CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (21)

Kaum Bahariwan Penyambung Peradaban

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 6 menit
Photo by Indra Dewa on Unsplash

Saat naik kapal Ferri menyeberangi Merak-Bakahuni saya belajar kepada penumpang yang terbiasa menyeberang selat Sunda ini. Sebelum bus masuk kapal dia mencatat nomor polisi bus yang ditumpangi.

“Untuk apa mas?”

“Agar kita tidak bingung saat turun mencari bus kita. Kan bus dengan nama perusahaan yang sama tidak hanya satu yang menyeberang,” katanya.

Betul juga. Di tempat parkir di dalam perut kapal Ferri banyak bus dengan nama perusahaan yang sama. Nomor polisinya berbeda. Sebagai wartawan dan penulis sastra saya selalu menyelipkan kertas kosong dan ballpoint di saku. Kegiatan mencatat nomor polisi bus angkutan antarkota antarprovinsi bahkan antarpulau ini mudah saya lakukan.

Ketika di dalam kapal, orang itu memeriksa dan mendekati tempat penyimpanan pelampung. Saya berdebar dan berdoa semoga selama perjalanan ini kami baik-baik saja dan tidak perlu menyentuh dan menggunakan pelampung. Tiba-tiba saya ingat kalau belum shalat Dhuhur dan Ashar. Saya mencari musholla di kapal yang bergoyang sedikit. Justru menyebabkan saya bisa shalat dengan amat khusyuk. Sekeliling kapal hanya laut. Meski disebut selat ternyata jauh juga perjalanan ini.

Begitu kapal mendekati dermaga, penumpang diminta menuju ruang parkir mencari bus masing-masing. Catatan tadi saya keluarkan dari saku dan saya duduk di kursi dengan nomor penumpang atas nama saya sendiri.

Ketika bis sudah keluar dari pelabuhan, melaju menuju Bandarlampung saya lega. Tinggal menunggu waktu bus berhenti di restoran, makan malam shalat jamak Maghrib dan Isya lalu tidur di dalam bis dalam perjalanan jauh menuju Padang.

Ternyata bus mampir di Padangpanjang, malam hari, udara dingin, bus berhenti di dekat tempat penjualan kue bika yang tungku apinya berkobar. Saya membeli kue bika panas untuk mengganjal perut. Ketika bus melaju turun menuju kompleks INS Kayutanam, tempat pertemuan sastrawan ASEAN, saya setengah tertidur.

Sehabis pertemuan sastrawan yang jelas asyik, karena saya bisa bergaul dengan sahabat sastrawan serumpun, termasuk dari Malaysia yang memberikan resep makan durian sebanyak mungkin tanpa perut sakit dan mabuk durian, Saya mengunjungi dan menginap di rumah sastrawan Bang Rusli Marzuki Saria di mana saya disuguhi makanan khas Padang, pical dari bunga atau jantung pisang yang lezat dan sehat. Sebelum pulang saya sempat mengunjungi pantai Padang, melihat petilasan kapal batu Malin Kundang yang terkenal itu. Pantai Padang tenang lautnya. Sayang, saya tidak sempat mengunjungi Pelabuhan Teluk Bayur yang lagu popnya dulu dihapal oleh anak-anak seusia saya. Sebenarnya saya ingin melihat bagaimana kaum bahariwan beraksi di sini.

Pada kunjungan saya kedua di tanah Minang, dengan naik pesawat terbang pulang balik, saya menginap di hotel Pangeran. Letak hotel ini persis di pantai Padang sehingga pagi dan sore hari saya dan teman-teman wartawan anggota PWI se-Indonesia yang diundang mengikuti pertemuan pembinaan oleh Departemen Penerangan bisa menikmati pemandangan laut dengan kapal berseliweran. Dan karena waktu terbatas, kami para wartawan hanya sempat berwisata ke Ngarai Sianok, melihat jam gadang Bukittinggi, lembah Anai memborong buah manggis.

Ketangguhan nelayan Minangkabau hanya kami dengar dari cerita teman wartawan Padang. Untuk oleh-oleh khas saja bukan ikan laut, tetapi ikan danau yang disebut ikan bilih yang memang lezat dan empuknya istimewa.

