Macak Alim
“Mbah, saya melihat ada dua gelombang besar yang sedang mengarus deras di Negeri ini. Pertama, meningkatnya gelombang kesabaran, kearifan dan ketahanan hidup yang luar biasa di kalangan masyarakat bawah. Pada saat yang sama di kelas atasnya, yakni wilayah menengah dan elit, berlangsung arus kerakusan yang sangat berlebihan untuk berkuasa, keserakahan terhadap materialisme dan hedonisme, yang berakibat tergerogotinya makna nasionalisme, dimanipulasinya demokrasi, bahkan hampir bisa dikatakan membatalkan hakikat Negara…”
Ternyata Beruk tidak begitu saja berhenti, meskipun sudah saya cekal. Entah apa dan akan panjang tampaknya yang ia akan beberkan. Tidak mungkin saya menutup kebebasan ekspresi sampai 100 persen. Paling tidak ada lubang kecil 1 persen. Dan Beruk seperti Maling Cluring tetap bisa “nggangsir” lubang 1 persen itu.
Saya belum tahu akan bangga oleh itu, ataukah menyiapkan kewaspadaan dan sikap kritis terhadap paparannya. Sementara saya hanya berpikir untuk nyegoro menampung pikirannya, serta sedikit bergembira melihat anak muda aktif berpikir.
“Sedikit-sedikit saya juga mempelajari apa yang berlangsung di dunia yang lebih luas”, ia melanjutkan, “sementara saya memperoleh pengetahuan bahwa tidak ada Negara-negara lain di muka bumi ini yang rakyatnya tangguh luar biasa sebagaimana rakyat Negeri ini. Serta belum juga saya rasakan bahwa di Negara manapun kelas kaum pintarnya yang se-maniak di Negeri ini perilaku kalapnya terhadap kekuasaan”
“Kamu yakin itu, Ruk?”, saya bertanya.
“Ini bukan soal keyakinan, Mbah”, jawabnya, “Ini soal informasi, pengalaman dan persepsi”
“Asal tidak karena kamu trauma atau benci terhadap suatu golongan…”
“O mana mungkin Mbah. Saya tidak ada persentuhan dengan kepentingan atas apapun dan siapapun. Kepada Simbah kan saya sudah belajar lama untuk tetap jernih ketika mencintai, dan waspada terhadap potensi kebencian dengan bekal objektivitas”
“Mudah-mudahan, Ruk”
“Cuma terus terang saya agak kecewa. Begitu serakahnya orang terhadap kekuasaan, tetapi tidak pernah berani benar-benar tampil sebagai penguasa…”
“Bagaimana maksudmu?”
“Kalau ada yang berkuasa, andalannya bersolek, brai, macak gagah, macak alim, macak sederhana, macak merakyat. Sekedar macak, tidak benar-benar gagah, apik, sederhana dan merakyat. Dan rakyatnya lebih tidak berkaliber lagi, sebab cukup ditipudaya dengan pasal-pasal bawah standar buku tipu daya. Kita adalah cucu-cucu Garuda yang terlalu mudah dirayu, gumunan, kagetan, gamoh, methèl, mudah prithil secara intelektual, mental, kultural apalagi spiritual…”
Saya biarkan Beruk ngomyang. Toh hanya saya bersama Gendhon dan Pèncèng audiens-nya. Tidak ada wartawan, dan dua temannya itu tidak dolanan Medsos juga. Apalagi saya yang Old tua renta ini. Kesarjanaan hidup saya sudah berhenti pada mesin ketik sekian puluh tahun yang lalu. Biarkan saja Beruk nglindur.
“Dengan kadar yang berbeda-beda, kita semua ini tak terasa menjadi bermental plerat-pleret. Ingah-ingih. Kita dihinggapi kecenderungan untuk mentang-mentang, tapi malu-malu dholim”, Beruk tertawa, “Eh, malu-malu kucing maksud saya…tapi malu-malu dholim kayaknya mèmper juga…”
Nafsu adidang adigung adiguna semakin merajalela dalam mental kita, tapi aplikasinya ingah-ingih. Kita sok hebat, tapi tidak percaya diri. Ucapan-ucapannya tampak gagah tapi sebenarnya slinthat-slinthut. Kita berlagak arif, hingga naif. Kita suka akting bijaksana, tapi tidak waskita. Setiap kita mengucapkan sesuatu, ada rasa GR dalam diri kita bahwa itu pasti benar. Pendapat dan pilihan kita pasti benar, sehingga tanpa sadar kita memposisikan diri seperti Tuhan yang sabda-Nya can do no wrong. Kita sangat bernafsu untuk berkuasa, minimal mengemis untuk ikut berkuasa. Untuk itu kita tak keberatan untuk jual martabat diri. Rasanya di zaman Now ini sudah tidak ada konsep tentang martabat, marwah, muru`ah, harga diri. Dulu nenek moyang kita sekti tanpa aji, sekarang kita tidak punya aji sehingga tidak sakti…”
“Wah kok ngamuk kamu Ruk…”, saya nyeletuk.