CakNun.com

Potret Antropologi Maiyah: Kajian Fenomenologis Anne K. Rasmussen

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Musim semi tahun 1996. Anne K. Rasmussen, akademikus musik Timur Tengah, membeli kitab suci Al-Qur`an bilingualisme (Arab-Inggris) terjemahan Zafrulla Khan (1991) di Dearborn, Michigan.

Di negara bagian Amerika utara yang paling dingin itu Anne juga membungkus Kamus Indonesia-Inggris terjemahan linguis Hassan Shadily dan John M. Echols. Ia mampir di Michigan dalam rangka penelitian etnografi di komunitas Arab-Amerika. Setahun setelahnya Anne ke Indonesia bersama sang suami.

Anne tak menyangka dua buku yang dibelinya di Michigan kelak berguna bagi petualangan ilmiahnya. Pada mulanya ia terinspirasi penelitian Kristina Nelson yang dibukukan berjudul The Art of Reciting the Qur`an (1986). Berkat buku itu Anne mengekspresikan rasa syukurnya karena sangat terbantu. Ia menulis:

Nelson’s book, Khan’s translation of the Qur’an, and my dictionary have made more trips between Indonesia and the United States—and later between those two places and the Philippines—than I can count. These volumes are still on my shelf and consulted with regularity” (hlm. xiii).

Usai menuntaskan buku tersebut Anne tergerak untuk melakukan riset di Indonesia dengan variabel berbeda. Modal kemampuan bahasa Indonesia yang telah dikuasai berkat kamus yang pernah dibelinya di Michigan akhirnya membuka pintu baru: Anne, etnomusikolog senior berkebangsaan Amerika Serikat, pada 2010, menerbitkan buku Women, the Recited Qur`an, and Islamic Music in Indonesia.

Buku setebal 336 halaman itu diterbitkan University of California, Berkeley, dengan pembagian (a) Setting the Scene, (b) Hearing Islam in the Atmosphere, (c) Learning Recitation: The Institutionalization of the Recited Qur’an, (d) Celebrating Religion and Nation: The Festivalization of the Qur’an, (e) Performing Piety through Islamic Musical Arts, dan (f) Rethinking Women, Music, and Islam.

Kajian ilmiah yang dibukukan ini berisi pengamatan Anne terhadap praktik musik religius di Indonesia. Ia melakukan riset selama tiga tahun (1996-1999) sebagai peneliti Fullbright. Terdapat dua poin dalam kajiannya, yakni tradisi tilawah dan musik islami di Indonesia. Objek amatan Anne relatif unik karena meneroka kedudukan perempuan sebagai pendaras.

Tilawah yang dilakukan perempuan acap dipandang sebelah mata di sebagian negara-negara Timur Tengah. Posisi perempuan masih dimarjinalkan atau dianggap manusia kelas dua. Kenyataan demikian diuraikan Anne secara eksplisit. Meskipun begitu, ia menemukan realitas berbeda di Indonesia. Mendaras kitab suci di muka publik bukan hanya dilakukan laki-laki, melainkan juga perempuan.

Di Maiyah perempuan yang bertilawah itu dianggap lazim. Tiap bermaiyah di mana pun, baik di dusun maupun kota, sebelum Mbah Nun dan KiaiKanjeng naik panggung, pembacaan ayat suci oleh perempuan atau laki-laki sering dilakukan. Hal demikian supaya Al-Qur`an dimasyarakatkan seintens mungkin.

“Women are clearly players on the stage of Islamic creative and performing arts. Their activities as qur’anic reciters, moreover, in the culture of the Qur’an as it is lived in Indonesia, are indeed a distinctive feature of this region, where the word of God is embodied and enacted by women” (hlm. 5).

Sebagai seorang etnomusikolog, Anne memandang suara tak sekadar bebunyian, tapi ekspresi estetik yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Ia melihat tilawah sebagai keindahan musikal yang ditradisikan bangsa Nusantara sejak berabad-abad lampau. Sepanjang proses historis itu kemudian membentuk gaya mendaras yang variatif.

