Jiwa-Jiwa Mati: Negeri yang Menjual Dirinya Sendiri

Ada seorang kawan saya bilang, membaca Jiwa-Jiwa Mati karya Gogol itu seperti menelan obat cacing di musim hujan. Pahit, panjang, tapi kalau kita tahan, bisa membersihkan isi perut yang penuh makhluk-makhluk tak kelihatan. Nah, masalahnya, kebanyakan orang lebih suka makan bakso ketimbang minum obat cacing. Wajar kalau banyak yang menyerah di tengah jalan.
Novel ini memang panjang. Ditulis di Rusia abad 19, ketika negeri itu belum meledak oleh revolusi. Belum ada Lenin, belum ada Stalin, belum ada perang dunia. Masih zaman dingin — bukan “Cold War” Amerika-Soviet, tapi dingin betulan — salju, kabut, udara beku, dan rakyat yang hidup serba susah.
Gogol menulis kisah tentang orang yang membeli “jiwa-jiwa mati” – budak yang secara administratif masih tercatat hidup, padahal sudah wafat. Lho kok bisa dijual? Ya bisa, wong administrasi negara kadang lebih kuat dari kenyataan. Orang mati bisa hidup di kertas. Dan orang hidup bisa dibuat mati lewat keputusan pejabat.
Kalau mau kita bawa ke sini, ke Indonesia abad 21, apa bedanya? Bedanya cuma di istilah. Di Rusia ada “jiwa-jiwa mati”, di sini ada “data fiktif”. Ada bansos yang masuk ke nama-nama yang sudah tiada. Ada proyek-proyek yang hanya hidup di laporan, tapi mati di lapangan. Jadi jangan-jangan Gogol itu sebenarnya sedang menulis tentang kita, hanya saja beliau lahir terlalu cepat, salah mendarat di Rusia, bukan di Jawa.
Yang lebih lucu, novel ini sering terasa datar. Nggak ada drama cinta ala sinetron, nggak ada adegan kejar-kejaran ala film laga. Yang ada hanya cerita monoton tentang manusia-manusia yang kehilangan roh. Bagi pembaca yang tidak cinta sastra, pasti bosan. Tapi bukankah hidup kita juga sering begitu? Jalan macet tiap pagi, rapat yang itu-itu saja, pidato pejabat yang nadanya sama persis dengan rekaman tahun lalu. Kalau sabar membacanya, kita akan menemukan cermin.
Gogol itu satir. Dia sedang menggambarkan bagaimana negeri besar bisa berisi orang-orang kecil yang lebih sibuk menghitung harta daripada menghitung dosa. Lebih suka memelihara status di kertas ketimbang membangun martabat di hati.
Kalau kita baca dengan hati, Jiwa-Jiwa Mati itu kitab pengajian juga. Tentang apa artinya manusia kalau hanya hidup di KTP, tapi mati di dalam jiwa. Tentang betapa berbahayanya kalau sebuah bangsa mengizinkan dirinya jadi catatan administrasi tanpa iman, jadi tubuh tanpa ruh, jadi nama tanpa nur.
Maka membaca Gogol itu jangan buru-buru ingin tamat. Nikmati saja datar-datarannya, seperti kita duduk di warung sambil menunggu hujan reda. Kadang kebosanan itu sendiri adalah guru. Dari sana kita diajak bertanya: apakah saya ini hidup betulan, atau hanya “jiwa mati” yang kebetulan masih bisa bernafas?
Dalam Jiwa-Jiwa Mati, Gogol menghadirkan seorang tokoh bernama Pavel Ivanovich Chichikov. Namanya panjang, jabatannya resmi adalah Anggota Dewan Kolegial, tuan tanah, sedang melakukan perjalanan untuk urusan pribadi. Sudah terasa kan? “Urusan pribadi” tapi pakai atribut jabatan. Kalau kita menggunakan bahasa sekarang adalah semacam dinas luar kota tapi sambil plesiran.
Chichikov ini kelihatannya sopan, ramah, tahu cara menyapa. Tapi di balik senyumnya, ia menyimpan kalkulator. Semua orang ia hitung-hitung: ini bisa saya peras berapa, itu bisa saya manfaatkan apa. Seorang birokrat yang kelihatan halus, padahal liciknya melebihi ular sawah yang lagi kelaparan.
Ia berkeliling bersama saisnya, Sulifan. Nah, jangan-jangan justru Sulifan ini yang lebih manusiawi, meski posisinya cuma pengemudi. Sais itu biasanya tahu lebih banyak tentang arah jalan daripada tuannya. Tahu di mana kubangan, di mana jurang. Tapi nasibnya ya tetap cuma sais: hidupnya mengantarkan, bukan dituju.
Chichikov membeli “jiwa-jiwa mati”. Bayangkan, orang sudah meninggal tapi masih dihitung sebagai aset. Di situ kelicikan birokrasi bekerja. Yang penting angka di atas kertas. Nyawa tak lagi bernilai, yang penting data bisa digoreng.
