CakNun.com

Tua Itu Rahmat yang Minta Dimengerti

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Mbah Salam

Kiai-kiai tua, embah-embah yang duduk bersarung sambil nonton langit, para sesepuh yang tubuhnya melambat tapi pikirannya makin lembut — jangan lekas menyebut diri sakit. Jangan buru-buru ngeluh, apalagi panik, hanya karena ada yang berubah di tubuh kita. Wong hidup itu sendiri adalah perubahan, kok. Dan perubahan itu tidak selalu berarti rusak.

Kalimat pertama yang perlu kita jadikan wirid adalah ini: “Anda tidak sakit, Anda sudah tua.” Terdengar seperti ejekan? Bukan. Ini pujian. Ini penegasan bahwa tubuh panjenengan itu sedang menjalankan tugasnya: menjadi tua. Kayak rumah tua yang catnya mulai pudar, kayu-kayunya mulai berbunyi, tapi tetap rumah yang penuh kenangan dan bisa ditinggali. Justru kalau rumah tua tidak berubah, itu aneh. Dan kalau orang tua tidak pelan-pelan berubah, malah mencurigakan.

Banyak hal yang panjenengan anggap penyakit—ternyata hanya bagian dari skrip kehidupan. Misalnya, “jalan lambat, kaki goyah” — itu bukan kelumpuhan, tapi otot yang memang sedang pensiun dini. Solusinya bukan obat kimia yang mahal, tapi jalan kaki pelan-pelan ke warung, ke masjid, atau sekadar muter-muter halaman. Jangan lawan tua dengan pil, lawanlah dengan gerak. Karena obat itu bikin dompet tipis dan tubuh pasif. Tapi gerak bikin tubuh segar dan jiwa bahagia.

Terus kalau panjenengan lupa naruh kunci, jangan langsung nuduh diri sendiri kena Alzheimer. Kata dokter pun: kalau bisa nemu lagi, itu bukan demensia. Ingatan yang bolong-bolong itu cara otak menyortir, bukan mogok kerja. Otak lansia itu pintar: dia hanya menyimpan yang penting-penting saja. Makanya jangan panik, apalagi kalau lupa nama mantu — asal masih ingat nama cucu, itu sudah cukup.

Tidur yang tidak pulas? Itu bukan insomnia. Itu bukan salah tubuh, tapi tubuh sedang menyetel ulang jam biologisnya. Jangan langsung nyari pil tidur. Mending tiap pagi jemur diri, jalan-jalan, makan yang teratur. Sinar matahari lebih mujarab daripada apotek. Kalau malam belum ngantuk, ya dzikir saja. Tuhan tidak pernah tidur, kok. Dia senang kalau kita menyapa-Nya di waktu sunyi.

Pegal-pegal? Sendi nyut-nyutan? Wah, itu bukan rematik, bukan juga tulang keropos semata. Itu saraf yang sudah tidak muda lagi. Nyeri itu bukan musuh, tapi sinyal bahwa tubuh sedang menyapa kita. Solusinya bukan painkiller, tapi mandi air hangat, rendam kaki pakai air jahe, dan minta cucu mijit sambil cerita wayang. Itu terapi terbaik.

Dan jangan risau kalau hasil tes kesehatan panjenengan “tidak normal”. Bisa jadi itu karena standar ‘normal’ yang dipakai rumah sakit adalah standar orang umur 30. Lah kita ini 70, tentu beda! Masa pohon beringin tua mau disamakan dengan bibit bonsai? Yang penting panjenengan masih bisa makan, jalan, tertawa, dan berdoa. Itu yang normal. Selebihnya, statistik saja.

Tua itu bukan penyakit. Tua itu mukjizat. Tapi kita sering terlalu modern dalam menyikapinya, sampai lupa bahwa usia senja adalah musim paling indah: kita tidak lagi sibuk mencari dunia, tapi sibuk menyiapkan pulang. Maka jangan paranoid, jangan curiga sama tubuh sendiri. Dia sedang menemani panjenengan menyusuri jalan yang agung — menuju akhir yang suci.

