CakNun.com

Mahluk-Mahluk Halus dari Langit dan Nyanyian Terakhir Sebuah Kekuasaan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 4 menit
Soldier Holding Gun
Photo by Jakson Martins

Laith Marouf bukan nabi. Tapi barangkali ia mewarisi rasa sakit para nabi — rasa getir melihat kebenaran yang tidak disambut, kezaliman yang disembah dengan bendera, dan perlawanan yang gugur satu demi satu seperti gugurnya bintang malam ke dalam pekat.

Ia pendiri TV Free Palestine, dan kini, ia seperti juru azan terakhir dari menara reruntuhan. Ia menyaksikan satu per satu tapak perlawanan terhadap zionisme dihancurkan: Palestina, Lebanon, Suriah… dan kini hanya tinggal Yaman yang belum dipetakan jadi puing. Tapi Laith bukan sedang berkabung. Ia sedang membuka mata kita semua, tentang satu fakta pahit yang justru membawa harapan: zionisme mulai retak dari dalam, dan langit mulai memuntahkan kebenaran dengan rudal-rudal yang berumur tua, namun membawa ruh peradaban baru.

Dalam tempo tiga hari, Iran menari dengan drone dan misil dari dekade lalu, tapi entah bagaimana, tarian itu membuat seluruh pangkalan militer Israel seperti tiang-tiang kosong yang menunggu digoyang angin. Semua bandara militer porak poranda, kilang minyak terbakar, dan depo bahan bakar tinggal sejarah. Pesawat-pesawat tempur Israel tak lagi lepas landas dari tanahnya sendiri — mereka harus pinjam landasan dari Yordania dan Siprus.

Sementara, pesawat bantuan Amerika terpaksa transit di tanah Saudi, seperti pangeran tua yang tersesat di rumahnya sendiri. Israel, yang selama ini dibungkus mitos oleh media dan industri senjata, kini dikuak telanjangnya: hanya butuh tiga hari, dan sisa-sisa iron dome tinggal cukup untuk dua minggu. Rudal Iran yang masih dari stok 20–30 tahun lalu itu bukan sekadar peluru — mereka adalah surat pengantar menuju kebangkrutan militer sebuah proyek kolonial rasis yang sudah terlalu lama hidup dari subsidi penderitaan.

Kini Iran tak lagi main-main. Setelah tahap penghabisan iron dome, mereka mulai membuka etalase teknologi: rudal hipersonik. Satu per satu pusat komando IDF, Mossad, Shin Bet, industri militer, hingga markas komunikasi strategis dihantam dan dilumpuhkan.

Dan ketika publik dunia bertanya kenapa korban sipil begitu banyak, Laith — dengan suara yang bukan dari ruang redaksi, tapi dari reruntuhan — menjawab: karena militer Israel sengaja membangun fasilitas perang mereka di tengah-tengah kawasan sipil. Mereka tidak menjadikan rakyat sebagai pelindung — mereka menjadikan rakyatnya sebagai tameng manusia, boneka statistik, tumbal keabadian kekuasaan.

Dan sekarang rakyat itu pun dilarang meninggalkan negaranya sendiri. Zionisme sedang menciptakan penjara terbesar di dunia — untuk rakyatnya sendiri.

Sejarah tak pernah lelah berputar.

Iran, negeri yang selama ini dikucilkan, kini menjadi negara pertama yang mampu menjatuhkan F-35, pesawat siluman yang katanya tak terlihat radar, tapi kini terlihat dengan terang dalam reruntuhan. Empat buah sudah jatuh. Salah satu pilotnya adalah orang Amerika, dan sekarang sedang diselami pikirannya untuk menguak dari mana mereka benar-benar berangkat.

Iran tidak menyerang tanpa alasan. Dan mereka tidak menyerang sendirian. Mereka menyerang dengan ingatan. Mereka menyerang dengan pengkhianatan sejarah. Karena semua negara Arab yang kini diam atau justru membantu Israel, telah secara sadar membiarkan genosida itu berjalan selama puluhan tahun.

Tapi sejarah bukan sinetron. Tak ada plot twist. Hanya logika sebab-akibat yang menumpuk. Kini, seperti NATO di Ukraina, giliran Israel menghadapinya: sebuah kekalahan tragis yang sudah ditulis sejak mereka membangun negara di atas darah yang belum kering.

Dan karena ini bukan akhir, tapi awal baru, akan ada satu momen sakral dalam waktu dekat: ketika dunia akan menuntut pertanggungjawaban moral, spiritual, dan hukum dari semua yang terlibat.

