CakNun.com

Seminggu Setelah Aksi Selesai

Aditya Wijaya
Waktu baca ± 5 menit
Photo by Muhammad Renaldi

Spekulasi sekitar aksi

Sudah sepuluh hari pasca aksi massa massal di Jakarta dan di puluhan tempat lain di tanah air. Begitu banyak tuntutan dari berbagai pihak. Begitu banyak pihak turut dalam aksi. Entah karena dorongan kesadaran politik, kejengahan terhadap kahanan hidup, agenda titipan, atau bahkan sekadar untuk turut ikut dalam keramaian. Memang banyak kejanggalan yang terjadi. Akun buzzer yang tiba-tiba serentak menyerukan dan memakai hashtag #bubarkanDPR, koordinasi kerusuhan dan pembakaran fasilitas umum, hingga penjarahan.

Jika kita menilik kembali beberapa hari ke belakang, bagaimana massa memang digiring untuk berunjuk rasa di kawasan DPR. Kemudian atas meninggalnya almarhum Affan, menjadi momentum titik balik untuk menggeruduk kawasan Polda Metro Jaya dan Markas Brimob. Mahasiswa saling berkoordinasi karena melihat kejanggalan yang terjadi Ketika akun-akun buzzer, yang sebelumnya ditengarai dekat dan membawa citra positif pada pemerintahan sebelumnya, ngotot untuk tetap melaksanakan agenda #bubarkanDPR. Agenda prematur yang tak jelas arah tuntutannya.

Mahasiswa akhirnya bersepakat mem-fokuskan unjuk rasa di halaman Polda di masing-masing daerah. Langkah yang cukup tepat untuk melakukan fragmentasi; massa mana yang akan berada di Polda dan massa mana yang akan tetap di DPR. Strategi berjalan baik. Bentrok memang terjadi di berbagai tempat, akan tetapi pembakaran dan kerusuhan terjadi di luar titik demonstrasi mahasiswa.

Terlepas dari kerusuhan yang diduga diorkestrasi oleh beberapa pihak, kita juga bertanya, mengapa akun buzzer yang pro pemerintahan sebelumnya aktif untuk mengarahkan demonstrasi ke DPR, lebih-lebih lagi setelah ada Gerakan massa ke arah kepolisian? Mungkin patut diduga, ada keterikatan antara kepolisian dengan pemimpin pemerintah sebelumnya. Apakah memang beberapa oknum petinggi di kepolisian merupakan salah satu kaki kuat yang mencengkeram pemerintahan yang sekarang sekaligus melindungi representasi mereka yang sekarang menjadi wakil presiden?

Jika gelombang demonstrasi berpusat pada reformasi kepolisian, besar kemungkinan Kapolri akan dicopot. Dan jika pimpinan tertinggi ini dicopot dari jabatannya, apakah seratus lebih representasi polri di direktorat dan inspektorat di berbagai kementerian juga akan dicopot? Apakah hal ini juga berkorelasi dengan RUU TNI yang sebelumnya diusulkan agar beberapa pos di kementerian dapat dijabat oleh tentara yang aktif? Sebagai mantan komandan strategis di satuan elit militer, Presiden tentu terbiasa menentukan langkah cepat seperti melakukan kontra infiltrasi dengan mengimbangi jumlah polisi yang terlibat di kementerian dengan jumlah militer yang aktif juga di kementerian.

Meskipun masuknya TNI aktif di pos-pos kementerian sarat diterjemahkan sebagai intrusi militer dalam ranah sipil, tetapi mungkin bagi presiden ini adalah cara tercepat untuk melakukan counter. Sayangnya, fokus reformasi Polri ini juga harus bias dengan maraknya berita penjarahan saat itu. Hingga terbitlah inisiasi publik yang dihimpun dari berbagai pihak dan dirumuskan dalam bentuk tuntutan 17+8.

Spekulasi lain adalah bahwa kerusuhan ini juga merupakan bentuk protes dari diganggunya beberapa kartel bisnis milik oligarki. Berbicara oligarki, tidak bisa dirumuskan dalam bentuk list nama-nama. Entah itu dengan berkedok Sembilan Naga atau yang selainnya. Ia dirumuskan dengan entitas kepentingan. Nama boleh berganti, tetapi kepentingan untuk kelancaran bisnis adalah yang utama. Jika spekulasi menunjuk pada satu mafia Migas bernama Riza Chalid, maka bukan berarti dia adalah raja terakhir. Dia adalah simpul dari sekian jaring pukat oligarki yang secara mudah mengucurkan dana jutaan dolar untuk melakukan tindakan public opinion; penguasaan media, penggerakan sejumlah oknum, dan mungkin juga kerusuhan-kerusuhan yang terorganisir.

Lalu apa yang dilakukan presiden? Jika memang semua spekulasi itu memiliki irisian dengan kenyataan, maka Presiden mengambil Langkah bukan lagi non-blok, tetapi memihak blok secara geopolitik. Dalam kasus ini, Presiden memilih BRICS. Oligarki seringkali diafiliasikan dengan blok barat yang dalam operasinya memilih siapapun nama dan etnis untuk menjalakankan agendanya. Maka dengan memberikan keberpihakan kepada blok kontra Barat, Indonesia mengambil sikap “siap perang” termasuk untuk urusan dalam negeri.

Apa yang bisa ditawarkan Presiden untuk mendapat bantuan dari BRICS? Presiden secara legit membentuk badan industri mineral baru yang khusus menangani mineral tanah jarang. Mineral tanah jarang ini digunakan sebagai jaminan serupa emas untuk bisa digunakan sebagai cadangan jual beli dengan mitra BRICS. Atau bahkan bisa digunakan secara lebih ekstrem. Pemerintah akan menjadikan mineral tanah jarang sebagai jaminan untuk mencetak uang dan melakukan pembiayaan program strategis.

