CakNun.com

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

Kenduri Cinta edisi Mei 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 27 menit
Dok. Kenduri Cinta

Sesi pertama ditutup dengan ruang tanya-jawab yang dimoderasi oleh Rizal dan Mizani. Suasana semakin hangat ketika Mizani melontarkan guyonan-guyonan renyah yang membuat Jamaah tertawa ringan namun tetap fokus. Dalam momen itu, dua jamaah bertanya kepada forum. Ferdi penanya pertama mengawali dengan pengakuan bahwa ini adalah kunjungan pertamanya ke Maiyah. Ia mengajukan pertanyaan mendalam mengenai konsep angon dalam kepemimpinan, khususnya bagaimana menjadi pemimpin yang tidak hanya memimpin tetapi juga membersamai.

Ferdi juga menanyakan tentang sikap keseimbangan dalam memimpin: kapan waktu yang tepat untuk bersikap keras dan kapan harus lembut, terutama dalam mengelola karyawan. Pertanyaan ini membuka ruang dialog untuk memahami kepemimpinan yang humanis dan adaptif dalam konteks kerja dan penggembalaan.

Bang Lims langsung menjawab dan menegaskan bahwa dalam kepemimpinan angon, segala sesuatu harus diawali dengan basmallah agar niat ibadah tidak batal, dan yang terpenting adalah menebar kasih sayang tanpa sikap judgmental yang bisa berujung kebencian dan iri hati. Ia menyoroti tipikal pekerja Indonesia yang perlu pendekatan tarik-ulur — terlalu keras memutus hubungan, terlalu lembut membuat belagu — oleh karena itu penting menerapkan gamifikasi agar pekerjaan terasa menyenangkan. Bang Lims juga mengingatkan pentingnya prinsip kedaulatan, bahwa kita semua berdaulat dan hanya tunduk pada Allah, serta perlunya refleksi diri oleh pemimpin karena interaksi dengan orang lain mencerminkan diri sendiri.

Kemudian, Wisnu, salah satu jamaah, mengangkat tangan dan menyampaikan pertanyaan yang menyentuh banyak hati: “Apa yang bisa kita lakukan jika dalam proses ‘angon’ kita merasa lelah? Dan kepada Penggiat Kenduri Cinta, apa yang membuat kalian tetap bertahan selama 25 tahun menjalankan forum ini tanpa henti? Apa kiat dan resepnya?”

Pertanyaan itu langsung ditanggapi oleh Bang Lims. Dengan nada reflektif, ia menyampaikan bahwa sering kali kita terjebak dalam asumsi bahwa yang pertama dibutuhkan dalam bekerja adalah niat. “Padahal,” tegasnya, “yang paling awal adalah Bismillah — semuanya dimulai dari Allah.” Ia melanjutkan bahwa mentalitas dan cara pandang jauh lebih menentukan daripada sekadar semangat sesaat. Terlalu sering kita memanjatkan doa agar dimudahkan, padahal yang lebih utama adalah memohon agar dikuatkan. Sebab dari penguatan itulah kita belajar menghadapi tantangan, bukan untuk menghindar darinya. Bang Lims menutup, “Doa yang kita panjatkan bukan agar masalah segera hilang, tapi agar kita sanggup menanggung beban yang lebih besar dan naik ke tingkatan hidup yang lebih tinggi.”

Ansa kemudian turut terpanggil untuk merespons. Ia menekankan bahwa di Maiyah, kita dibiasakan untuk menilik kehidupan dengan cara pandang yang lebih luas, melampaui instan dan superfisial. Ketika lelah, kehilangan arah, dan merasa goyah, yang menjadi bahan bakar bukan sekadar motivasi, melainkan kesadaran mendalam bahwa hidup ini bukan persinggahan singkat, ia adalah laku panjang, sebuah maraton, bukan sprint.

“Hidup itu dinamis,” ucap Ansa, “pikiran naik-turun, hati kadang mengendur, tapi kita selalu diingatkan oleh Cak Nun bahwa hidup bukan soal hasil, melainkan soal apakah kita berjuang atau tidak” Ia mengutip kalimat Cak Nun yang akrab dalam telinga Jamaah: ”Suatu jarak akan terasa sangat jauh jika hati kita tidak bersabar.” Dari situlah, menurutnya, mungkin kunci yang membuat Penggiat tetap bertahan selama ini. Visi yang jernih, kesabaran yang panjang, dan keyakinan yang bulat bahwa nilai-nilai Maiyah bukan sekadar wacana, melainkan jalan hidup.

Sesi pertama akhirnya ditutup dengan hangat oleh moderator, menandai jeda sejenak sebelum forum diskusi dilanjutkan. Untuk mengendorkan otot pikiran dan merilekskan tubuh yang sejak awal forum tegang oleh kontemplasi dan refleksi, hadirlah Ale Sampurna naik ke panggung dengan gitar dan senyum akrabnya.

Dalam kesyahduan malam Jakarta, Ale menyanyikan beberapa lagu pilihan yang menyentuh, membalut ruang Kenduri Cinta dengan suasana hangat dan teduh. Suara Ale mengalir tenang, seperti aliran sungai yang membersihkan hati, mengisi rongga batin para Jamaah yang mayoritas adalah para pekerja — yang selama seminggu penuh berjibaku dengan rutinitas, tekanan, dan hiruk pikuk dunia. Musik malam itu bukan sekadar hiburan, tetapi jeda spiritual. Sejenak mereka duduk diam, menyimak, bernyanyi kecil, dan mungkin tanpa sadar, merasa pulih. Kemudian, salah satu jamaah, Imelda, juga turut tampil membacakan puisi setelah penampilan dari Ale.

***

Malam sudah melewati pukul 22.00 WIB, Plaza Teater Besar TIM semakin sesak oleh jamaah yang antusias. Sesi diskusi dilanjutkan dengan suasana hangat. Kali ini, Hadi, Karim, dan Tri Mulyana memegang kendali sebagai moderator. Tanpa banyak prolog, mereka membuka forum dengan sapaan singkat, lalu mengundang para pembicara maju ke panggung.

Dok. Kenduri Cinta

Satu per satu nama dipanggil:Sabrang, Anies Baswedan, Cania Citta, Arie Putra, Budi Adiputro, dan Fahmi — menyusul duduk bersila di panggung pendek Kenduri Cinta. Sorak sorai jamaah pun pecah, khususnya saat Anies Baswedan melangkah maju, menambah semarak dan energi malam itu.

Hadi membuka sesi dengan guyonan ringan yang mengalir lancar, mengantarkan Sabrang naik ke panggung untuk membuka diskusi dan menyambut para pembicara. Gelak tawa jamaah pecah, suasana menjadi cair — sebuah nuansa khas yang hanya bisa dirasakan langsung dalam forum ini.

Sabrang pun memberi salam hangat sebagai tuan rumah malam itu. Dengan canda khasnya, ia menyebut dirinya kaya akan warisan Cak Nun, bukan hanya karena forum seperti ini, tapi juga karena kaya masalah yang harus dihadapi. Jamaah menyambutnya dengan tawa riang, menambah keakraban malam itu.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version