CakNun.com
Wedang Uwuh (68)

Peradaban Plintheng

Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Kata Beruk, kalau dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam sejarah jauh di masa silam, perilaku kekuasaan dan penguasa-penguasa yang kita alami di zaman Now ini–tidaklah ber-kaliber. Kita semua ini ècèk-ècèk. Maaf-maaf, remeh dan picisan. Manusia dalam sejarah dunia sudah sampai pada Rudal, kita merosot jadi plintheng.

Banyak penguasa yang niat dan perilakunya kejam, tapi tidak berani tampil kejam, sehingga selalu butuh pabrik topeng. Sangat berambisi untuk duduk di kursi kekuasaan, tapi prosedur yang ditempuh, tahap pertama adalah memanipulasi dirinya di depan rakyat. Tahap berikutnya mencari bandar untuk punya sangu menawarkan diri kepada kendaraan pengusung kekuasaan. Mengemis dan menipu untuk menjadi pemimpin, merengek-rengek untuk menjadi Imam sembahyang.

Begitu remeh dan tidak berkalibernya kita semua ini, tetapi kelau kepada Tuhan kemendel-nya bukan main. Sebenarnya mungkin tak ada gagasan tentang Tuhan di kepala kita. Kita pikir hidup ini picisan, mampir ngombe sedèlèt, dan tidak terangkut ke keabadian waktu di mana mulai di kuburan kita sudah mulai mempertanggungjawabkan perilaku kita.

Tak usah Nabi Muhammad bersabda “Jangan minta-minta jadi pemimpin, sebab itu membuat Allah tidak berurusan denganmu”. Sebenarnya pakai common sense, pakai nalar angkringan saja kita mestinya mengerti juntrungan masalah yang menimpa kita, dari apa yang dimaksud oleh Nabi Muhammad. Kebanyakan kita benar-benar semakin terlepas dari penemu tentang dununging urip, tentang sangkan paraning dumadi lan titah.

Beruk kemudian malah mengkritik saya. “Kita pengecut, termasuk Simbah ini”, katanya, “mestinya berontak, tapi berlagak arif, ngakunya nyegoro… Berapa kali Yogya akan bisa menjadi karang abang, gara-gara sejumlah tamu yang nranyak dan munafik, tapi Simbah menghalangi, berlagak bijaksana dengan menjadi komandan damkar...”

Sekaliber Ken Arok saja tak ada. Tidak ada Empu Gandring, Anusapati, Tohjoyo dan berikut-berikutnya. Atau tak ada perebutan kekuasaan yang adu arep dengan kejantanan. Tidak ada Ki Surayata yang jumatan bareng dulu kemudian membunuh Raden Kikin. Atau Rangkud yang nyloring masuk bilik pribadi Raden Mukmin Sunan Prawoto untuk membalaskan dendam. Apalagi duel frontal sebagaimana Penangsang dengan Jebeng Sutawijaya…

“Lho, gimana sih Ruk”, saya menyela, “di zaman modern dengan Negara berdasarkan hukum ini kamu inginnya ada bunuh-membunuh dan balas berbalas dendam seperti itu?”

Beruk tersenyum kecut. “Bukan begitu, Mbah”, jawabnya, “saya ini sedang menimbang-nimbang analisis dan kalkulasi, bangsa kita sekarang ini apakah sudah lebih beradab ataukah sebenarnya pengecut…”

“Pengecut gimana?”

Beruk bercerita. Katanya dulu Kerajaan Demak bikin 1.000 kapal yang masing-masing bisa diisi 400 prajurit. Tidak bisa mencapai seperti kekuatan Maritim Majapahit, tetapi lumayan. Tapi kemudian di tengah laut sering kalah ketika diserang oleh kapal-kapal perampok dari Eropa. Bukan kalah kekuatan dan maintenance, melainkan kalah karena landasan budaya kejantanan dan moralnya. Para perampok tidak dep-depan untuk bertempur, melainkan lempar dari jauh, pakai meriam.

Anak-anak kecil yang berkelahi bawa batu untuk melempar dari jauh, adalah pengecut. Tidak ksatria. Tidak punya jiwa keperwiraan. Dan prajurit Demak dipaksa untuk tidak bersikap ksatria demi supaya tidak dilindas oleh perampok-perampok. Akhirnya kalah juga karena “teknologi plintheng”-nya sudah keduluan musuh. Bahkan kemudian datang kawanan prampok lain dari Barat yang meringkus Kerajaan-kerajaan untuk diajak kerjasama menjajah rakyat Nusantara.

Kata Beruk, sampai sekarang bangsa ini belum terlepas dari penjajahan. Karena teknologi lempar, budaya plintheng, politik ketapèl berkembang pesat di Barat. Sampai advanced tidak hanya rudal dan peralatan-peralatan perang fisik. Tapi sudah sampai pada jenis penjajahan yang jauh lebih canggih: melalui plintheng informasi, IT, medmas dan medsos, lembaga-lembaga pendidikan, infiltrasi intelektual, pengikisan spiritual, manipulasi bahan-bahan sejarah.

Akhirnya kita semua sempurna menjadi pengecut, dan menutupi kepengecutan itu dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version