Lain cerita ketika saya naik Ferri menyeberangi Selat Bali, lewat dermaga pelabuhan Ketapang-Gilimanuk. Waktu ke Bali tidak ada masalah, berjalan lancar. Baru saat pulang, Ferri terjebak pusaran air laut. Kapal Ferri berputar-putar dan saya bisa melihatnya dari lampu pantai yang berputar putar. Saya duduk gelisah, berdoa dan mata melirik tempat penyimpanan pelampung. Tetapi ada sastrawan cerpen yang tidak peduli dengan keadaan yang menurut saya gawat ini. Dia malah asyik bermain game dengan hp di tangan. Saya lirik dia, wajahnya tertanam di layar handphone. Saya makin gelisah dan doa saya makin gencar sampai akhirnya kurasakan Ferri bisa melewati pusaran air. Saya waktu itu juga berdoa semoga kapal ini dulu dibuat di galangan kapal yang baik sehingga kapal Ferri ini tangguh dan tidak pecah karena tekanan pusaran air yang kuat.

Berbeda lagi dengan pengalaman yang asyik menyusuri sungai di tengah kota Banjarmasin pagi-pagi benar sampai ke sebuah tempat yang dikenal sebagai pasar terapung. Saya dan teman-teman sarapan pagi di kapal motor dan membeli bubur dan kue di pasar terapung. Rasanya berbeda. Melihat suasana pasar terapung yang unik dengan ibu-ibu berdagang dengan mendayung perahu. Melihat banyak sekali kapal berseliweran dengan kaum bahariwan yang sederhana dan rajin bekerja.

Kapal kecil ini kokoh juga. Ada teman yang sastrawan yang sepanjang menyusuri sungai naik di bagian atap sambil bersorak-sorak. Transportasi air di Banjarmasin ini membuat saya membayangkan bagaimana dulu ramainya Bengawan Solo yang melewati dua provinsi ini dengan kapal dagang dan penumpang. Bayangkan dari Solo bisa naik kapal ke Surabaya. Begitu sebaliknya. Dan saya pernah datang ke sebuah tempat di pinggir Bengawan Solo dan melihat sebuah bekas pelabuhan lama dengan peninggalan gedung rumah yang dulu bagus.

Bukankah di pinggir aliran sungai Bengawan Solo pernah ditemukan benda purbakala berupa kapal kayu? Ini membuktikan kalau dahulu teknologi pembuatan kapal kayu nenek moyang kita memang andal. Dan jejaknya sekarang masih bisa kita saksikan di sepanjang pantai utara Jawa sejak dari Muara Angke Jakarta, pantai Indramayu, Batang sampai Lamongan. Denyut industri pembuatan kapal kayu berstandar internasional, nasional, dan lokal terus terasa. Mereka yang bergerak di pembuatan kapal kayu mewarisi ilmu nenek moyang mereka yang diturunkan turun-temurun. Misalnya yang di Indramayu, mereka bisa membuat kapal besar ukuran 70 GT sehingga kapal buatan mereka dapat dipergunakan untuk mencari ikan sampai jauh, sampai Kalimantan dan Papua. Sedangkan kapal ukuran sedang di bawah ukuran buatan Indramayu, bisa dibuat oleh nelayan di Batang dan kapal kayu yang lebih kecil dibuat di pesisir Paciran Lamongan.

Pulau Jawa penghasil kayu jati bermutu tinggi. Kayu inilah yang menjadi bahan baku pembuatan kapal kayu. Kalau persediaan kurang baru mendatangkan kayu meranti dari Kalimantan dan kayu lainnya dari tempat lain.

Galangan kapal sederhana atau yang agak canggih milik masyarakat ini selain memproduksi kapal kayu tangguh juga memiliki fasilitas bengkel kapal. Kapal kayu yang lama beroperasi atau jam berlayar tinggi diperiksa. Kalau ada bagian yang mulai rusak diperbaiki sehingga bisa dioperasikan kembali untuk menangkap ikan.

Dalam kesempatan berkunjung ke pantai Rembang dua kali saya sempat menyaksikan betapa armada kapal kayu milik nelayan lokal siap menggali kekayaan laut Indonesia yang jumlahnya tidak terhingga. Sebelum pantai Rembang direklamasi, bahkan kapal nelayan yang tidak beroperasi mencari ikan, waktu libur sekolah dan saat air surut, didayagunakan untuk kapal wisata. Pantai yang landai menjadi penuh kegembiraan anak-anak kota yang berlibur dan ingin merasakan asyiknya naik kapal dengan ongkos murah.

Pada saat pantai Rembang sudah direklamasi, saya pangling karena wajah pantai sudah berubah menjadi dermaga tempat bersandar ratusan kapal nelayan. Saya dan saudara saya berkeliling dari pinggir ke pinggir kemudian mencoba melihat wajah laut dari bukit pasir dan batu. Pemandangan berbeda dengan ketika pantai ini belum direklamasi. Melihat begitu banyak kapal bersandar hati saya bergetar. Semangat bahariwan warga pantai terasa menyala berkobar.

