CakNun.com

Maiyah dan Jalan Kenabian

Putra Ansa Gaora
Waktu baca ± 4 menit
Kenduri Cinta edisi Oktober 2018.

Malam itu Jakarta terasa lengang. Di sela deru kendaraan yang tersisa, saya membawa rindu pada para guru yang pernah menyalakan bara di hati. Di kursi kayu dengan catatan lama yang berserakan, saya membuka lembar-lembar yang dulu sekadar dokumentasi. Kini, di antara huruf kusam, suara Nursamad Kamba kembali hidup, mengingatkan bahwa kenabian bukan monopoli para nabi, melainkan kesadaran abadi di mana ada akal yang tunduk, hati yang terjaga, jiwa yang rindu pada asalnya.

Saya menutup mata, membiarkan kalimat itu menggema. Seperti air dari mata air, ia menyingkap kesadaran bahwa setiap manusia dipanggil menapaki jejak kenabian, meski dengan kegagalan dan kebimbangan. Dalam forum Maiyah, jejak itu hadir bukan sebagai doktrin, melainkan percakapan. Ilmu tumbuh dari obrolan yang mengalir, dari jeda antara tawa dan doa, menjelma pintu menuju pemahaman yang luas.

Dari Syeikh Nursamad Kamba saya belajar bahwa para sejarawan masih terus mencoba mengungkap rahasia di balik keberhasilan Nabi Muhammad SAW yang begitu gemilang: bagaimana dalam waktu hanya dua setengah dekade ia mampu mengubah wajah Jazirah Arab yang terpecah-pecah menjadi basis peradaban sosial, politik, ekonomi, dan militer. Pertanyaannya, apakah keberhasilan itu semata karena posisinya sebagai Nabi? Padahal Alquran sendiri menegaskan: Muhammad hanyalah manusia biasa, bukan malaikat, bukan dewa, melainkan manusia yang menerima wahyu (QS.18:110, QS.33:21). Maka, jawabannya tidak berhenti pada wahyu. Ada sesuatu dalam personality Nabi yang begitu utuh, yang membuat ajarannya mampu menembus nurani dan melahirkan peradaban.

Sejarah mencatat bahwa sejak kecil, Muhammad ditempa oleh kehilangan. Ia lahir dalam keadaan yatim, enam tahun kemudian ditinggal ibunya, lalu diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, sebelum akhirnya berada di bawah perlindungan pamannya Abu Thalib. Dalam kondisi seperti itu, seorang anak biasanya terancam menjadi rapuh atau sebaliknya tumbuh sangat mandiri. Muhammad memilih jalan kedua. Ia tidak pernah merepotkan pamannya, bahkan sejak kecil sudah ikut berdagang, menggembala, dan bekerja. Dari situlah lahir pribadi yang kokoh, tidak bergantung, dan selalu siap memikul tanggung jawab.

Kemandirian ini bukan sekadar keterampilan hidup, melainkan fondasi kepemimpinan. Beliau membersihkan sandalnya sendiri, menjahit pakaiannya, memerah susu kambingnya. Bukan karena tidak ada yang mau membantu, melainkan karena ingin menunjukkan: seorang pemimpin sejati harus dimulai dari dirinya sendiri. Prinsip itu kelak terwujud dalam Piagam Madinah, di mana musyawarah menjadi pilar, dan setiap kesepakatan ia mulai lebih dahulu dengan tindakan nyata.

Jejak Al-Hanifiyyah

Kepribadian Muhammad tidak berdiri di ruang kosong. Ia berakar pada tradisi al-hanifiyyah, sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim yang menekankan kemandirian, pembebasan diri dari sifat buruk, penanaman akhlak mulia, kejujuran, tanggung jawab, dan keintiman dengan Tuhan. Beberapa tokoh terkenal dalam tradisi ini adalah Zaid ibn Amr ibn Nufail, Waraqah ibn Naufal, Abu Qais ibn Anies, dan Khalid ibn Sinan. Khadijah, istri Nabi, juga bagian dari komunitas ini.

Bersama Khadijah, Muhammad menempuh jalan sunyi itu selama 15 tahun sebelum turunnya wahyu. Saat masyarakat Quraisy sibuk dengan berhala dan materialisme, mereka justru menjaga tradisi Ibrahim: khalwat, menyendiri, mendekat kepada Tuhan. Maka tidak heran bila Khadijah mendukung penuh suaminya ketika beliau berdiam di gua, dan menenangkan hatinya ketika wahyu pertama datang dengan membawanya kepada Waraqah ibn Naufal.

Dari sanalah, kemandirian Nabi menemukan dasar spiritualnya: ia tidak hanya bebas dari bergantung pada manusia, tetapi juga bebas dari perbudakan nafsu.

