CakNun.com

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

Kenduri Cinta edisi Mei 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 27 menit
Dok. Kenduri Cinta

Harmoni Tindakan dan Tujuan: Esensi Rasionalitas dalam Perubahan

Setelah sambutan hangat dari Sabrang, Hadi mempersilakan Cania Citta membuka diskusi malam itu. Dengan senyum hangat, Hadi berseloroh bahwa terutama para pria pasti akan sangat antusias mendengar pandangan Cania. Cania pun menyapa jamaah dengan penuh semangat, “Halo semuanya”, yang langsung disambut riuh oleh jamaah.

Cania memulai dengan menegaskan betapa pentingnya konsep rasionalitas dalam memahami tindakan manusia, khususnya dalam ranah sosial dan politik. Menurutnya, rasionalitas bukan sekadar kemampuan berpikir logis secara mekanis, melainkan soal keselarasan antara tindakan yang kita ambil dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, rasionalitas adalah harmoni antara cara dan hasil yang diharapkan.

Ia juga mengingatkan bahwa selama ini konsep rasionalitas kerap disalahpahami atau disempitkan maknanya, bahkan sering digunakan untuk kepentingan politik semata. Dalam konteks tersebut, tindakan yang tampak rasional belum tentu membawa kebaikan bagi masyarakat secara luas, melainkan lebih pada memenuhi kepentingan tertentu saja. Oleh sebab itu, untuk benar-benar memahami apa itu rasionalitas, kita harus mulai dari memahami keinginan atau “will” yang mendasari sebuah tindakan atau gerakan sosial.

Menurut Cania, keinginan ini bersifat bebas dan kompleks. Oleh karenanya, diperlukan analisis yang mendalam untuk menelaah motivasi di balik setiap keputusan dan langkah yang diambil. Tanpa pemahaman yang tepat tentang keinginan tersebut, penilaian kita terhadap rasionalitas bisa menjadi keliru dan menyesatkan.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa rasionalitas sesungguhnya berfungsi sebagai alat untuk mempermudah tercapainya keinginan itu. Jadi, tindakan yang rasional adalah tindakan yang paling efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan yang sudah ditetapkan oleh keinginan bebas tadi.

Dengan cara pandang ini, kita pun dapat mengidentifikasi change factors yang sesungguhnya menggerakkan dinamika sosial dan politik. Memahami akar keinginan serta faktor perubahan ini memungkinkan kita untuk bertindak tidak hanya secara pragmatis, tapi juga dengan kedalaman filosofis dan strategi yang matang. Sehingga, perubahan yang diupayakan menjadi lebih bermakna dan berkelanjutan bagi kehidupan bersama. Cania kemudian menutup pendapatnya dan menyerahkan forum kepada moderator.

Angon sebagai Pemimpin: Estetika, Dialog, dan Keseimbangan dalam Dinamika Politik

Diskusi semakin intens saat moderator mempersilakan Arie Putra, penggagas Total Politik, untuk berbicara. Dengan canda ringan, Arie membuka dengan pernyataan dengan suara khasnya, “Musuh forum ini ternyata bukan kekuasaan, tapi asam urat,” yang langsung memecah suasana menjadi riuh tawa, menandai bahwa diskusi serius tak selalu harus kaku.

Arie memulai dengan membedah tema Kenduri Cinta edisi Mei. Ia menyampaikan bahwa kekuatan seorang angon — sosok penggembala atau pemimpin dalam makna filosofis — terletak pada estetika dalam bertutur kata. Estetika ini bukan sekadar keindahan verbal, melainkan kemampuan membangun empati dan rasa bersama di antara sesama manusia. Dalam estetika itulah, kita bisa merasakan satu sama lain secara lebih dalam dan membangun hubungan yang tulus.