Tua bukan akhir dari hidup. Tua adalah awal dari kebijaksanaan. Jadi, embah… jaga tubuh, jaga hati, jaga syukur. Obat terbaik itu bukan yang dijual di apotek, tapi yang tumbuh di dalam hati: menerima, mengikhlaskan, mencintai.

Orang tua-tua di kampung, embah-embah di pojok rumah, bapak-ibu kita yang rambutnya memutih satu per satu — sering kali lebih takut pada hasil lab daripada pada maut. Karena zaman sekarang bukan hanya penyakit yang menakutkan, tapi juga persepsi tentang penyakit. Dan celakanya, ketakutan itu bisa lebih membunuh daripada penyakit itu sendiri.

Organisasi Kesehatan Dunia sudah bilang, standar medis itu bukan kitab suci. Bagi lansia, indikator kesehatan perlu dilonggarkan, bukan dipaksakan menyamai anak muda. Kolesterol sedikit tinggi? Tidak apa-apa. Justru orang tua dengan kolesterol yang agak tinggi bisa hidup lebih lama. Karena kolesterol itu bukan setan. Ia adalah bahan dasar hormon dan dinding sel. Kalau terlalu rendah, malah imun turun, gampang masuk angin, dan jadi bahan empuk iklan suplemen.

Tapi masyarakat kita ini kadang terlalu saleh pada angka. Begitu hasil tensi 145, langsung panik, langsung dikira jantung bocor. Padahal pedoman terbaru dari Tiongkok — yang rakyatnya banyak hidup sampai 90 tahun — menyebutkan bahwa tekanan darah lansia cukup dijaga di bawah 150/90 mmHg, bukan dipaksa ke angka muda 140/90. Jangan memperlakukan penuaan sebagai penyakit. Jangan menyangka perubahan itu luka. Daun yang menguning itu bukan busuk, itu pertanda musim.

Ada beberapa kalimat yang perlu kita bisikkan pada diri kita sendiri, dan pada orang tua kita, serta anak-anak kita yang mulai panik melihat uban dan tremor di tangan embahnya:

Pertama, tidak semua ketidaknyamanan adalah penyakit. Kadang tubuh cuma bilang, “Aku butuh istirahat.” Bukan berarti dia rusak.

Kedua, orang tua paling takut ditakut-takuti. Dulu waktu muda takut kehilangan pekerjaan, sekarang tua malah ditakuti kehilangan umur gara-gara hasil check-up. Jangan takut sama angka di kertas. Takutlah kalau anak-anak sudah terlalu sibuk mengejar gaji sampai lupa nanya kabar orang tua.

Ketiga, yang paling dibutuhkan orang tua bukan rumah sakit, tapi rumah yang hangat. Bukan dokter, tapi teman bicara. Ajaklah mereka jalan-jalan pagi, berjemur, makan bareng, dan ngobrol — itu pengobatan paling murah dan mujarab. Karena tubuh tua tidak butuh obat sebanyak hati tua yang butuh ditemani.

Penuaan itu bukan musuh. Yang jadi musuh adalah persepsi keliru tentang penuaan. Selama kita masih menganggap uban sebagai kerusakan, bukan kematangan — selama itu pula kita akan terus terjebak dalam budaya takut mati, padahal sejatinya kita sedang belajar hidup lebih lambat.

Hidup itu bukan soal memanjang umur, tapi memperdalam makna. Dan makna itu tumbuh bukan di apotek, tapi di peluk anak, dalam obrolan malam, dalam rasa cukup, dalam rasa syukur.

Maka mari kita ubah cara berpikir. Dari “penyakit” ke “proses menua”. Dari “menakuti” menjadi “memahami”. Karena tua bukan akhir segalanya. Tua adalah saatnya hidup jadi sebenar-benarnya manusia.[]

Pakem, 13 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kapitalisme di Pangkuan Ibu Pertiwi

Kalau kita mengira kapitalisme itu barang baru — barang impor dari Belanda, Amerika, atau paket kiriman dari IMF — maka itu artinya kita sedang melupakan nenek moyang kita sendiri.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo
Exit mobile version