Kalau kita tarik ke negeri kita, apa bedanya dengan pejabat yang pamer program “sudah membangun seribu sekolah”, padahal separuhnya hanya ada di spanduk? Apa bedanya dengan data bansos yang menyalur ke rumah kosong, atau BLT yang masuk ke rekening orang yang sudah lama wafat?
Chichikov itu seakan cermin bagi bangsa mana pun yang sedang lupa arah. Birokratnya sibuk mengutak-atik aturan untuk memperkaya diri. Negeri jadi ladang manipulasi, rakyat jadi catatan, bukan lagi manusia.
Gogol seolah berkata: “Lihatlah, ini bukan sekadar cerita Rusia abad 19. Ini wajah kemanusiaan yang sedang sakit. Kalau tak hati-hati, penyakit ini bisa lahir di mana saja.”
Dan di situlah satire Gogol terasa religius. Sebab manusia tanpa nurani memang hanya jadi jiwa mati. Hidupnya bergerak, tapi kosong. Matanya terbuka, tapi gelap.
Saya jadi ingat pepatah kampung: lebih baik jadi sais seperti Sulifan, yang setia mengantar, daripada jadi Chichikov yang selalu mengatur. Sebab sais masih tahu arah jalan. Sedangkan birokrat yang tamak, justru tersesat di jalan yang ia pikir sedang ia kuasai.
Dalam perjalanannya, Chichikov bertemu macam-macam orang, antara lain pejabat daerah, tuan tanah, sampai calo-calo yang siap menawarkan apa saja. Ada yang menjual tanah, ada yang menjual jasa, bahkan ada yang menjual manusia — lebih tepatnya, “petani yang sudah mati”. Nah, ini kan lucu sekaligus tragis: wong sudah dikubur, masih bisa ditransaksikan.
Di situ kelihatan bagaimana birokrasi itu punya satu keahlian bagaikan menyulap yang tidak ada menjadi ada, dan yang ada bisa dihapus seolah tak pernah ada. Chichikov cuma pembeli, tapi para pejabat daerah itu penjual ulung. Mereka bilang: “Silakan, ini data petani kami. Banyak yang sudah wafat, tapi di kertas masih hidup. Anda bisa beli murah.”
Apakah ini cuma kisah Rusia abad 19? Oh tidak. Lha wong di negeri kita juga begitu. Ada proyek yang dikerjakan “setengah mati”, tapi di laporan ditulis “100 persen berhasil”. Ada rakyat yang sudah mati, tapi namanya tetap dapat bansos. Ada dana aspirasi masuk, tapi yang sampai ke warga hanya seperti remah rengginang di pojok toples lebaran.
“Jiwa-jiwa mati” itu bukan sekadar budak Rusia. Itu simbol. Simbol pejabat yang manipulatif, licik, tamak. Simbol bangsa yang rela menjual apa saja — termasuk saudaranya sendiri — demi angka di kertas, demi rekening yang bertambah.
Padahal Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan: janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Tapi kenyataannya, yang dijual bukan hanya ayat, melainkan juga rakyat. Kita jadi seperti pasar malam yang dagangannya bukan sate dan cilok, tapi manusia.
Lucunya lagi, semua dilakukan dengan wajah resmi dan bahasa sopan: “Ini untuk pembangunan,” katanya. Tapi pembangunan apa, kalau yang dibangun hanya tembok-tembok kosong, sementara jiwa rakyatnya dijual murah?
Kalau begitu, siapa yang lebih hidup? Petani yang sudah mati jasadnya, atau pejabat yang jasadnya sehat tapi jiwanya mati?
Kadang saya mikir, jangan-jangan bangsa kita ini sedang dikunjungi Chichikov, tapi kita tak sadar. Ia datang dalam bentuk proyek, dalam rupa program, dalam bahasa administrasi. Dan kita semua jadi Sulifan — sais yang manut saja, mengantarkan ke mana pun sang tuan ingin pergi.
Kalau begitu, jangan-jangan yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar “jiwa-jiwa mati” di kertas, tapi jiwa kita sendiri: masih hidupkah ia di hadapan Tuhan, atau hanya nama di KTP yang sebentar lagi dicoret petugas kelurahan?
Chichikov: Wajah Kita di Cermin Gogol
Memang betul, Jiwa-Jiwa Mati itu novel yang berat. Alurnya datar, tidak ada ketegangan, tidak ada klimaks. Hanya cerita perjalanan seorang bernama Chichikov. Kadang kita merasa, “loh, ini kok bukan novel ya, ini kayak catatan perjalanan, atau malah laporan perjalanan dinas.” Tapi itulah kekuatan Gogol, justru di datarnya itu, kita digoda untuk tetap membaca.
Chichikov digambarkan berubah-ubah karakter. Di satu tempat ia terlihat santun, di lain waktu culas. Ada yang menilainya ramah, ada yang menyebutnya licik, ada pula yang bilang ia cerdas mengatur peluang. Dengan kata lain, Chichikov itu seperti wajah kita di KTP — satu foto, tapi seribu tafsir.
