang terasing, melainkan buah dari interaksi — malam ini kita berinteraksi dengan pikiran, dengan hati, dengan semangat.”
Ia mengingatkan, rasa memiliki terhadap republik ini harus semakin kuat. ”Kita tidak ingin kapal Indonesia karam,” ucap Anies, “tetapi kita ingin kapal ini berlayar dengan gagah menuju cita-cita luhur: keadilan dan kemakmuran bagi semua.”

Di tengah derasnya arus skeptisisme yang memangkas kepercayaan bangsa, Anies memanggil kenangan akan kata-kata Soekarno: “Berikan saya 10 pemuda, kita akan mengguncang dunia.” Sebuah keyakinan yang lahir di tengah keterbatasan — saat 95 persen bangsa masih buta huruf. Namun Bung Karno tidak pernah pesimis.
“Mudah-mudahan,” Anies menutup, ”ruang bebas seperti yang kita nikmati malam ini, membawa kita pada hari-hari yang lebih cerah.”
Dalam kesunyian yang menyusup setelah kata-katanya, tersimpan janji dan harapan. Bahwa meski gelombang cobaan menerpa, layar kapal bangsa ini akan tetap terbentang, mengarungi samudra masa depan dengan semangat bersama, optimisme, dan cinta yang tak pernah padam.
***
Menjelang pukul tiga dini hari, suasana Kenduri Cinta perlahan mengendap dalam kekhidmatan. Setelah rentetan diskusi yang padat makna dan dialog yang menyentuh nalar dan nurani, forum ditutup dengan lantunan Indal Qiyam — sebuah penanda bahwa Kenduri Cinta Edisi Mei 2025 telah sampai pada ujungnya, namun ruhnya masih menggema dalam dada para jamaah. Syair Shohibul Baiti mengalun pelan, membalut udara dini hari dengan keharuan yang lembut. Jamaah berdiri tenang, sebagian memejamkan mata, larut dalam lantunan yang tak hanya musikal tapi juga spiritual.
Dalam hening yang menyelimuti Taman Ismail Marzuki itu, doa penutup dipanjatkan, mematri seluruh percakapan dan permenungan malam dalam simpul yang khusyuk. Pesan tentang angon — yang tak lagi sekadar menggembala, tetapi merawat, mengarahkan, dan memahami diri sendiri serta sesama — menjadi kesimpulan tak terucap namun terasa kuat di hati setiap yang hadir. Cahaya lampu temaram tak mampu menandingi nyala yang tersisa di mata para jamaah.
Di sela khidmat itu, kerinduan pada sosok Cak Nun terasa begitu lekat. Nama dan doa untuk beliau beberapa kali terucap, mengalir dari lisan yang penuh cinta dan syukur. Di bulan Mei ini, saat beliau genap berusia 72 tahun, doa-doa terbaik dipanjatkan untuk kesehatan, keberkahan usia, dan keteguhan beliau dalam menjadi penjuru nilai bagi jutaaan hati yang terus belajar mencintai Indonesia dan memanusiakan manusia. Forum Kenduri Cinta telah selesai, namun semangatnya — seperti biasa — masih menggembala mereka yang pulang membawa pertanyaan, harapan, dan tekad baru. Sampai bertemu kembali pada Kenduri Cinta edisi Juni 2025, sebagai penanda 25 tahun perjalanan forum ini berdiri — seperempat abad melayani, memelihara makna, dan kesetiaan pada nilai.
(Red KC/Ansa)