Lima Pilar Jalan Kenabian

Jika boleh saya tadabburi, Emha Ainun Nadjib, menyebut upaya meneladani Nabi sebagai memuhammadkan diri. Intinya adalah menghidupkan kembali lima prinsip al-hanifiyyah:

  1. Kemandirian: tidak bergantung pada orang lain, berani bertanggung jawab.
  2. Pembebasan jiwa dari sifat buruk (takhalli).
  3. Penanaman sifat terpuji: kebijaksanaan, kerendahan hati.
  4. Kejujuran dan tanggung jawab.
  5. Keintiman dengan Tuhan: cinta kasih sebagai pusat.

Prinsip-prinsip inilah yang membentuk generasi awal Islam. Khalid ibn al-Walid, Tarek ibn Ziyad, Musa ibn Nusair. Semua pahlawan besar itu tidak melewati bertahun-tahun pendidikan formal syariah, tetapi cukup memuhammadkan diri. Mereka menyalin kepribadian Nabi, lalu bergerak, dan dari situlah lahir sejarah gemilang Islam.

Kemandirian Sebagai Fondasi

Alquran menegaskan manusia sebagai khalifah di bumi, individu yang memikul tanggung jawab personal. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah dirinya sendiri (QS.13:11). Tauhid pun—pada dasarnya—adalah deklarasi kemandirian bahwa hanya Allah yang berkuasa, sehingga manusia tidak layak diperbudak oleh sesama.

Inilah yang dipraktikkan Nabi di Madinah. Beliau menolak ada lahan terbengkalai, melarang pengangguran, mendorong usaha dan pertanian, bahkan mewajibkan ahli untuk melatih pemula. Hasilnya, Madinah tumbuh menjadi masyarakat mandiri, kuat secara ekonomi, kokoh dalam solidaritas, dan aman tanpa lembaga polisi. Bukan karena penduduknya malaikat, tetapi karena nurani mereka bangkit.

Agama Sebagai Situasi Keilahian

Kesuksesan Madinah menunjukkan bahwa agama bukan semata aturan. Aturan hanyalah produk. Agama sejati adalah situasi keilahian di mana kesadaran langsung akan Tuhan yang menuntun manusia pada akhlak. Shalat, zakat, puasa, haji, semuanya latihan untuk membangun kepribadian. Tanpa akhlak, ibadah hanyalah kulit kosong. Nabi menegaskan misinya: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Namun dalam perjalanan sejarah, agama direduksi menjadi hukum dan otoritas. Umat sibuk dengan halal-haram, tetapi miskin kasih sayang. Rajin beribadah, tetapi lemah dalam integritas. Inilah krisis yang membuat umat Islam kehilangan energi sejak abad ke-5 H, hingga kini terseok-seok dalam kemiskinan dan kebodohan.

Maiyah: Menghidupkan Kembali Jalan Kenabian

Dalam konteks modern, ada sebuah tradisi yang mencoba menyambungkan kembali manusia dengan jalan Nabi: Maiyah. Di sini orang belajar bahwa agama bukan sekadar tata aturan, tetapi cara untuk membebaskan diri dari egoisme, menanamkan kebijaksanaan, dan menumbuhkan cinta kasih.

Maiyah tidak menambah kitab, tidak menambah hukum. Ia hanya mengingatkan bahwa inti agama ada pada akhlak. Seperti Nabi yang selalu memulai dari dirinya sendiri, Maiyah mengajak setiap individu untuk kembali ke titik nol, yakni membangun kemandirian, menyucikan jiwa, menyalakan nurani.

Pada akhirnya, rahasia keberhasilan Nabi tidak terletak pada mukjizat semata, melainkan pada kepribadian yang terbentuk oleh kemandirian, kejujuran, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Itulah yang membuat ajarannya berakar di hati manusia dan melahirkan peradaban.

Umat Islam hari ini mungkin kehilangan rahasia itu, terjebak pada simbol dan aturan, tetapi masih ada jalan untuk kembali. Jalan itu adalah Jalan Kenabian, yakni jalan sunyi yang ditempuh seorang yatim dari Mekah, jalan yang kini dijaga oleh lingkaran-lingkaran kecil seperti Maiyah. Jalan yang sederhana, tetapi mampu menyalakan kembali peradaban dengan kemandirian, penyucian jiwa, akhlak, kejujuran, dan cinta kasih.

Lainnya

Membeli Gengsi

Membeli Gengsi

Salah satu tragedi terbesar zaman ini adalah ketika pendidikan tidak lagi berdiri di atas cita-cita kemanusiaan, tetapi di atas logika pasar.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid

Topik