Gogol sengaja membuat alurnya datar. Supaya kita tidak tergoda mencari “drama besar”. Sebab kehidupan birokrasi memang tidak penuh ledakan, melainkan penuh kelicinan. Yang berbahaya bukanlah klimaks, melainkan dataran panjang yang membuat kita mengantuk dan lengah. Di situlah uang berpindah tangan, di situlah data dimanipulasi, di situlah rakyat diubah statusnya dari manusia menjadi angka.
Chichikov hanyalah “perjalanan”. Tapi perjalanan itu sendiri adalah sindiran: manusia yang terus bergerak, tapi tidak jelas ke mana. Kalau kita bertanya: apakah Chichikov baik atau jahat? Jawabannya: tergantung siapa yang bicara. Sama seperti pejabat di negeri kita — bagi keluarganya ia penuh kasih, bagi rakyat yang ditindas ia perampok berseragam.
Novel ini memang seperti jalan lurus yang panjang, tanpa tikungan tajam. Tapi jangan salah, di jalan lurus itulah kita sering terjebak kantuk. Dan kantuk bangsa jauh lebih berbahaya daripada marah. Sebab kalau marah, kita masih punya daya. Tapi kalau kantuk, kita malah membiarkan diri ditidurkan, dan ketika bangun, negeri sudah dijual murah.
Maka Jiwa-Jiwa Mati bukan sekadar kisah Rusia abad 19. Ia cermin untuk siapa saja yang mau jujur. Pertanyaannya tinggal: apakah kita ini penonton yang mengantuk, atau jiwa-jiwa mati yang ikut diperjualbelikan bersama catatan-catatan birokrasi?
Sekelumit kisah dari Gogol, seperti juga para sastrawan Rusia kebanyakan, tidak pernah ditulis dengan gaya “menyentak”. Tidak ada pistol meletus di halaman pertama, tidak ada kejar-kejaran kuda, tidak ada cinta segitiga yang bikin deg-degan. Mereka menulis dengan datar. Seperti salju yang turun pelan-pelan, menutupi halaman demi halaman.
Gogol memilih jalannya sendiri: humor, ironi, kadang sinis. Tapi sinisnya bukan sinis yang bikin orang marah, melainkan sinis yang bikin kita menutup buku sebentar, lalu tersenyum miris: “Lha kok ya persis dengan kita sekarang ya?”
Saya mengaku, membaca Jiwa-Jiwa Mati itu butuh kesabaran. Seperti duduk di angkringan malam-malam, menunggu wedang jahe pelan-pelan dingin. Tidak ada kejutan, tidak ada ketegangan. Tapi bukankah hidup kita sehari-hari juga begitu? Kita jarang menghadapi ledakan, tapi sering menghadapi kelicikan yang menyelinap diam-diam.
Justru di situlah Gogol memikat. Ia tidak mengajak kita terkejut, tapi mengajak kita bercermin. Ia tidak bikin kita meloncat kaget, tapi bikin kita tersipu: “Jangan-jangan saya ini juga Chichikov kecil-kecilan.”
Membaca Gogol sama seperti ikut pengajian yang panjang, gurunya tidak pernah teriak-teriak, tidak pernah marah-marah. Beliau hanya bercerita dengan datar, humoris, kadang sinis. Tapi tahu-tahu, ketika kita pulang, hati kita gelisah sendiri.
Maka kesabaran adalah kuncinya. Kesabaran untuk menemukan makna di balik dataran yang sepi, untuk menangkap suara di balik diam. Sebab bisa jadi, justru di datarnya itulah Tuhan menyembunyikan teguran-Nya.
Kalau kita jujur, situasi Indonesia hari ini sering juga terasa seperti novel Gogol: datar. Tidak ada revolusi besar, tidak ada guncangan hebat yang membuat kita sadar. Semua berjalan seolah-olah normal. Harga naik, rakyat protes sebentar, lalu diam lagi. Pejabat bikin skandal, orang ribut sehari, minta maaf lalu lupa. Kehidupan politik pun berjalan seperti drama panjang tanpa klimaks — banyak kata-kata, sedikit makna.
Dan justru di situlah bahayanya. Konflik besar kadang bisa membangunkan bangsa. Tapi jalan datar yang penuh manipulasi, penuh basa-basi, penuh administrasi palsu — itulah yang paling mematikan jiwa. Kita tertidur sambil berjalan, kita ikut bernafas tapi lupa hidup.
Gogol mengajarkan bahwa kematian jiwa tidak selalu datang lewat perang atau revolusi. Ia justru datang lewat kebosanan, lewat kelicikan kecil yang kita biarkan, lewat data-data palsu yang kita anggap wajar. Kita terbiasa, lalu kita kehilangan ruh.
Mungkin ini saatnya kita bertanya: jangan-jangan Indonesia ini sedang berubah jadi novel panjang yang datar — penuh perjalanan, penuh nama-nama, tapi kehilangan jiwa. Kalau begitu, siapa yang akan jadi Chichikov? Dan siapa yang akan jadi Sulifan, sais sederhana yang diam-diam lebih tahu arah jalan?
Sebab bangsa tidak mati karena bom, tapi karena diam. Tidak runtuh karena badai, tapi karena membiarkan jiwa-jiwa mati diperdagangkan tanpa pernah kita pedulikan.[]
Nitiprayan, 11 September 2025
