Menantang Konsep Ekonomi Tradisional


Di pasar, setiap buah, setiap batang kayu, bahkan udara pun seolah memiliki harga. Seperti di kota tua yang menua perlahan, pedagang rempah di sudut pasar menimbang cengkeh dengan mata yang teliti, tetapi jarang menghitung aroma tanah yang menumbuhkan tanaman itu, atau keringat petani yang meletakkan harapannya di tanah. Ekonomi modern bilang ini “efisien”, tapi efisiensi itu membungkam seluruh hidup yang tak bisa dihitung dengan kertas angka.
Sejarah pun menyimpan cerita serupa. VOC, ratusan tahun lalu, mengukur nilai lada bukan dari rasa yang menghangatkan mulut, tetapi dari berapa gulden yang bisa masuk kantong. Orang-orang dan hutan yang menanggung dampak? Itu dianggap eksternalitas, kata ekonom. Kata yang terdengar rapi untuk hal-hal yang seharusnya tak ternilai.
Hari ini, metode yang sama terus hidup: analisis biaya/manfaat, ROI, margin—alat yang katanya progresif, tapi sering memaksa kita menukar sungai yang jernih dengan beton, hutan yang rimbun dengan vila wisata, dan waktu manusia dengan keuntungan semata. Kita belajar menghitung angka, tapi lupa menghitung dampak pada manusia dan alam.
Pasar, dalam kecemerlangannya, menjadi cermin individualisme. Penjual hanya bertanya: “Berapa untungku?” Pembeli hanya bertanya: “Berapa harganya?” Tidak ada yang menoleh ke belakang, tidak ada yang mendengar tanah yang berseru, hutan yang menangis, sungai yang membisu. Semua nilai yang sejati—kehidupan, keberlanjutan, kesetiaan pada alam—diukur dengan standar yang sempit dan kejam.
Apakah ekonomi hanya soal harga di pasar? Ataukah ia harus menjadi ilmu yang menghitung kehidupan, yang menimbang manusia dan bumi dengan kesetaraan yang tak ternilai? Karena bila ekonomi hanya soal angka, kita bukan lagi manusia yang hidup, melainkan penonton dari ilusi kemakmuran yang rapuh.
Di sudut kota yang diselimuti debu dan asap, pohon-pohon yang dulu meneduhkan langkah manusia kini tampak terasing. Perhatian terhadap kerusakan lingkungan membangkitkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah ekonomi kita hanya tentang angka, tentang profit semata, atau tentang kehidupan itu sendiri? Studi-studi ekonomi yang sempit, yang hanya memandang bagian, harus diberi cermin lebih luas—meta-ekonomi yang mampu menelisik kehidupan manusia, bumi, dan makna yang tak ternilai.
Profitabilitas tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan. Sungai yang jernih, tanah yang subur, udara yang segar—semua itu juga memiliki nilai, meski tak bisa dihitung dalam dolar atau rupiah. Alam bukan mesin; ia adalah sumber dari segala yang kita sebut produk primer maupun sekunder, dari makanan yang menghangatkan perut hingga pohon yang menumbuhkan harapan. Mengabaikannya berarti menulis masa depan dengan tinta kelabu.
Pasar, dengan segala gemerlap angka dan tawarnya, hanyalah cerminan permukaan masyarakat. Menilai semua berdasarkan harga pasar adalah menyederhanakan kehidupan, menyamakan semua hal dengan satu ukuran yang dingin. Dalam kerangka itu, makna, tujuan, dan esensi manusia sering terselip, tersingkir, atau bahkan hilang. Kita perlu belajar mendengar bisik alam, melihat wajah petani, menghargai kerja tangan, dan mempertimbangkan kesejahteraan generasi mendatang.
Transformasi ekonomi yang sesungguhnya bukan sekadar soal metode baru, tetapi soal cara kita menilai hidup. Kita harus menimbang keberlanjutan, bukan hanya pertumbuhan; kesejahteraan manusia, bukan hanya laba; harmoni dengan alam, bukan hanya dominasi atasnya. Konsumsi yang bijak, pengelolaan sumber daya yang adil, dan pendidikan publik tentang nilai-nilai non-ekonomi adalah langkah-langkah kecil yang menembus kerangka lama yang terlalu sempit.
Ini bukan perjalanan mudah. Setiap kebijakan, setiap keputusan ekonomi, adalah percobaan kita menyeimbangkan dunia yang rapuh ini. Tetapi tanpa keberanian untuk menoleh dan menimbang yang tak ternilai—tanah, air, manusia, budaya—kita hanya akan terus berlari di roda yang sama, di jalan yang kian sempit, menuju masa depan yang kehilangan akarnya.
Dan di sana, di antara angka dan laporan, kita harus bertanya: apakah kita ingin menjadi manusia yang menghitung segalanya, atau manusia yang menghargai kehidupan itu sendiri? Karena ekonomi sejati adalah yang menempatkan hidup di atas angka, dan bumi tetap di atas semua perhitungan.
Dan di akhir hari, ketika pasar sunyi dan langit menua perlahan, kita tersadar: tidak semua yang berharga dapat dihitung, dan tidak semua yang dihitung benar-benar berharga. Angka dan laba hanyalah bayangan—sementara sungai, tanah, hutan, dan manusia terus bernapas, menunggu perhatian kita yang tulus.
Mungkin, cara kita melihat ekonomi harus mulai dari bisikan alam, dari langkah kecil yang menjaga keseimbangan, dari kesadaran bahwa kehidupan bukan sekadar hitungan. Bila kita belajar menimbang yang tak ternilai, menghargai yang tak terlihat, barulah ekonomi menjadi alat yang melayani hidup, bukan sekadar memaksa hidup menjadi angka.
Di sana, di persimpangan antara keuntungan dan keberlanjutan, tersimpan harapan—bahwa generasi yang datang akan mewarisi bumi yang masih bernapas, manusia yang masih peduli, dan dunia yang masih memiliki makna. Semoga kita cukup berani untuk mulai menoleh, cukup bijak untuk mulai menimbang, dan cukup lembut untuk tetap menghargai hidup, di atas segala angka dan ambisi semata.
Perubahan paradigma ekonomi bukanlah perjalanan mudah. Ia menuntut waktu, usaha, dan keberanian untuk menoleh ke segala yang sering luput dari hitungan: manusia, tanah, sungai, dan udara yang menopang hidup. Namun, upaya itu berharga—karena ketika ekonomi dipahami sebagai alat untuk tujuan yang lebih luas, untuk keadilan, keberlanjutan, dan ketahanan, kita mulai mencatat masa depan yang bukan sekadar angka di kertas, tetapi dunia yang masih bernapas, generasi yang masih peduli, dan planet yang masih mampu menahan harapan.[]
Nitiprayan, 23 September 2025