Perang Dua Belas Hari


Perang — seperti cinta dan nasib — selalu punya ruang abu-abu yang membingungkan. Setelah dua belas hari saling menembakkan rudal, Iran dan Israel menyepakati sesuatu yang dalam diplomasi disebut “gencatan senjata.” Tapi seperti biasa, gencatan bukanlah perdamaian. Ia lebih mirip jeda nafas dalam duel panjang dua orang petinju yang sama-sama berdarah namun masih ingin terus berdiri. Tidak ada jabat tangan yang tulus. Tidak ada peluk damai. Hanya kelelahan yang disembunyikan.
Perang kali ini bukan semata peristiwa militer. Ia adalah teater politik. Sebuah panggung tempat masing-masing aktor menunjukkan bahwa mereka masih punya tenaga, masih punya senjata, dan — yang paling penting — masih punya penonton. Rudal-rudal beterbangan bukan hanya untuk menghancurkan, tapi juga untuk “menunjukkan.” Menunjukkan keberanian, kemampuan teknologi, dan daya tawar dalam percaturan yang lebih luas dari sekadar peta Timur Tengah.
Dalam catatan dua belas hari itu, yang menarik justru bukan kemenangan atau kekalahan. Karena seperti yang kita tahu, perang modern tak lagi punya pemenang. Yang ada hanya narasi kemenangan. Israel menyatakan mereka menang. Iran menyatakan hal yang sama. Tapi kemenangan siapa yang dicatat sejarah? Dan siapa pula yang akan dikenang sebagai pecundang? Seperti biasa, yang menang adalah yang punya kamera, yang bisa menyusun ulang kronologi, dan yang bisa mengubah reruntuhan menjadi cerita tentang ketangguhan.
Di balik semua itu, ada satu tokoh yang tersenyum paling tenang: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam dunia politik global, ketika dua kekuatan regional saling hantam, kekuatan imperium bisa tampil sebagai wasit yang memaksa dua petarung menghentikan duel. Dengan gencatan senjata 23 Juni, Trump bukan saja memperlihatkan kekuatan mediasi Amerika, tetapi juga mengukuhkan kembali posisi hegemonik yang sempat goyah pasca beberapa kegagalan kebijakan luar negeri sebelumnya. Seperti seorang pedagang ulung, Trump tahu kapan harus membiarkan bara menyala, dan kapan harus meniupkan angin seolah-olah menyelamatkan semua orang dari kebakaran.
Namun, mari kita lihat luka-luka yang tersisa. Di medan perang itu, ratusan nyawa melayang. Ribuan luka-luka. Fasilitas publik hancur. Infrastruktur runtuh. Dan dari puing-puing itu, muncul pertanyaan sederhana tapi mendalam: Apakah semua ini perlu? Apakah kehancuran adalah harga yang pantas untuk selembar klaim kemenangan strategis? Dan apakah dunia, yang katanya sudah terlalu modern untuk perang, masih punya akal sehat untuk merawat kemanusiaan?
Israel mungkin puas karena berhasil merusak instalasi militer Iran. Iran mungkin merasa berhasil karena memperlihatkan bahwa mereka bisa membalas langsung. Tapi tak satu pun dari mereka bisa menjelaskan bagaimana menjahit kembali tubuh-tubuh anak-anak yang terbelah oleh pecahan rudal. Tak satu pun bisa menghidupkan kembali rumah yang rata dengan tanah.
Perang adalah bentuk bahasa paling ekstrem ketika diplomasi gagal. Tapi ketika bahasa ekstrem ini dipelihara justru untuk kepentingan domestik masing-masing rezim, maka kita sedang menyaksikan sesuatu yang lebih buruk dari konflik: kita sedang menyaksikan bagaimana nyawa manusia menjadi statistik demi rating politik.
Dalam segala absurditas itu, kita berharap ada satu-dua kalimat damai yang terselip di balik pernyataan resmi. Karena dalam dunia yang dikelilingi oleh propaganda dan senjata, satu-satunya harapan mungkin hanya terletak pada kemampuan manusia untuk merasa iba. Untuk menyadari bahwa dalam setiap perang, sebenarnya yang kalah adalah kita semua.[]
Panaruban, 29 Juni 2025