Lebih jauh, mentalitas angon menuntut tiga kriteria mutlak agar seseorang layak menjadi pemimpin: pertama, tidak berbohong karena kebenaran adalah fondasi kepercayaan; kedua, tidak terjerat oleh nafsu duniawi yang bisa menjerumuskan pemimpin pada keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan; ketiga, pemimpin harus benar-benar memahami apa yang diucapkannya agar kata-kata tidak menjadi kosong dan menyesatkan.

Arie menyoroti fenomena zaman sekarang di mana hampir semua hal diideologisasi secara berlebihan, sehingga banyak kata-kata kehilangan makna yang sesungguhnya. Kondisi ini menciptakan “terlalu kata, miskin makna” dan berimbas pada “terlalu banyak diksi, miskin aksi,” yakni ketidakmampuan masyarakat untuk bergerak maju secara produktif dan bermakna. Pola ini menghalangi masyarakat melakukan dialog internal yang sehat, yang sejatinya penting untuk pertumbuhan dan perubahan sosial.

Dalam era banjir informasi dan polarisasi, kita mengalami isolasi yang justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman pemikiran. Arie menekankan bahwa tugas angon adalah mampu membedakan antara yang bersifat ideologis keras dengan yang bisa dibuka untuk dialog. Dengan kemampuan ini, masyarakat bisa tumbuh dengan keseimbangan, menghindari perang argumen yang tak berujung dan stagnasi akibat keraguan diri yang berlebihan.

Ia memperingatkan bahwa kita tengah terperangkap dalam sebuah jebakan kaku yang ia sebut “The Iron Cage” yang membatasi ruang bagi lompatan-lompatan perubahan positif. Namun, ia juga menegaskan optimisme bahwa meski kita berbeda-beda, kita tetap bisa hidup berdampingan dan menemukan alasan-alasan untuk saling menghormati dan memperkuat kehidupan bersama.

Dengan pendekatan angon yang estetik dan berempati, Arie mengajak kita menapaki jalan politik dan sosial yang tidak hanya memprioritaskan kekuasaan, tapi juga kemanusiaan dan dialog sebagai kunci tumbuh dan berubah bersama.

Dok. Kenduri Cinta

Arie Putra juga menyelipkan canda ringan tentang Anies Baswedan, mengingatkan kebiasaan unik “menggigit bibir” Anies yang sampai kini masih terngiang di kepalanya. Guyonan itu menambah keriuhan dan gelak tawa jamaah bahkan sampai terpingkal-pingkal. Anies pun tak baper dan menikmatinya. Beginilah jika kemesraan dan kedekatan menjadi dasar diskusi, tak membuat jarak di hati sehingga tak ada yang merasa disakiti.

Lir Ilir dan Revolusi Diri: Membaca Zaman lewat Cak Nun

Setelah gelombang tawa dan gagasan dari Arie Putra, giliran Ian L. Betts diminta untuk turut menyampaikan pandangannya, khususnya mengenai perjalanan dan warisan pemikiran Emha Ainun Nadjib. Dengan dialek khas Britania dan bahasa Indonesia yang fasih, Ian membuka dengan penghormatan: “Bulan ini kita merayakan kelahiran Cak Nun.” Ucapan itu langsung menghangatkan suasana malam, mengingatkan semua yang hadir bahwa forum ini tidak hanya membicarakan masa depan, tetapi juga menghormati akar dan jejak.

Ian mengawali dengan mengakui bahwa ia tidak lahir di Indonesia. Namun justru dari “ketidakhadirannya sejak awal” itu, ia merasa mendapatkan keuntungan: perspektif luar yang membantunya melihat Indonesia dengan cara yang berbeda. Ia mencontohkan lagu Lir Ilir, sebagai simbol peralihan zaman dan transisi makna. Menurutnya, Cak Nun menerjemahkan Lir Ilir bukan sekadar tembang spiritual, melainkan sebagai filosofi pengaliran nilai dan perubahan. Sebuah warisan budaya yang tidak kaku, tetapi lentur dalam membawa makna moral, kepemimpinan, kehangatan, dan kerja sama ke tengah zaman yang terus berganti.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version