Berjalan Bersama Cak Nun: Pelajaran Maiyah di Masa Yang Sulit

Saya termasuk orang yang sangat beruntung karena sudah sekian lama berjalan bersama Cak Nun. Persahabatan kami tidak lahir di ruang rapat, tetapi di lingkaran orang-orang yang duduk bersila di bawah langit malam, di panggung sederhana di alun-alun desa, di pusat kebudayaan di luar negeri, bahkan di perjalanan panjang lintas benua. Dari tahun ke tahun, saya belajar sesuatu darinya yang tidak bisa saya peroleh dari buku atau kelas: bahwa kemanusiaan sejati lahir dari keberanian untuk mendengar, kesediaan untuk merangkul, dan kegembiraan untuk belajar bersama – sinau bareng!
Kenangan-kenangan itulah yang menjadi lensa saya dalam melihat kerusuhan yang kini mengguncang Indonesia. Saya tidak bisa tidak mengingat 1998, ketika Orde Baru runtuh, dan saya melihat langsung bagaimana Cak Nun berdiri di tengah pusaran sejarah — tegas tapi penuh kasih, kritis tapi sekaligus menyembuhkan. Saya juga teringat perjalanan kami ke Belanda, Australia, dan Thailand, di mana saya menyaksikan bagaimana semangat Maiyah menembus batas bangsa. Maka saya bertanya: pelajaran apa yang bisa kita bawa dari pengalaman itu? Apa yang ditawarkan Maiyah sekarang? Dan apa yang akan dikatakan Cak Nun seandainya beliau berdiri di tengah kerusuhan hari ini?
Tahun 1998 adalah tahun guncangan besar. Jalanan Jakarta terbakar, mahasiswa turun ke jalan, dan tembok kekuasaan yang tiga dasawarsa kokoh mulai retak. Saya masih ingat atmosfer mencekam: mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, dan kota-kota lain menduduki kampus, tidur di lantai dengan spanduk lusuh, suara toa penuh semangat sekaligus ketakutan. Dalam situasi itu, Cak Nun tidak menjauh. Ia hadir di forum-forum mahasiswa, berdiri di antara mereka, bukan di atas mereka.
Ada banyak cerita dari masa itu. Di Yogyakarta, mahasiswa sedang gelisah — mereka bicara tentang korban di Trisakti 1, tentang represi aparat, tentang masa depan yang suram. Banyak yang marah, ada juga yang ingin balas dengan kekerasan. Cak Nun duduk di lantai bersama mereka, tidak ada jarak. Ia tidak memulai dengan teori, melainkan dengan cerita: kisah manusia sederhana, kisah ketidakadilan yang bisa dipahami siapa saja.
Kata ekonom dan pemikir Islam Dawam Rahardjo, wajah-wajah mereka yang tegang perlahan melunak. Tetapi ketika KiaiKanjeng menabuh musik, suasana mencair. Anak-anak muda yang tadinya ingin melempar batu malah ikut bernyanyi. Malam itu, kata Pak Dawam, beliau benar-benar sadar: seni bukan pelengkap, ia penyelamat 2.
Puncak keberanian Cak Nun tampak ketika ia bersama beberapa tokoh lain dipanggil ke Istana, bertemu langsung dengan Presiden Soeharto. Beliau menulis tentang hal itu dalam buku “Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2.5 jam di Istana” yang saya bahas dan kutip di Kenduri Cinta bulan Agustus lalu. Dalam suasana krisis, Cak Nun menulis kalimat yang kini terkenal: “Ora dadi presiden ora patheken. 3” Kalimat sederhana itu adalah kompas moral: jabatan tidak lebih penting daripada kemanusiaan.
Pengalaman 1998 mengajarkan saya: kerusuhan bukan hanya peristiwa politik, tetapi ujian spiritual. Bagaimana kita menjaga hati agar tidak kehilangan kasih sayang di tengah amarah. Kerusuhan hari ini memiliki gema 1998, tetapi juga perbedaan.
- Sama: ada kemarahan rakyat, rasa tidak adil, dan erosi kepercayaan.
- Beda: kini ada media sosial yang mempercepat polarisasi, ruang publik lebih bising, dan godaan membenci lebih besar.
Cak Nun menulis dalam artikel “Belajar kepada Orang Barat” (2021):
“Kalau orang Barat itu bersungguh-sungguh dalam hal-hal yang mereka anggap penting, kita bangsa Indonesia seringkali main-main. Kalau mereka fokus, kita seringkali lengah. Kalau mereka jujur, kita sering kali ‘ngakal-ngakali’. 4”
Dan juga:
“Jangan sekali-kali kita bersikap minder, jangan pula silau. Mental inlander itu racun. Belajarlah, tapi tetaplah berdaulat. 5”
Dua kutipan ini menjadi sangat relevan. Kita harus belajar rendah hati, tapi juga tidak kehilangan kedaulatan. Harus serius, tidak main-main dengan masa depan bangsa.