Dengan adanya cadangan moneter dari mineral tanah jarang, potensi sabotase dari sisi finansial pembiayaan proyek dapat ditanggulangi. Akan tetapi masih ada potensi infiltrasi agenda-agenda lain yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Ketepatan Langkah pemerintah diperlukan untuk bisa bermain cantik. Karena bagaimanapun, rakyat tetaplah sebagai pihak yang harus dilindungi sekaligus dimenangkan.

Berbicara program strategis, seharusnya kita harus melupakan apa itu MBG, IKN, dan proyek-proyek citra seperti kereta cepat Whoosh. Pemerintah harus dituntut untuk melakukan restrukturisasi APBN. Sayang, poin ini sepertinya terlewat dari agenda tuntutan massa aksi yang dirangkum dalam 17+8 itu.

Fokus Tuntutan

Pemerintah merespons tuntutan yang diberikan dalam bentuk rumusan 17+8. Moratorium perjalanan dinas, penghapusan beberapa tunjangan DPR, penonaktifan anggota DPR bermasalah, dan penghukuman oknum polisi. Meskipun dalam pelaksanaannya harus tetap diawasi. Fungsi pengawasan akan berjalan baik jika terdapat transparasi data ke publik. Dan sayangnya, itu yang perlu didetailkan tentang bagaimana mekanisme transparasi yang sesuai. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai acuan

  1. Published KPI dan public rating untuk pejabat publik
    Sampai saat ini, rakyat tidak mengetahui apa ukuran kinerja wakil rakyat. Aspirasi apa yang dibawa, undang-undang apa yang dibahas, berapa target undang-undang dalam 1 tahun, dan parameter teknis lain yang terukur sebagai bahan penilaian anggota dewan. Jika ada satu platform yang bisa diakses via gadget yang bisa dilakukan sortir berdasarkan komisi ataupun daerah pemilihan, maka masyarakat bisa menilai langsung dan memberikan rating bagi anggota dewan. Lebih-lebih anggota dewan dari daerah pemilihannya. Atau bisa juga dilakukan diversifikasi penilaian. Penilain per komisi dan penilaian per anggota dewan lewat verifikasi dapil. Di dalam platfrom tersebut juga bisa diunggah berapa kekayaan anggota dewan yang tercatat dalam LKHPN. Apakah kenaikan pendapatan sebanding dengan pendapatan normal DPR atau terjadi lonjakan setelah menjabat. Program ini nantinya bisa di extend untuk pejabat-pejabat eksekutif termasuk Menteri.
  2. Reformasi Polri
    Kepolisian mendapat sorotan yang tajam terkait tindakan represif yang dilakukan selama aksi. Dalam tuntutan yang diajukan juga terdapat point ini. Hanya saja, tidak melulu menyangkut tentang tindakan represif, representasi polri di beberapa kementerian juga perlu disoroti. Apakah memang diperlukan? Apakah tidak ada representasi sipil yang mampu untuk mengemban fungsi dan tugas itu? Dan apakah sarat kaitan politis? Hal ini juga akan berangsur merangsek kepada fungsi TNI. Belum lagi soal masalah konflik agraria yang kerap muncul di publik. Masalah-masalah tanah adat dan singgungannya dengan perusahaan pengelola.
  3. Restrukturisasi APBN
    Program-program nonproduktif seperti MBG, IKN, dan proyek-proyek semisal kereta cepat harus ditinjau Kembali. Tidak perlu merasa gagal untuk mengatakan bahwa proyek MBG tidak tepat guna. Justru pemaksaan ratusan triliun anggaran negara untuk melaksanakan program semisal ini harus segera dihentikan. Dana 171 trilliun anggaran MBG di tahun 2025 (yang akan naik menjadi 217 trilliun di tahun 2026) bisa dialihfungsikan untuk penambahan dana desa sebanyak 2 M per desa (total anggaran 169 trilliun per tahun). Penambahan dana desa harus disertai dengan panduan pencapaian desa dan program desa.

    Ini lebih masuk akal tanpa harus memaksakan program baru seperti koperasi merah putih. Cukup mengakusisi program BUMDes untuk dijadikan program Koperasi Merah Putih dengan tujuan pertama adalah kemandirian pangan di masing-masing desa. Program sekolah rakyat juga bisa diakusisikan di program pengembangan desa. Dengan membuat minimal layanan pendidikan di setiap desa dan perhitungan dana operasionalnya. Sehingga program-program baru tidak seperti tumpang tindih dan hanya mengedepankan nama program saja dan bukan esensinya.

Bagaimanapun, yang dinamakan tuntutan harus measureable, harus terukur parameter pencapaiannya, dan ada tenggat waktunya. Jangan sampai tuntutan-tuntutan yang disampaikan justru akan berbalik menjadi Kesia-siaan karena tidak punya ukuran jelas. Seringkali kita mendapati tuntutan dengan kalimat normatif. Unjuk rasa bukan sekedar sarana untuk showing force atau sekedar gertakan saja. Tetapi alat untuk menyampaikan pendapat yang sudah dirumuskan sebelumnya. Di titik inilah, seharusnya para akademisi bekerja.

9 September 2025

Lainnya

Membeli Gengsi

Membeli Gengsi

Salah satu tragedi terbesar zaman ini adalah ketika pendidikan tidak lagi berdiri di atas cita-cita kemanusiaan, tetapi di atas logika pasar.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik