CakNun.com

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

Kenduri Cinta edisi Mei 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 27 menit
Dok. Kenduri Cinta

Pada poster Kenduri Cinta hari ini, seekor domba memamah rumput kering. Ia tetap makan, meski tak bergizi. Sebuah alegori, entah disengaja atau tidak, tentang kepemimpinan yang kehilangan kapasitas angon. Orang yang mengangon tidak lagi tahu bagaimana cara mengangon. Dan yang diangon? Mereka tetap berjalan, meski tahu arah yang dituju tak pasti. Ika bertanya pula, “Bagaimana cara menjadi pintar sebagai orang yang di-angon? Tapi mungkin pertanyaannya yang lebih mengganggu, apakah kita memang mau di-angon?”

Penanya lain, Ramos, mengalihkan sorot ke ranah yang lebih struktural — tempat dimana fondasi negara diuji bukan oleh niat, tetapi oleh sistem. Ia tak berbicara soal kekurangan dana atau sumber daya, tetapi tentang lembaga-lembaga yang gagal bekerja sebagaimana mestinya. Sebuah negara, katanya, tidak jatuh karena miskin, tapi karena kelembagaan yang lumpuh.

Dalam demokrasi, meritokrasi semestinya menjadi pangkal tolak — mereka yang ahli, yang berintegritas, yang punya kapasitaslah yang mestinya memimpin. Tapi hari ini, panggung politik lebih banyak dihuni oleh para pesulap wacana, yang viral lebih dipilih daripada yang visioner. Yang pandai memanen simpati, lebih dipercaya daripada yang mampu memikul beban.

“Lalu bagaimana caranya memilih pemimpin yang meritokratis dalam demokrasi yang sibuk dengan akrobat popularitas?” Ramos mengajukan nama Anies Baswedan — bukan sebagai gugatan, melainkan sebagai cermin. Ia bertanya, “Apakah Anies memilih tim berdasarkan meritokrasi, ataukah ada ukuran lain yang ia gunakan?”

Jamaah lain, Risma, juga ikut berbagi suara. Suara yang terdengar adalah kegelisahan yang lebih dalam — bukan tentang kebijakan, tapi tentang kepercayaan. Dalam dunia yang katanya terbuka dan rasional, justru propaganda yang tumbuh subur. Rasionalitas kerap dibahas di forum-forum akademik, bahkan dijadikan dalih oleh para elite, tetapi di ruang publik, yang lebih sering muncul adalah doktrinasi. Narasi tunggal dipaksakan, seolah kebenaran hanya boleh datang dari satu arah.

Bagi Risma, ini bukan sekadar soal siapa yang memimpin, tetapi bagaimana rakyat diposisikan. Kita yang di-angon, katanya, semakin sulit menggembala nalar sendiri. Polarisasi tak sekadar membelah pendapat, tapi meretakkan rasa percaya. Dan ketika trust hilang, tak ada rekonsiliasi yang mungkin tumbuh.

Ia bertanya, “Adakah upaya nyata untuk menyembuhkan luka-luka sosial-politik hari ini? Mengapa tak ada rekonsiliasi dari konflik yang berbasis kepercayaan? Mengapa luka dibiarkan menganga, seolah waktu bisa menyembuhkan tanpa usaha?”

Bagi Risma, yang tersisa adalah kelelahan. Kita terlalu sibuk mengurusi isu, sampai lupa siapa diri kita. Baik sebagai individu, maupun sebagai bangsa yang dulu pernah bermimpi besar dan percaya.

Ketika Demokrasi Dipompa Lagi

Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan dengan cemas dan getir, kemudian dijawab tidak dalam bentuk solusi, melainkan tafsir. Budi Ariputro menanggapi bukan dengan kepastian, tapi dengan perumpamaan yang ia kutip dari Wimar W. Witoelar — sebuah metafora yang sederhana, namun menggugah: demokrasi, katanya, ibarat pompa air yang tak pernah digunakan selama lebih dari tiga dekade. Kita memilikinya, tapi membiarkannya berkarat dalam diam. Ketika reformasi datang, kita mencoba memompanya lagi. Air yang keluar pertama-tama memang keruh — bercampur karat, debu, dan sisa-sisa kekuasaan lama. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Demokrasi, bagi Budi, bukan sistem yang sempurna, tetapi ia satu-satunya yang memberi ruang untuk terus belajar menjadi warga. Jangan sampai kita, karena lelah dengan keruhnya air, memilih kembali ke sumur yang kering, ke zaman di mana suara dibungkam dan nalar dipelintir.

Di tengah kebisingan propaganda, di antara erosi kepercayaan, dan dalam iklim yang tak lagi ramah terhadap perbedaan, Budi mengajak agar kita tidak menyerah. Pompa itu harus terus dijalankan, karena hanya dengan begitu, air bersih itu — yang disebut partisipasi, musyawarah, keadilan, atau bahkan sekadar ruang untuk bicara — akan mengalir. Pelan, tapi mungkin.

Kebijaksanaan yang Diangon

Karim yang juga sebagai moderator, tak sekadar menjadi penjaga alur. Ia sesekali menyalakan percik api diskusi. Ia meminta Arie Putra untuk turut bersuara. Maka lahirlah satu fragmen penting dari diskusi malam itu. Tentang angon, tentang negara, tentang kebijaksanaan yang tak cukup hanya dihafalkan dalam buku kewarganegaraan.

“Angon itu soal melayani,” ujar Arie. Sebuah kalimat yang sederhana tapi, seperti pisau kecil yang menyingkap luka besar, mengoreksi satu penyakit sistemik: politik gagasan yang berjalan sendiri, tanpa tubuh pelayanan. Negara, lanjutnya, seharusnya tahu siapa yang sedang dilayani, sebelum menentukan apa yang paling dibutuhkan.

Dok. Kenduri Cinta

Arie menyitir Max Weber, sosiolog Jerman yang tak asing bagi ruang-ruang kuliah ilmu sosial: negara adalah entitas yang memonopoli kekerasan. Tapi pengetahuan tentang itu, tanpa kebijaksanaan, hanya akan menciptakan administrasi yang dingin. Birokrasi yang kaku. Lebih buruk, kekuasaan tanpa nurani.

Meritokrasi, dalam pandangan Arie, bukanlah daftar nama yang dikurasi berdasarkan IPK atau jabatan akademik. Ia adalah proses dialektik yang tumbuh dan bergerak bersama semangat zaman. Orang-orang yang pantas memimpin bukan mereka yang sekadar “siap”, tapi mereka yang dipersiapkan oleh sistem yang sehat.

Zastrouw Al-Ngatawi pernah mengingatkan, “Demokrasi datang untuk mengevaluasi keburukan monarki — monopoli kekuasaan, stagnasi kepemimpinan, ilusi ketuhanan dalam raja.” Tapi, kata Arie, demokrasi belum tentu mampu meneruskan kebaikan dari sistem lama: etika menjaga kekuasaan, bukan mengeksploitasinya. Dalam monarki, seorang pangeran dipersiapkan. Di Ottoman, Sultan Mehmed bahkan mengalami kerasnya didikan dari penasihat kerajaan — karena kelangsungan bangsa dianggap lebih penting dari kenyamanan pribadi.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version