Laith Marouf mengusulkan  — dan kita semua menyimak — bahwa setelah semua ini, harus ada mahkamah perang dunia, mahkamah peradaban, untuk mengadili:

Saudara-saudaraku…

Jangan buru-buru menuding langit ketika bumi terasa seperti neraka. Jangan terlalu gampang menyebut setan ketika sebenarnya yang beraksi adalah manusia seperti kita — berdasi, berjas, tersenyum manis di forum-forum dunia, sambil di tangannya masih menetes darah bayi dari Gaza.

Para pemimpin NATO itu, wahai sahabatku, bukan cuma menutup mata. Mereka bukan hanya membiarkan, tapi juga menyiramkan bensin ke kobaran api. Mereka hadir dalam bentuk anggaran bantuan, paket militer, dan resolusi-resolusi kosong yang hanya menyentuh mikrofon tapi tidak pernah menyentuh hati. Dengan bahasa yang diplomasinya licin dan steril, mereka belajar menyebut genosida sebagai “hak membela diri”. Belajar menyulap peluru jadi “proyek stabilisasi kawasan”. Dan siapa yang berani menolak, langsung dicap sebagai ancaman demokrasi.

Dan jangan kira cuma NATO. Lihatlah para kepala negara Arab itu — yang katanya satu iman, satu kiblat, satu salam. Tapi entah kenapa lebih gemar salaman dengan dolar daripada bersujud di hadapan penderitaan saudaranya sendiri. Darah rakyat Palestina mereka sulap jadi minyak. Mayat anak-anak Gaza mereka tukar dengan istana marmer dan jet pribadi. Mereka menjual penderitaan sebagai komoditas diplomatik — dijadikan kartu tawar untuk memperpanjang umur rezim, bukan memperpanjang nafas perjuangan.

Dan yang paling pintar berdusta? Bukan tentara. Tapi para wartawan. Industri pers, wahai dulurku, telah menjelma jadi humasnya genosida. Mereka mencukur berita, mengatur narasi, menyulap penjajahan menjadi “konflik sengketa tanah”. Mereka lebih takut kehilangan sponsor iklan daripada kehilangan nurani. Mereka menulis berita seperti orang membuat iklan sabun: yang penting laku, bukan yang penting benar.

Dan industri militer? Jangan ditanya. Mereka ini pengepul dosa berjamaah. Rudal dan tank dijual bukan untuk menjaga perdamaian, tapi untuk memastikan perang tak pernah selesai. Mereka adalah dalang dari panggung boneka bernama “keamanan dunia”. Selama ada perang, mereka kaya. Selama ada anak kecil yang meledak tubuhnya karena drone, mereka untung.

Saudara-saudaraku…Jangan berharap damai datang dari orang yang rezekinya berasal dari perang. Jangan mengharap keadilan dari mereka yang hidupnya tergantung pada ketidakadilan. Kalau kita masih diam… mungkin karena kita tidak cukup lapar. Atau jangan-jangan, karena kita diam-diam sudah ikut kenyang.

Tapi dari semua yang hancur, yang paling menyakitkan adalah yang dibunuh dengan diam: kebenaran. Dan justru karena itulah, kita harus menyambut semua ini bukan dengan balas dendam, tapi dengan akal sehat dan rasa malu yang memulihkan harga diri umat manusia.

Jika Iran benar-benar menghabisi seluruh infrastruktur militer zionisme, maka ini bukan hanya kemenangan Islam. Ini adalah titik balik dunia, saat kekuasaan yang dibangun dari kebohongan, uang, dan propaganda, dibungkam oleh kebenaran yang tidak lagi bisa disembunyikan. Karena peluru terakhir perang ini bukan misil hipersonik. Tapi doa dari anak kecil Gaza, yang selama ini tak pernah dianggap.

Dan seperti kata Laith, anak-anak itu kini sedang membuka matanya. Sebab mimpi mereka mulai lebih nyata daripada propaganda manapun.[]

Nitiprayan, 22 Juni 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Siapa Menguasai Dunia, Siapa Menyelamatkan Bangsa?

Siapa Menguasai Dunia, Siapa Menyelamatkan Bangsa?

Dunia hari ini ibarat panggung besar, tempat aktor-aktor besar saling rebut peran, ganti kostum, dan mainkan skenario yang kadang kita kira nyata, padahal hanya ilusi berbiaya mahal.

Redaksi
Redaksi
Exit mobile version