Ada satu karya Cak Nun yang tidak banyak dikenal publik luas, berjudul “Nation of the Laughing People”. Naskah ini beredar terbatas dalam bentuk bulletin CNKK Center 6. Karya ini diproduksi sebagai persiapan tur Kiai Kanjeng ke Inggris pada tahun 2004 dan saya juga berbicara tentangnya dan mengutipnya di Kenduri Cinta bulan lalu. Dalam teks tersebut, Cak Nun mengekspresikan kekecewaannya terhadap hasil Reformasi: benih rapuhnya Reformasi sudah ditanam sejak awal. Ketika Soeharto jatuh, banyak orang buru-buru berebut kekuasaan, posisi, dan privilese. Ideal-ideal kebangsaan dan keadilan tenggelam dalam riuhnya ambisi pribadi.
Sebagai sahabatnya, saya merasakan betapa dalam kekecewaan itu. Beliau bukan menolak Reformasi, tetapi menyesali bahwa peluang besar untuk membangun keadilan justru dirusak oleh kerakusan elit. Dan saya melihat sendiri bagaimana nada itu muncul kembali dalam diskusi-diskusi Maiyah: bahwa bangsa ini sering tergelincir bukan karena kurangnya peluang, tetapi karena tergesa-gesa mengejar keuntungan. Refleksi ini penting untuk kita tarik ke kondisi sekarang. Kerusuhan hari ini adalah gema dari rapuhnya pondasi pasca-1998. Jika saat itu kita lebih sabar, lebih fokus pada rakyat daripada pada kursi, mungkin kita berdiri lebih kokoh sekarang.
Dari pengalaman saya bersama Maiyah, ada empat nilai yang paling relevan untuk sekarang:
- Dialog menggantikan konfrontasi. Maiyah selalu melingkar, bukan berbaris. Semua didengar. Inilah yang hilang saat kerusuhan: orang hanya ingin berteriak.
- Kedaulatan diri. Jangan biarkan pikiran disetir propaganda atau ketakutan. Berpikirlah dengan kepala sendiri, bertanggung jawab kepada Allah, bukan kerumunan.
- Keadilan dengan kasih. Melawan ketidakadilan tidak boleh membuat kita jadi penindas baru. Keadilan sejati lahir dari belas kasih.
- Seni sebagai penyembuh. Lagu KiaiKanjeng bisa menyelamatkan hati kita. Lir-Ilir, Tombo Ati, Jalan Sunyi dll. Seperti kata-kata Pak Dawam, seni adalah terapi sosial.
Untuk para pecinta karya Cak Nun dan jamaah Maiyah:
- Dalam diri sendiri, jaga ketenangan. Jangan mudah panik, jangan mudah benci.
- Dalam keluarga dan lingkaran kecil, jadilah pendengar. Saat emosi meledak, saat saudara bertengkar, saat teman putus asa — jadilah orang yang tenang, yang membawa perspektif.
- Dalam masyarakat, lakukan aksi nyata: berbagi, menolong, menjaga.
Saya membayangkan kalau Cak Nun adalah antara kita sekarang, beliau mungkin akan menyuruh kita untuk jangan biarkan kerusuhan mencuri hati. Jangan biarkan panasnya amarah membakar kasih. Ingat, musuh itupun manusia ciptaan Allah. Kemenangan sejati bukan merobohkan orang lain, melainkan membangun kembali kemanusiaan kita. Mari sinau bareng, mari duduk bersama, mari tertawa lagi, seperti dalam karya Cak Nun “Nation of the Laughing People”.
Berjalan bersama Cak Nun di kota-kota Indonesia, di aula Belanda, di teater Australia, di komunitas Thailand, saya melihat satu hal: di mana pun beliau hadir, orang-orang pulang dengan hati lebih ringan. Mereka tidak mendapat jawaban instan, tetapi mereka belajar bertanya dengan benar.
Indonesia sudah berkali-kali berguncang, dan pasti akan berguncang lagi. Tapi yang menentukan adalah bagaimana kita berjalan di tengah guncangan. Harapan saya: di masa sulit ini, kita sebagai Jamaah Maiyah mampu membawa semangat itu. Kita tidak terseret arus kebencian, tetapi tetap membentuk lingkaran kasih. Kita tidak hanya mengingat 1998 sebagai kejatuhan, tetapi juga sebagai kebangkitan.
Saya menulis ini sebagai sahabat Cak Nun, tapi saya menutupnya sebagai sesama pejalan antara kita semua. Maiyah bukan pertunjukan; ia adalah cara hidup. Dan di masa yang sulit, ia memberi kita keberanian untuk tetap manusiawi, kebijaksanaan untuk tetap berakar, dan kegembiraan untuk terus bernyanyi. Mari kita melangkah bersama — tenang dalam badai, lembut dalam pergumulan, teguh dalam kasih.
