Ruwat (Desa), Menjalani Islam Itu Sendiri
Mbah Nun mengedukasi kita bahwa tidak semua hal yang tidak ada “nama”-nya dalam tradisi Islam atau sesuatu itu adalah hal baru, tidak lantas sesuatu itu haram atau bid’ah yang harus diberantas. Mbah Nun menuntun anak-cucu untuk menangkap substansi-substansi sesuatu dan bilamana ternyata substansi tersebut ternyata merupakan hal-hal baik yang diperintahkan Islam, maka yang demikian itu juga termasuk dalam menjalankan atau mempraktikkan Islam. Toh sudah ada kategori ibadah, yaitu mahdloh dan ghoiru mahdloh. Bid’ah yang dilarang adalah yang menyangkut ibadah mahdloh, sedangkan pada ranah ghoiru mahdloh atau muamalah, sepanjang sesuatu yang baru atau belum ada pada masa Nabi itu baik dan berangkat dari nilai-nilai Islam, maka baik juga, dan tidak bisa diklaim sebagai bid’ah yang sesat.
Sekarang, menarik rasanya kita menimba ilmu dari fenomena kegiatan Ruwat Desa atau Ruwat Bumi yang menghadirkan Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng seperti di Desa Sima tadi. Paling terasa adalah adanya proses di mana Mbah Nun mengingatkan kembali hal-hal dasar dalam hidup kita dan itu juga perlu menjadi dasar dalam Ruwatan. Misalnya, Mbah Nun mengatakan, kita tak bisa ruwatan kalau hati kita masih konflik atau belum beres dengan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Maka, pada segmen awal Sinau Bareng tadi malam, Mbah Nun mengajak semua jamaah dan anak cucunya untuk ngungkal (mengasah kembali) katresnan kepada Kanjeng Nabi serta ngungkal katresnan kepada Allah melalui mengasah roso Qur’an mereka.
Tidak hanya dicek suara mereka dalam melantunkan shalawat bersama para vokalis KiaiKanjeng, tetapi juga dicek pula berkaitan dengan hal-hal mendasar menyangkut shalawat, seperti apa yang dimaksud shalawat, apa itu syafaat Kanjeng Nabi, tentang makna “innallaha wa malaikatahu yushalluna ‘alan Nabiy”, tentang Qasidah Burdah dan siapa pengarangnnya, tentang Maulid Al-Barzanji dan Maulid Simtud Duror, tentang siapa pengarang lirik shalawat Badar, dlsb.
Demikian juga dengan ngasah roso Qur’an. Bersama-sama mereka diajak melantunkan surat an-Naas dan Adl-Dluha. Lulus. Semuanya hapal. Kemudian dicoba surat Ar-Rahman. Alhamdulillah sampai ayat ke-10 masih hapal semua. Mbah Nun mengatakan, meskipun hanya 10 ayat, insyaAllah, Allah sudah senang. Ibarat penulis lagu, lagunya dinyanyikan, pasti akan senang. “Ya Allah, abdi-abdi-Mu di Pemalang ini, mereka senang membaca Al-Qur’an. Cintailah mereka, berkahilah mereka…,” doa Mbah Nun.
Ruwat Bumi atau Ruwat Desa seperti di Desa Sima tadi malam, dengan hadirnya Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng menjadikan yang hadir tak hanya orang Desa Sima sendiri atau desa sekitarnya, tapi orang dari banyak daerah atau Kabupaten lain. Waktu KiaiKanjeng berhenti sejenak di sebuah SPBU di salah satu kecamatan Pemalang buat menunaikan hajat yang tak bisa dijadwal ini (baca: buang air kecil), KiaiKanjeng bertemu serombongan satu mobil anak muda dari Pekalongan. Mereka akan datang ke Sima untuk Sinau Bareng tadi malam. Kata mereka, masih banyak rombongan di belakang mereka. Kehadiran banyak orang dari daerah atau kabupaten lain, tak hanya menambah semarak acara dengan hadirin yang sangat banyak, tetapi berarti pula makin banyak yang ikut mengamini doa-doa yang dilantukan Mbah Nun dalam Ruwat Bumi Desa Sima ini. (caknun.com)