Ingatan yang Dirampok, Nurani yang Digadai


Photo by Ahmed akacha
Anak-anak manusia tidak lahir untuk menjadi mesin pembunuh. Mereka lahir dari rahim Ibu, dibasuh tangis, ditimang harap. Tapi sejarah terlalu sering berubah menjadi kuburan bersama bagi nurani. Kita, umat manusia, telah sekian lama belajar untuk lupa — dan Amerika Serikat tampaknya menjadi guru besar dalam seni melupakan itu.
Ketika bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dunia terhenyak. Tapi setelah itu? Dunia tidak menolak, hanya terbiasa. Peluru dan rudal menjadi bahasa baru diplomasi. Ketika Washington bicara tentang kebebasan, yang datang justru pesawat pembom. Ketika mereka mengangkat bendera demokrasi, yang berkibar adalah kain kafan.
Saya bukan sedang membela Tiongkok, bukan sedang menepuk bahu Iran, bukan pula menjewer Rusia. Ini bukan tentang poros Timur melawan Barat. Ini tentang kita semua — umat manusia — yang telah lama hidup dalam tata dunia yang pincang. Keadilan dijual di pasar politik, dan kebenaran ditulis oleh tangan yang paling kuat.
Tiongkok memang merilis daftar panjang negara-negara yang dibom Amerika Serikat sejak 1945. Tapi sejatinya, itu bukan daftar. Itu adalah doa yang tak sempat dipanjatkan oleh anak-anak di Fallujah. Itu adalah tangis ibu-ibu di Tripoli. Itu adalah pelajaran sejarah yang sengaja dihapus dari buku pelajaran, agar kita tetap patuh kepada narasi tunggal sang pemenang.
Apa kita kira Tuhan tidak melihat?
Mengapa dunia ribut ketika satu negara menyerang yang lain, tapi diam ketika Washington menyulap kota menjadi debu? Mengapa kita lancar berkata “hak asasi manusia,” tapi hanya ketika yang melanggar bukan sekutu dagang? Dunia telah lama pandai berpura-pura: berpura-pura adil, berpura-pura netral, berpura-pura tidak tahu.
Maka, bukan hanya senjata yang mematikan, tapi juga standar ganda. Dunia ini tidak hanya dipenuhi kekerasan, tapi juga kepura-puraan. Persis seperti pesta topeng, di mana para tamu tertawa sambil berdiri di atas genangan darah.
Saya tahu, dunia ini tidak ideal. Tapi setidaknya, mari kita jujur pada nurani. Bahwa tidak ada darah yang lebih murah hanya karena warnanya berbeda. Tidak ada kematian yang lebih pantas hanya karena asal negaranya. Dan tidak ada peluru yang lebih mulia hanya karena ditembakkan oleh negara yang mengklaim sebagai “pemimpin dunia bebas.”
Anak-anak kita kelak akan bertanya: Di mana kita saat dunia terbakar? Dan apakah kita pernah berani menolak api?
Maka mari kita mulai mengingat. Bukan hanya daftar negara yang dibom, tapi juga daftar diam kita sendiri. Karena yang membunuh bukan hanya peluru, tapi juga ingatan yang pendek. []
Panaruban, Subang 27 Juni 2025