Belajar Bersama Gondelan Klambine Kanjeng Nabi
Saya bisa membayangkan saat istirahat siang, para buruh rokok yang bekerja di perusahaan rokok Sukun Kudus beristirahat, menyelonjorkan kaki atau sekadar menikmati udara sejuk di sekitaran masjid hingga beribadah sholat. Mungkin tak hanya karyawan, para penduduk sekitar tentu saja memanfaatkan keberadaan masjid yang didirikan Sukun tersebut untuk mempererat tali silaturahmi. Dengan itu masyarakat tak akan saling curiga, tak berperilaku liyan terhadap tetangga.
Ini terlihat saat digelar Sinau Bareng Cak Nun di halaman sebelah utara Masjid Ngemplak Gondosari Gebog Kudus. Halaman masjid sisi timur lebih luas namun mungkin karena banyak pertimbangan, panitia memilih panggung di sisi utara. Halaman tak begitu luas, para jamaah yang ingin ikut Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng tersebar di mana-mana.
Penulis memperhatikan jalan utama penghubung Desa Gebog dan Desa Rahawu ditutup sementara malam itu. Ada yang memilih duduk di jalanan, di depan rumah-rumah warga melalui videotron hingga ada yang berdiri di atas atap rumah. Hampir semua sudut di sekitaran panggung juga penuh dengan pengunjung. Berdiri hingga beberapa jam. Para warga sekitaran masjid juga tak merasa keberatan. Bahkan halaman rumah dipakai untuk parkir kendaraan. Mereka malah merasa senang. Belum lagi waktu selesai acara, yang berpunya rumah sudah siap membersihkan sampah–sampah tersisa dengan raut tak tampak sedih sedikit pun ataupun merasa terganggu.
Cak Nun malam ini (Selasa, 2 April 2019) sempat menyinggung tentang teladan keikhlasan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka adalah nabi yang begitu rela mengorbankan apa yang dicintai dengan penuh ikhlas. Para warga sekitar sepertinya tahu akan hal itu, sampah-sampah yang ditinggalkan para jamaah tak sedikit, bahkan cukup banyak. Namun mereka rela membersihkannya dan rela memberikan pelayanan terbaik kepada siapapun yang hadir malam itu. Sambil mengurai kisah Nabi, Cak Nun sesekali menoleh ke sebelah kiri, seolah mengingatkan Bupati dan Wakil Bupati Kudus yang malam itu ikut hadir di atas panggung meski tak sampai tuntas.
Panggung Cak Nun berbeda pada malam sebelumnya di Jepara, Gresik, Bangkalan, maupun Lumajang. Kalau biasanya di bagian belakang ada wajah Cak Nun dan tulisan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, malam itu tulisan tak ditampilkan. Panitia memberikan dekorasi berbentuk masjid berwarna putih. Panitia seolah ingin menekankan melalui simbol masjid bahwa shalat adalah ibadah yang diperoleh Kanjeng Nabi usai perjalanan Isra` Mi’raj. Cak Nun menambahkan bahwa shalat harus menghasilkan makna yang baik. Jika shalat sudah menghasilkan makna yang baik, maka kalian boleh gondelan klambine Kanjeng Nabi. Persis seperti judul acara tadi malam itu.
Dan hal yang lebih menggembirakan lagi adalah ketika ibu-ibu dan anak- anaknya naik ke atas panggung. Nyaris, setiap sisi di panggung dipenuhi mereka karena kondisi saat itu turun hujan. Ibu, anak-anak dan orangtua diberikan keistimewaan berada di atas panggung karena memang kondisi saat itu hujan. Jamaah lainnya tak ada yang protes. Mereka malah memberikan jalan dan membantu membuatkan jalur agar akses ke panggung lebih mudah. Pemandangan kehidupan yang menarik.
Maiyah adalah kebersamaan. Panggung itulah contohnya. Cak Nun, Kapolres, Habib Anis Sholeh Ba’asyin, Kyai Abdul Jalil dan ibu-ibu beserta anak-anak tumpah ruah di atas panggung tanpa terjadi gejolak. Mereka bisa menjaga dirinya dan saling menjaga satu sama lain. Seperti yang selalu disampaikan Cak Nun, Maiyah adalah tempat paling demokratis dan aman. Mereka saling menjaga dan membantu orang lain meski baru bertemu.
Dengan sisa hujan yang masih ada, acara Sinau Bareng bertambah gayeng dengan keikutsertaaan beberapa anak usia 4 hingga 14 tahun. Mereka diajak Mas Doni, Vokalis KiaiKanjeng, menyanyikan lagu anak–anak seperti Kodok Ngorek, Kring Kring Kring Ada Sepeda, Lihat kebunku, Burung Kakak Tua hingga Lir–ilir. Pengunjung disuguhi semacam workshop bagaimana orangtua semestinya mendidik anak–anak. Saat mereka menyanyikan lagu anak–anak tadi, para pengunjung yang didominasi anak muda dan orangtua ikut bernyanyi. Suara mereka terdengar nyaring disertai dering bahagia. Seolah mereka lupa bahwa dua minggu lagi akan ada pemilihan umum yang menguras emosi dan selalu ribut.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB. Namun para jamaah masih terlihat betah duduk di tempatnya masing–masing. Cak Nun selalu berpesan untuk meluruskan niat saat mengikuti Sinau Bareng. Untuk niat kepada Allah. Semua perilaku dan perbuatan harus ada pengingat bahwa ada posisi dan sambungan dengan Allah di dalamnya. Kegiatan Sinau Bareng ini adalah Sinau Bareng yang keempat selama enam hari beruntun setelah di Jepara, Gresik, Bangkalan, dan Lumajang. Cak Nun pamit karena esoknya masih melanjutkan kegiatan Sinau Bareng bersama Panser Biru, Suporter kesebelasan sepakbola PSIS Semarang di Semarang. (Priyo Wiharto)