Meng-alam-i Saat Sedih dan Bahagia

Kereta yang membawa saya ke Jombang berangkat dari stasiun Tugu Yogyakarta pukul 00.53 WIB. Di dalam kereta saya kethap-kethip, mata tidak kunjung mengantuk. Otak saya rasanya penuh oleh air yang nggerojok sepanjang siang, sore dan malam di Rumah Maiyah. Otak penuh dan hati terasa padhang. Default kebahagiaan dari Mbah Nun masih menjadi adegan yang menari-nari di depan mata.
Kalau masih dikekang oleh jawaban mengapa kita bahagia, peng-alam-an kita mungkin belum meng-alam. Kebahagiaan kita masih bergantung pada faktor-faktor, unsur-unsur, atau conditioning eksternal. Sedangkan bahagia, demikian pula sedih, merupakan fitrah yang telah terinstal dalam software jiwa kita. Bahagia dan sedih adalah komposisi kesadaran, sebagaimana komposisi: inna ma’al ‘usri yusraa, bersama (datangnya) kesulitan terdapat pula kemudahan.
Setiap orang memiliki pengalaman merasakah sedih dan bahagia. Pengalaman bukan sekadar pernah menjalani dan menemukan rasa sedih atau bahagia. Dari kata dasar “alam”, peng-alam-an dipahami sebagai proses kesadaran meng-alam-i, mengalir bersama mekanisme alam, bergabung dengan dialektika sunnatullah, yang Allah Swt sendiri Pemilik Ide dan Pelaku Utamanya.
Dengan demikian sedih dan gembira bukan opposite internal kejiwaan, seperti yang diusung oleh denotasi kata “sedih” adalah lawan “bahagia”. Keberlawanan itu berlangsung pada situasi teknis saja. Sedangkan default system sedih dan bahagia telah tertanam secara utuh, integral dan seimbang.
Kalau menggunakan prinsip kosmologi, alam semesta yang menghampar dan membentang ini bersifat homogen dan isotrop. Homogen—di manapun kita berada akan mengamati hal yang sama. Isotrop—ke arah manapun kita memandang akan melihat hal yang sama. Bagi yang terbiasa berpikir dikotomis-materialisme, prinsip kosmologi merupakan akrobat permainan tong-edan yang bikin mual. Tapi tidak bagi arek-arek Maiyah yang terbiasa playon (atau play-on), pencolotan munggah-mudun, kiri-kanan, langit yang membumi, bumi yang melangit. Allah Swt menyusun kepingan-kepingan puzzle alam semesta ke dalam kesatuan tauhid.
Kalau prinsip kosmologi itu diproyeksikan ke dalam potensi dan fakta sedih-bahagia, maka ia memiliki sentuhan homogen dan isotrop. Dimanapun kita berada akan mengamati rasa sedih dan gembira yang sama. Ke arah manapun kita memandang akan melihat sedih dan gembira yang sama. Kosmologi sedih dan bahagia akan selalu meng-utuh dan meng-alam-i.
Gamblangnya, dalam situasi yang sangat menyedihkan bagaimanapun jangan sampai berakibat pada kacaunya default system internal kita sehingga tidak berbahagia. Dengan kondisi jiwa yang selalu berbahagia, tetaplah memasang kuda-kuda kewaspadaan. Selain peka menertawakan keadaan, kita juga asyik menertawakan diri sendiri.
Kita menemukan dan merasakan kosmologi sedih-bahagia seperti itu di Maiyah. Kemerdekaan tertawa: kemerdekaan yang benar-benar otentik. Maiyah nyuguhi prasmanan merdeka-bahagia yang diakari oleh kesadaran agar per-individu jamaah menyingkap tumpukan selimut logika-algoritma yang merasuki urat saraf otak. Tidak menjadi kaum muddats-tsirun yang dikurung, digiring, dibariskan, ditata-standarkan oleh selimut algoritma, baik ketika sedang online maupun offline, mulai urusan memilih kaos, cara berbahagia, hingga siapa ulama yang paling populer.
Bahkan Maiyah sendiri merupakan paket pemberian dari Allah, lengkap dengan keseimbangan basyiiran wa nadziiran. Gembira sambil tetap waspada. Waspada sambil tak lupa bergembira. Peng-alam-an mengikuti Maiyah akan mengembalikan sel-sel kesadaran ke dalam keseimbangan alamiah sunnatullah.
Ibarat Tata Surya yang memiliki ratusan miliar planet di tengah semesta galaksi-galaksi lainnya, semesta Maiyah serupa bumi: planet yang jadi rumah bagi manusia dan makhluk lainnya, dan hingga saat ini satu-satunya planet yang memiliki “kehidupan”. Jarak yang “ideal” dengan matahari menjadikan temperatur di bumi cukup hangat. Air tetap berwujud cair sehingga evolusi kehidupan bisa berjalan seimbang.
Evolusi dan kehidupan—nikmat yang apabila disyukuri, Allah akan menambahnya. Dan apabila dikufuri, adzab bencana Allah sangat-sangat pedih. Skala, ruang lingkup, konteks nikmat hidup akan selalu otentik dan bersilangan di koordinat ruang dan waktu.
Nikmat menjadi bangsa indonesia jangan ditalbis dengan selimut logika-algoritma: orang Jawa misalnya, supaya bisa bergembira harus berevolusi menjadi bangsa Cina, Amerika, Arab atau menjadi manusia bionik yang memiliki sensor serat optik di tengkuknya. Haihaata haihaata...[]