Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani


Ia juga menyebut pentingnya rasionalitas. Dalam konteks ini, rasional bukan sekadar logika, tetapi juga keberanian membandingkan, mengukur, dan menguji gagasan. “Tidak ada kemajuan tanpa kompetisi gagasan. Dan tak ada gagasan yang sehat tanpa komentar dan kritik,” ujarnya.
Sebagai penutup, Anies mengusulkan agar narasi “Angon” tidak sekadar dimaknai sebagai individu atau institusi, tetapi juga sebagai sistem nilai dan gagasan. Ia menyebut bahwa sebagaimana dulu bangsa ini punya trilogi pembangunan sebagai pegangan, maka hari ini kita perlu kembali pada dasar — yakni Pancasila, terutama sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Itu, menurutnya, bisa menjadi pengangon kolektif bangsa ini ke depan.
Darurat Kepercayaan: Menata Ulang Kepemimpinan dan Realitas Bangsa
Melewati dini hari, diskusi dilanjutkan namun semangat para jamaah tetap menyala, Sabrang Mowo Damar Panuluh memberikan pandangannya di forum. Bukan hanya sebagai penanggap, ia tampil sebagai penyulam benang-benang percakapan dari berbagai narasumber sebelumnya — merangkainya menjadi lebih utuh, jernih, dan reflektif.
Ia membuka dengan pernyataan yang menggelitik, “Pemimpin pembohong kadang perlu, dalam keadaan perang.” Ucapan ini bukan pembenaran atas ketidakjujuran, melainkan pengingat bahwa konteks menentukan tafsir atas tindakan. Namun ia segera menyingkap lapisan yang lebih dalam: bahwa Indonesia hari ini sedang mengalami krisis yang lebih genting dari sekadar kepemimpinan pragmatis — yakni darurat kepercayaan.
Menurut Sabrang, salah satu akar dari konflik sosial adalah perebutan realitas. Ketika masing-masing orang memegang versi kebenarannya sendiri tanpa ada ruang untuk menyinkronkan, maka benturan tak terelakkan. “Kalau persepsi kita berbeda dan tidak pernah bertemu dalam diskusi, kita akan bermasalah,” tegasnya. Maka, katanya, masalah personal harus dapat dikonversi ke format komunal agar bisa dihidupi bersama. Tanpa mekanisme itu, bangsa ini hanya akan terdiri atas kumpulan individu yang berserakan.
Di titik inilah Sabrang menyatakan bahwa Indonesia kekurangan infrastruktur kepercayaan — jaringan kejujuran yang menjadi dasar relasi sosial. “Kita bahkan tidak percaya hukum kita sendiri. Di Indonesia, jangan percaya pada perjanjian,” ucapnya getir. Inilah situasi dimana polarisasi bukan hanya terjadi karena perbedaan ide, tetapi karena hilangnya fondasi logika dan integritas yang menghubungkan satu warga dengan yang lain.
Baginya, membangun Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada elite atau kelompok tertentu. “Kita perlu seluruh resources dari seluruh penjuru Indonesia. Semua pikiran harus punya hak untuk didengarkan,” katanya. Sebab ide terbaik sering datang dari tempat yang tak disangka. Ia mengingatkan: lawan kita bukan saudara kita sendiri — melainkan persoalan besar di tingkat negara dan global.
Menjawab kegelisahan sebagian orang yang ingin Maiyah “difungsikan” secara politik, Sabrang dengan tegas mengutip pesan Cak Nun, “Jangan biarkan Maiyah jadi ormas atau partai. Kalau hidup, biarkan hidup. Kalau mati, biarkan mati. Karena yang membuat adalah Allah.” Dengan kata lain, Maiyah adalah ruang spiritual dan kultural yang harus tetap cair, bebas dari ambisi institusionalisasi.
Sabrang kemudian menyodorkan pemaknaan mendalam atas istilah angon — tema utama Kenduri Cinta malam itu. Menurutnya, angon bukan sekadar tindakan menggembala, tapi sebuah state of mind: kondisi mental yang sabar, jernih, dan sadar akan kompleksitas realitas. “Tidak ada manusia yang mampu menampung seluruh kenyataan,” katanya. Maka syarat dari kepemimpinan adalah kesediaan untuk jujur, sabar, dan membuka diri terhadap dialog.
Ia menutup dengan menyatakan bahwa Maiyah tidak merasa lebih suci atau lebih unggul dari siapa pun. Tapi satu hal yang menjadi kekuatannya adalah keberanian untuk menatap keburukan, bukan hanya yang ada di luar, tapi juga yang bercokol dalam diri sendiri. “Fairness itu ide Tuhan, bukan ide manusia,” tuturnya.

Dengan tenang, nyaris tanpa agitasi, Sabrang mengajak semua yang hadir malam itu untuk mengambil jalan sunyi sebagai pengangon: menjadi pemimpin dalam arti paling personal dan paling luas. Bukan karena kekuasaan, tetapi karena nilai. Bukan karena jabatan, tapi karena kepercayaan. Dan bukan untuk menguasai, tetapi untuk merawat — realitas, perbedaan, dan Indonesia.
***
Forum Kenduri Cinta Edisi Mei 2025 dilanjutkan dengan penampilan musik dari Misti Clans yang isinya adalah penggiat Kenduri Cinta: Rizal Harjanto, Mizani, dan Dhana. Mereka membawakan beberapa lagu yang membuat jamaah larut dan ikut bernyanyi bersama. Salah satu momen mengharukan terjadi saat mereka membawakan lagu “Perahu Retak” yang liriknya merupakan karya Cak Nun, menghadirkan nuansa syahdu sekaligus penghormatan. Kejutan pun hadir ketika Pathub Letto datang ke tengah forum. Bersama Sabrang, ia diminta jamaah untuk ikut bernyanyi. Dengan canda hangat, Hadi menyebut duet itu sebagai “Letto Setengah” dan meminta mereka membawakan lagu Letto. Permintaan itu pun dipenuhi, membuat forum ditutup dengan tawa, nyanyian, dan rasa kebersamaan yang begitu kuat.
Setelah itu, sesi tanya-jawab dibuka untuk jamaah yang hadir. Diskusi pun berlanjut. Bagi Ika, seorang jamaah, bulan Mei ini bukan hanya soal ulang tahun Cak Nun — melainkan juga Anies. Dalam sebuah podcast yang tayang sekitar seratus hari pemerintahan Prabowo, Anies Baswedan menyarankan agar publik memberikan benefit of the doubt pada pemerintah. Beri mereka waktu. Beri ruang untuk niat baik.
Namun waktu, seperti hujan yang terus turun pada tanah yang retak, tak selalu menyuburkan harapan. Sudah hampir tujuh bulan berlalu, dan Ika menyebutnya sebagai rentetan kekecewaan yang bersambung. Maka ia bertanya, “Berapa lama kita harus bertahan dalam keraguan yang diberi nama harapan itu?”