Inverted Indonesia, Yang Terbalik Tidak Selalu Tidak Baik
Jum’at sore di Jakarta, Ramadlan, hujan dan macet. Perpaduan sempurna nuansa senja di eks Ibukota Jakarta. Lho, kok eks? Konon kabarnya, sesuai dengan UU IKN yang sudah disahkan 2 tahun lalu, maka per 15 Februari 2024 Jakarta bukan lagi Ibukota NKRI. Netizen ramai meributkan hal itu. Tapi apakah itu berpengaruh kepada Kenduri Cinta? Tentu saja tidak. Kenduri Cinta tetap diselenggarkaan di Jakarta, di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki.
Suasana Ramadlan memang selalu terasa berbeda dari bulan-bulan lainnya. Jam kantor selesai lebih cepat. Masyarakat urban di Jakarta memenuhi jalanan lebih awal. Pemandangan kepadatan manusia di stasiun KRL, halte Transjakarta, Angkot, pasar hingga trotoar. Di beberapa titik, mereka menyerbu para penjaja kudapan Takjil di beberapa sudut kota. Ramadlan memang berkah. Bukan hanya untuk ummat Islam saja. Bahkan, mereka yang bukan beragama Islam dan tidak sedang berpuasa pun ikut berburu Takjil. Agamamu ya agamamu, tapi jajanan Takjil bukan hanya milikmu. Begitu kata mereka. Menyenangkan sekali menyaksikan pemandangan seperti ini. Geliat kehidupan sosial masyarakat di Jakarta seolah memperlihatkan bahwa Indonesia sedang baik-baik saja.
Apa? Harga beras dan bahan makanan pokok lain merangkak naik? Kita bisa dengan enteng menjawab: Ah, itu perasaan adik saja.
Jumat minggu kedua di bulan Maret ini, terjadwal Kenduri Cinta. Sejak Kamis sebelumnya, tenda sudah terpasang di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. TIM memang sudah menjadi rumah bagi Kenduri Cinta. 24 tahun perjalanan, Kenduri Cinta menyemai nilai-nilai kebaikan di tempat ini. Nilai-nilai kebaikan yang dibawa oleh Cak Nun, disetiai bersama, untuk terus dibawa, dielaborasi dan diejawantahkan. Sebisa-bisanya, semampu-mampunya.
Sejak Jumat sore hari (15/3), penggiat Kenduri Cinta sudah berkumpul di Plaza Teater Besar ini. Setelah seluruh persiapan teknis selesai dilakukan, tradisi Khataman yang digagas setiap Ramadlan kembali digelar. Mereka duduk melingkar di panggung, tadarrusan bersama. Hingga menunggu Adzan Maghrib berkumandang, sebagai penanda akhir dari puasa hari itu. Langit Jakarta sore itu menggelap. Mendung menggelayuti, angin berhembus kencang, dan benar saja, tepat selepas Adzan Maghrib, hujan turun cukup deras disertai angin yang kencang. Menambah syahdu suasana buka bareng penggiat Kenduri Cinta sore itu.
Kenduri Cinta sudah menjadi meeting point bagi para penggiatnya. Mereka yang mayoritas adalah para pendatang, kaum pekerja di Jakarta, datang dari kampung, menemukan sebuah rumah bersama untuk selalu disinggahi; Kenduri Cinta. Tidak ada rasa bosan untuk menyetiai forum ini. Setia kepada nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh Cak Nun adalah fondasi utamanya. Forum Reboan yang selalu menjadi laboratorium diskusi mingguan, mengasah kepekaan para penggiat untuk berdialektika, menjalani rutinitas dinamika kehidupan Jakarta. Gesekan dan perdebatan adalah menu yang biasa tersaji di forum Reboan. Bisa jadi, gojlokan yang mereka rasakan di forum Reboan justru menjadi jamu yang manjur sehingga mereka memiliki ketangguhan yang teruji untuk menjalani kenyalnya kehidupan di Jakarta.
Tak perlu berlama-lama langit menyapa Jakarta dengan air hujannya. Hanya sekitaran 30 menit saja., hujan pun reda. Setelah penggiat selesai menikmati kudapan takjil, mereka bergegas menuju Msajid Amir Hamzah untuk sholat maghrib berjamaah. Masya Allah, pemandangan yang soleh sekali. Ingatase gentho-gentho KC, tadarrusan, njur do sembayang jamaah.