Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani


Ia juga mengenang pengalamannya mendampingi KiaiKanjeng pada tahun 2005 ketika diundang ke Vatikan dalam pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Sebuah momen lintas iman yang merepresentasikan semangat keterbukaan dan persaudaraan semesta yang selalu dibawa oleh Maiyah. Menurut Ian, Cak Nun melalui Maiyah telah menghadirkan unifikasi nilai — sebuah kerja penyambung antara yang spiritual, sosial, dan kultural — yang jarang ditemukan dalam ruang publik hari ini.
Ian menambahkan kegelisahannya tentang dunia yang sedang memasuki zaman baru: era teknologi tinggi dan revolusi material. Ia menggarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan kini bergerak lebih cepat daripada imajinasi, menimbulkan tantangan besar dalam mengelola transisi global — baik dalam iklim, nilai, maupun tatanan sosial. Maka yang dibutuhkan adalah kapasitas untuk melakukan revolusi diri (self-revolution). Sebuah kemampuan untuk tetap utuh di tengah guncangan zaman.
Menutup pandangannya, Ian menegaskan bahwa Anies Baswedan bukan orang asing di forum ini. “Ia adalah bagian dari kita,” tuturnya, meneguhkan bahwa ruang Kenduri Cinta bukan sekadar forum diskusi, tapi ekosistem nilai yang menghargai keberagaman pandangan, selama semua berpulang pada kemanusiaan.
Kenduri Cinta: Ruang Temu, Ruang Tumbuh
Setelah Ian L. Betts memukau hadirin dengan tafsir mendalamnya tentang Lir Ilir, Hadi tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia menyelutuk, bahwa baru Ian-lah malam itu yang membahas Lir Ilir dengan begitu puitis dan reflektif — padahal bukan putra asli Indonesia. Forum pun kembali hidup. Kali ini, giliran Budi Adiputro, rekan Arie Putra di Total Politik, yang diminta menyambung diskusi.
Dengan nada akrab dan hangat, Budi membuka dengan kesan pribadinya tentang suasana Kenduri Cinta malam itu. Ia mencatat betapa Mas Anies tampak begitu nyaman berada dalam forum ini, bukan sebagai politisi, tapi sebagai manusia yang menyatu dengan suasana. Namun bukan hanya malam itu ia menyaksikan keintiman seperti ini.
Budi mengaku dirinya bukan sekadar pengamat dari kejauhan. Ia telah mengikuti forum Kenduri Cinta sejak tahun 2006. Bahkan seringkali terlibat hingga larut malam, menyatu dalam perbincangan dan keheningan yang penuh makna. Salah satu edisi yang berkesan baginya adalah saat tema “Sesat Sesaat” diangkat — menghadirkan juga Mbah Surip yang kala itu menorehkan warna tersendiri dalam forum.
Bagi Budi, Kenduri Cinta bukan sekadar ruang diskusi. Ia menyebutnya sebagai ruang temu yang dahsyat — tempat di mana agamawan, seniman, akademisi, bahkan politisi, dapat duduk setara. Tidak ada keistimewaan yang diberi hanya karena jabatan. Bahkan, katanya, ketika politisi hadir ke forum ini, mereka bisa saja dikuliti habis oleh para jamaah, dibedah gagasannya tanpa ampun — namun justru karena itu, ia mengapresiasi keberanian siapa pun yang datang.
Ia mengenang banyak momen, ketika forum ini menjadi tempat orang-orang datang membawa beban hidup, namun pulang dengan hati yang lebih ringan. Kenduri Cinta adalah tempat di mana persoalan bisa ditertawakan, dan kesedihan bisa dikemas dalam kegembiraan spiritual. Sebuah dinamika yang langka di ruang publik kita hari ini.
Budi pun mengutip kalimat Cak Nun yang menurutnya amat penting: Makanan utama orang Indonesia adalah biji-bijian, namanya ‘Bismillah’.” Kalimat ini, baginya, bukan sekadar metafora spiritual, tetapi juga filosofi ketahanan — baik lahiriah maupun batiniah. Bahwa dengan menyebut Bismillah, manusia Indonesia dibekali kekuatan untuk tetap berdiri, berjalan, dan bertahan, bahkan ketika dunia luar terasa rapuh dan tidak berpihak.
Jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 23.30 WIB, namun cahaya mata jamaah masih terang terlihat. Tibalah waktu Anies Baswedan diberikan ruang untuk berpendapat.
Angon sebagai Sistem Nilai: Bukan Sekadar Pemimpin, Tapi Rujukan Etik
Jam telah bergeser jauh melewati tengah malam. Namun, cahaya dari mata para jamaah masih menyala. Bukan sekadar karena lampu, tetapi oleh gairah mendengarkan dan kehausan untuk berdialog. Dalam atmosfer yang tetap hangat dan jernih, giliran Anies Baswedan diminta menyampaikan pandangan di malam yang penuh silang-pikir dan silang-rasa itu.
Anies membuka dengan rasa terima kasih dan kerinduan. Ia menyebut Kenduri Cinta sebagai ruang bebas yang ekspresif, tempat segala pendapat dan pandangan dapat mengalir tanpa batas. “Kalau kita menginginkan forum bebas,” katanya, “jangan beri tembok pembatas.” Ia melanjutkan, “Negara tidak berhak memberikan rasa takut kepada rakyatnya.” Ia juga menyempatkan doa dan harapan untuk kesembuhan Cak Nun, yang disebutnya sebagai penjuru nilai bagi forum ini.
Menanggapi tema besar malam itu — “Angon” — Anies memberi catatan bahwa dalam banyak tradisi, terutama dalam agama-agama samawi, para nabi adalah penggembala. Ia menggarisbawahi bahwa menggembala adalah soal kepemimpinan: merawat, mengarahkan, dan menjadi rujukan. “Hewan ternak selalu bergerombol,” tuturnya. Begitu pula bangsa: ia butuh arah, bukan sekadar gerak.”

Anies lalu mengaitkan hal itu dengan kondisi politik dan kepemimpinan saat ini. Ia menyebut bahwa polarisasi tidak selalu harus berujung pada konflik atau kekerasan. Polarisasi pemikiran adalah bagian dari dinamika hidup dalam demokrasi. Yang menjadi masalah, katanya, adalah ketika perbedaan itu ditakuti, disingkirkan, bahkan ditiadakan. “Jika ada kompetisi, sah adanya perdebatan. Tapi yang keliru adalah ketika perdebatan dilarang,” tegasnya.
Dalam konteks itu, ia menyinggung pentingnya narasi dan nilai. Kepemimpinan, katanya, tak cukup jika hanya ditentukan oleh kalkulasi untung-rugi. Sebab kalkulasi itu rawan menghasilkan oportunisme. “Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang menjadikan nilai sebagai rujukan,” kata Anies. Ia lalu mengacu pada figur Cak Nun yang diikuti bukan karena jabatan, melainkan karena integritas dan nilai-nilai yang dihidupinya.
Ia menekankan bahwa krisis terbesar kita hari ini bukan hanya ekonomi atau teknologi, melainkan krisis integritas. Banyak yang memiliki kewenangan, namun tidak layak dijadikan rujukan. Maka pekerjaan rumah kita hari ini adalah mengembalikan pribadi-pribadi yang berintegritas untuk bersedia masuk dan membersihkan wilayah politik — yang selama ini keras, terjal, dan seringkali menggerus nurani.