Peta Dusta
Kalau keterjangkitan Covid-19 itu tidak kentara, terutama pada kaum muda, bahkan bisa lewat 14 hari tak terjadi apa-apa, tetapi selama “tidak apa-apa” itu bisa menjangkiti siapa saja di sekitarnya — bagaimana cara kita tahu berapa orang dan siapa saja yang kerasukan Corona dan yang tidak? Dari 265 juta penduduk bagaimana kita bisa menyebut angka jumlah yang terjangkit, kalau yang kita periksa jumlahnya belum ada 1%nya? Sementara andaikan ada yang merasakan sesuatu pada kondisi badannya, belum tentu ia memeriksakan diri karena takut pada kemungkinan hasilnya, sehingga mending mencoba melawannya sendiri?
Korban Corona baru akan langsung ketahuan kalau ada yang meninggal, atau sakit parah dengan watak Corona. Kalau mengandalkan verifikasi formal, pendeteksian massal, rapid test atau apapun — sampai hari ini tidak dilaksanakan secara maksimal.
Maka dari “riuh rendah yang senyap” oleh Corona ini saya melihat bahwa semua ummat manusia di dunia sedang menjalani kehidupan di mana mereka cenderung senang untuk dibohongi, tetapi, di pihak lain sialnya: sekaligus tidak siap juga untuk tidak membohongi. Sedang menjadi hari-hari stres bersama secara lokal, nasional dan global yang amat sangat rawan dusta.
Asal-usul kebohongan sebenarnya sangat sederhana, yakni ketidaktepatan melihat, merumuskan dan menyimpulkan sesuatu, sehingga memproduksi sikap, perencanaan dan pelaksanaan yang juga salah dan tidak tepat. Atau, dusta bisa lahir dari kebodohan, dari kemalasan, atau dari kejahatan. Dan itu tidak terbatas pada kasus Corona. Jauh lebih luas dari itu: hampir di semua bidang kehidupan, dusta menyertai hidup manusia.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. (An-Nur)
Dasar itu terjadi bisa pada kehidupan sehari-hari di antara manusia, hubungan keluarga, komunikasi sosial dan silaturahmi kebudayaan pada umumnya. Tapi jangan lupa itu terjadi juga pada aktivitas ilmu pengetahuan, sehingga potensi dusta itu juga dibangun di Sekolah dan Universitas. Bahkan dibangun, dipelihara juga oleh Lembaga-lembaga pembelajaran Agama. Demikian juga tatanan sosial dan susunan politik yang mengurusi kedaulatan rakyat dan menyusun perencanaan-perencanaan pembangunan dan sejarah.
Puncak dari semua potensi dan peradaban dusta itu berlangsung di institusi media, dan banjir bah dusta itu memuncak keberlangsungannya di era kemudahan informasi digital hari-hari ini. Maka tatkala semua manusia pelaku kehidupan dusta itu sedang dirundung oleh bencana global hanya bermula dari makhluk nano yang bernama virus Corona, deraan virus yang tak kalah dahsyatnya adalah dusta peradaban media itu sendiri.
Berita-berita teknis materiil tentang Corona saja sudah bergelimang dusta. Dari kemakhlukan Covid-19 hingga multitema sesudah penyebaran internasionalnya. Dan sebuah Pemerintahan di sebuah Negara bisa melakukan berbagai macam malpraktek penanggulanan virus karena peradaban dusta media, atau justru Pemerintah yang bersangkutan menambah, memperparah dan menyempurnakan dusta kepada rakyatnya dan dunia.
Ditambah lagi, pelebaran tematiknya, kecengengan masyarakat modern yang rentan terhadap apapun saja. Kalau dibilang virus ini rekayasa manusia, ini efek perang dua Adikuasa, ini produk Laboratorium suatu Universitas yang diperjual-belikan untuk Perang Biologi — nanti orang menuding pembawa kabarnya sebagai pro teori konspirasi. Bahkan bisa saja suatu Pemerintahan mendadak bikin pasal hukum untuk menjaring apa saja pemberitaan yang tidak sesuai dengan kepentingan Pemerintah tersebut.
Kalau dibilang virus ini hasil peristiwa alam biasa, nanti dianggap tidak punya kecerdasan sistemik, tidak peka terhadap perang asimetris. Kalau dibilang ini ada hubungannya dengan Tuhan, diperolokkan sebagai pikiran jadul masa silam. Meskipun dijelenterehkan bahwa ada beberapa opsi peran Tuhan, misalnya: mentakdirkan, mengizinkan, membombong atau membiarkan — tetap saja segala sesuatu yang Tuhan diikut-ikutkan akan dianggap pikiran masa silam yang kuno.
Kalau kita kembali ke atas: seluruh chaos ini salah satu sumbernya adalah kegemaran manusia untuk bisa survive dengan dibohongi, sekaligus kegemaran atau kelemahan atau kejahatan untuk tidak berbohong. Setiap pihak, setiap madzhab, setiap kelompok, setiap aliran berpikir, merasa dan mengklaim kelompok lainlah yang mengalami “ketidaktepatan melihat, merumuskan dan menyimpulkan sesuatu”. Masing-masing merasa demikian.
Abad 20-21 adalah rentang waktu di mana ummat manusia penghuni dan pelakunya tidak akan pernah mencapai objektivitas dan kejujuran pandangan terhadap kehidupannya, terhadap diri mereka sendiri, pun terhadap alam, apalagi terhadap yang lebih “azally”: yakni Tuhan — yang selalu diperolok-olokkan oleh perilaku ilmu dan peradaban mereka.
Manusia modern global abad 20-21 merasa, menyimpulkan, tersirat atau pun tersurat, bahkan mungkin meyakini bahwa mereka lebih pandai dari Nabi-Nabi dan lebih hebat dibanding Tuhan.
Maka Jamaah Maiyah dalam proses Sinau Barengnya menemukan bahwa peta dusta dan kesembronoan manusia itu sangat jelas dijelentrehkan oleh Alllah dalam firman-firman-Nya di Surah Al-Hujurat.