***

Pada bagian Performing Piety through Islamic Musical Arts, Anne menulis pengalaman empirisnya mengenai perkawinan tilawah, musik, dan puisi. Tiga unsur itu didialogkan secara harmonis lewat tangan kreatif KiaiKanjeng. Anne mencatat, “A front line of men and women sing Arabic qasida, tawashih, and sholawat and an idiosyncratic repertoire composed or arranged by autodidact Novi Budianto, the group’s musical director” (hlm. 199).

Baik laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi, menunjukan talentanya di panggung. Mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur`an untuk disampaikan dalam rangka eksplorasi cakrawala kalam Tuhan. Usai mendaras biasanya Mbah Nun turut merespons ayat suci tersebut sebagai pijakan fundamental diskusi ke depan. Di sela-sela dialog musik disajikan guna mencairkan suasana.

Potret oase kesenian tersebut penuh nuansa kebersamaan. Anne menemukan realitas kultural semacam itu di forum Maiyah selama mengikuti tur bersama KiaiKanjeng. Pengalaman itu sesuai dengan makna morfologis Maiyah, yakni kebersamaan yang menjadi landasan utamanya. Nilai-nilai berbasis kolektif ini diinternalisasikan secara total, baik melalui musik, diskusi, maupun proses kultural lainnya.

“Individual talents—including male and female qur’anic reciters who specialize in Arab repertoire, capable pop instrumentalists and singers, and faculty from Yogyakarta’s high school and college for the traditional arts, who play the indigenous instruments—ensure the quality of Kiai Kanjeng’s eclectic music” (hlm. 199).

Anne melihat penggunaan bahasa dalam Maiyah cenderung bilingual. Hal ini ditunjukan oleh penggunaan dialog bahasa Indonesia, namun sering kali beralih ke bahasa Jawa. Implikasinya, karenanya, berpengaruh juga pada nomor lagu yang dimainkan KiaiKanjeng. Gita Gundul-gundul Pacul digubah secara menarik dengan alunan gending Jawa yang sarat kearifan lokal. Anne menukil lagu karya Sunan Kalijaga itu.

Gundul- gundul paculcul gembelengan
Nyunggi- nyunggi wakul kul gembelengan
Wakul glimpang segane dadi sak latar

Bald, cruel and careless [boy]
Carries the basket [of rice] on the head carelessly
The basket rolled [and the rice tumbled out]

Lagu ini, menurut Anne, dimainkan dengan komposisi pelog. Ia dinyanyikan secara bersahutan dengan tambahan dolanan Jawa. Personil KiaiKanjeng yang mempunyai latar belakang pemain terater membuat sajian Gundul-gundul Pacul bukan sekadar tampilan suara, melainkan juga gerakan ritmis.

Kolaborasi ciamik tersebut menghidupkan panggung lebih ramai. Para penonton meresponsnya dengan girang, bahkan terkadang tertawa terbahak-bahak melihat sajian artistik tersebut. Ini membuktikan betapa Maiyah menitikberatkan pada dialektika antara KiaiKanjeng dan penonton. “…holding them high over their heads and bringing them down in unison for fast runs, punctuated by syncopated fortissimo shouts of ‘hey’” (hlm. 200).

Tatkala musik berakhir, Mbah Nun kemudian menarasikan isi dari Gundul-gundul Pacul agar apa yang disampaikan KiaiKanjeng tak hanya hiburan, tapi juga menyiratkan nilai-nilai moral. Pendidikan berbasis lagu dan musik ini terpampang implisit. Tak mengherankan bila Anne meneropong Maiyah sebagai lautan ilmu yang tak surut meski dikaji berulang kali.

Buku ini, selain hasil penelitian, disajikan dengan bahasa populer. Pembaca, dengan demikian, akan menikmati setiap informasi darinya bagaikan menggayung bejibun pengetahuan mengenai praktik berislam berbasis budaya.

Pendekatan historis-fenomenologis yang digunakan penulis membuat buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi siapa pun. Terutama akademikus yang menggeluti jagat keislaman di Nusantara. Buku Anne tersebut membuka peluang luas bagi peneliti untuk mengeksplorasi riset lanjutan. Islam di Indonesia laksana samudera yang mustahil surut.

Lainnya

Topik