CakNun.com
Wedang Uwuh (65)

Menjelang Sultan Panotogomo (1)

Kedaulatan Rakyat, 13 Februari 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

“Jangan habis-habisan mengagumi seorang Kiai, sebab cucunya kelak tidak mustahil menjadi Maling. Jangan mengutuk Maling tanpa reserve, sebab cucunya kelak bisa jadi menjadi seorang Kiai…”

“Apa ini…”, Simbah kaget pada ungkapan Beruk.

“Jangan meremehkan gelandangan, tukang tambal ban atau buruh tani, sebab cucunya bisa ternyata Satrio Piningit, Imam Mahdi atau Ratu Adil. Jangan juga menyembah mati-matian orang yang kau sangka Satrio Piningit, Imam Mahdi atau Ratu Adil. Sebab boleh jadi ia sebenarnya memang hanya tukang tambal ban atau gelandangan yang blusak-blusuk saja pekerjaannya”

“Aduh, Ruk…”, Gendhon ikut tidak paham.

“Jangan dipikir Tuhan itu sama dengan Kiai, Ustadz atau Ulama, meskipun mungkin ada sebagian Kiai, Ustadz atau Ulama yang setiap ucapannya dimutlakkan seakan-akan merupakan firman Tuhan. Jangan terlalu meyakini bahwa Tuhan bersabda lewat manusia yang bukan Nabi atau Rasul. Yang absolut pasti benar hanya Tuhan sendiri serta Nabi dan Rasul yang ma’shum.”

“Kalau ada manusia saja, atau manusia biasa, yang bersabda, meskipun ia Raja, selidiki dulu apakah si manusia yang bersabda itu mengerti perbedaan entitas, strata kualitas dan formula nilai antara Raja, Ratu, Sultan, Khalifah, Ro`is, Imam dan Ro’un, berdasarkan kadar sepuhan pulung, ndaru, wangsit, wahyu Jawa, atau takaran ilham, fadhilah, ma’unah, karomah dan wahyu Qur`aniyah Ilahiyah”

“Kalau dia tidak bisa menjelaskan pemetaan itu secara tartil, maka kalau ia bersabda berarti bukan sabda. Melainkan menggunakan kata sabda untuk membungkus kepentingan kekuasaan atau rekayasa politik. Bagi orang lain yang lantip, landhep, waskita dan wicaksana, mungkin tidak perlu menyelidiki, mewawancarai atau meneliti dengan metode apapun. Cukup menatap raut mukanya, tatanan saraf yang tercermin di wajahnya, jenis sorot mripatnya, maupun keseluruhan cerminan dari tampilan kepribadiannya”

“Wah, kulakan dari mana, Ruk…”, Pèncèng tertawa.

“Nabi Daud dan Nabi Sulaiman adalah Raja terbesar, terbaik dan terbijaksana dalam sejarah manusia. Apakah mereka dipilih melalui proses demokrasi Pilpres atau Pilraj, ataukah dikategorikan sebagai contoh monarkhi? Apakah monarkhi pasti buruk dan curang, sementara demokrasi pasti baik dan jujur? Bagaimana sebenarnya melihat dan menilai kehidupan ini? Setelah era Khulafaur Rasyidin berlalu, dimulailah sistem monarkhi oleh Khalifah Muawiyah putra Abu Sufyan. Apakah jumenengan Muawiyah sama kasusnya dengan jumenengan Baginda Daud dan Sulaiman?”

“Muawiyah merasa memiliki hak interpretasi atas Qur`an, sehingga ia mengumumkan Sabda Raja bahwa ia adalah Khalifah Allah. Dan karena Khalifah Allah-lah maka ia bikin Sabda Raja. Apakah di mata Allah dan mata rakyat yang nitèni cara pandang Allah, kekhalifahan Muawiyah itu legal, sebagaimana Raja Semut, Raja Rimba, Raja Daud dan Sulaiman? Meskipun itu dilegalisir oleh Mahkamah Interpretasi Kenegaraan?”

Lama-lama, setelah mendengar ungkapan Beruk dan dia endapkan baik-baik, diam-diam akhirnya Simbah sungguh bangga pada anak-anak muda sahabatnya, dan sangat menikmati pantulan pengalaman-pengalaman mereka. Pèncèng kemarin mengagumkan refleksinya dari jagat teater. Sekarang Beruk bikin simbah makin “panik”:

“Benar-benar tidak gampang bagi manusia untuk bertumbuh menjadi dewasa, sehingga siap mendengar sesuatu, siap mempelajari sejarah, siap mengembarai betapa luasnya fenomena-fenomena kehidupan yang berasal dari misteri kebenaran Allah”, kata Beruk ngomyang lagi, “usia tua tidak sama dengan menjadi dewasa, sekolah tinggi tidak menjamin kematangan hidup, bahkan mungkin yang disebut kealiman atau kesalehan juga tidak dengan sendirinya merupakan tanda kedewasaan manusia”

“Ndak apa-apa teruskan, Ruk?”, kata Simbah.

“Kalau secara ruang, ada manusia bilik, ada manusia rumah, ada manusia kampung, ada manusia negeri, ada manusia dunia, ada manusia alam semesta, dan ada manusia cakrawala. Setiap ukuran itu berbanding sejajar dengan tingkat kedewasaannya”

“Ada manusia se-nyari, se-kilan, se-depa, se-watang, ada juga manusia yang memanjang jangkauannya hingga ke cakrawala. Setiap jarak jangkauan itu mencerminkan takaran kedewasaan hidupnya”

“Kalau secara waktu, ada jenis manusia yang berpikir hanya sekarang, ada yang sampai nanti, besok, bulan depan, tahun depan, dekade mendatang, hingga jauh ke remang-remang masa depan. Setiap capaian itu memantulkan level kedewasaan seseorang”

“Manusia selalu berada dalam kebingungan. Belajarlah sejarah sampai jangkauan kurun peradaban yang sejauh-jauhnya, supaya engkau berkembang dewasa. Atau: kalau kau belum punya kedewasaan berpikir, belum punya kematangan mental dan kebijaksanaan sikap, jangan membaca sejarah. Yang mana yang benar? Belajarlah sejarah, ataukah jangan belajar sejarah?”.

Lainnya

Dewan Sesepuh Desa

Dewan Sesepuh Desa

Terdapat dua destruksi sosial yang sangat menggelisahkan di kampung tempat tinggal Simbah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version