Lebih-lebih dalam kesempatan menyusuri pantai utara dari Pemalang sampai Juwana, Rembang, Bojonegoro, Lamongan, Tuban saya seperti pesta pemandangan penuh dengan sosok kapal kayu nelayan dan tempat pembuatan kapal. Ingatan saya melayang ke masa silam. Ke zaman kejayaan para bahariwan dulu yang selain mampu membuat kapal kayu untuk mencari ikan, juga mampu membuat kapal dagang dan kapal perang yang dengan itu mereka menjelajah dunia. Perpaduan teknologi pembuatan kapal kayu dengan teknologi metalurgi dalam membuat perlengkapan kapal dan perlengkapan perang seperti meriam membuat kekuatan maritim kita dulu diperhitungkan dalam pergaulan internasional.

Kaum bahariwan ini yang menyebarkan bahasa Melayu ke seluruh pulau di Nusantara sehingga kemudian bisa ditransformasi menjadi bahasa nasional, bahasa Indonesia. Kaum bahariwan ini juga yang menciptakan sistem dan ekosistem serta atmosfer kultural bahwa mencintai tanah air (dan udara) Indonesia harus lengkap dengan mencintai tanahya sekaligus mencintai airnya dan mencintai bentang langitnya sebagai gambaran bahwa bangsa kita memiliki daya juang dan daya hidup yang kuat, luas, dalam, dan bermakna.

Penyair Rendra pernah mengritik adanya kecenderungan reduksi makna nasionalisme hanya dalam bentuk kesadaran mencintai tanah, cenderung lupa mencintai bentang air dan bentang langit. Kalau basis kebudayaan tanah (feodal) tumbuh di Jawa, khususnya pedalaman maka basis kebudayaan air tumbuh dan kuat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.

Bahkan di luar pulau Jawa ini gerak kebudayaan air bergerak dari pantai menembus jauh ke pedalaman lewat sungai besar dan panjang atau teluk yang masuk ke perut pulau sebagaimana bisa dilihat dari hadirnya sungai Batanghari, sungai Musi, Indragiri, Kapuas, Mahakam, Barito, Mamberamo, dan sungai Digul. Untuk pulau Jawa, diwakili sungai Bengawan Solo.

Di tengah sungai besar dan panjang itu hilir-mudik kapal. Saya pernah berdiri di tengah jembatan di atas Sungai Barito dan terkagum-kagum menyaksikan kapal besar pembawa batubara. Dalam perjalanan menuju Samarinda, berada di atas jembatan sungai Mahakam sungguh asyik dan ngeri. Sementara naik bus menyusuri pinggir sungai Batanghari sambil menyaksikan sisa hutan terbakar sebelum dibuat menjadi kebun sawit yang amat luas juga ada asyiknya.

Ketika menyaksikan hadirnya kapal di sungai atau di lautan luas yang sebagian besar saya intip dari jendela pesawat terbang ketika bepergian jauh membuat ingatan saya makin terbang jauh melintas benua-benua sejarah sampai pada zaman yang amat dahulu ketika Allah Swt. mengutus seorang Nabi yang sekaligus Rasul pilihan yang dikenal sebagai Ulul Azmi pertama, Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Kehadiran dan misi dakwah Nabi Nuh disebut dalam surat khusus di Al-Qur‘an, surat Nuh. Kalau ditadabburi secara sungguh-sungguh maka ada pesan penting: hendaknya manusia memperhatikan dan mengelola potensi bahari sebaik mungkin. Kalau di zaman Nabi Nuh kehadiran bahtera atau kapal besar bisa menyelamatkan umatnya yang beriman dari terjangan banjir besar, maka kehadiran para bahariwan Indonesia punya potensi menyelamatkan ekonomi rakyat (sebagaimana dibuktikan oleh Menteri Susi), menyelamatkan ketahanan dan pertahanan nasional (sebagaimana dibuktikan oleh Habibie ketika membangun industri strategis termasuk industri galangan kapal) dan menjadi wahana melatih pelaut dan perwira angkatan laut lewat keberanian mengelilingi dunia dengan menggunakan kapal layar kapal pelatih bernama Dewaruci yang sekarang tugasnya telah digantikan oleh KRI Bima Suci.

Yogyakarta, 23-25 Juli 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Merdeka Sebagai Kata Kerja

Merdeka Sebagai Kata Kerja

Bismillahirrahmanirrahim

Bulan Agustus ini bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan yang ke 75, dan Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin memperingati Milad ke-9.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version