CakNun.com

Di Bawah Merah Putih

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit
Foto oleh Anggit Rizkianto dari Unsplash.

Di bawah merah putih yang berkibar, saya sering merasa ini bukan sekadar kain dua warna. Ia seperti doa panjang yang ditulis dengan darah dan air mata. Tapi apakah kita masih sanggup membaca doa itu, atau sekadar melihatnya sebagai dekorasi upacara?

Kemerdekaan bukan hadiah, bukan pula perayaan tahunan. Ia janji kosmik antara leluhur dan anak cucu. Para pejuang tidak sekadar mati di medan perang — mereka pulang ke keabadian untuk menitipkan pertanyaan: “Apakah kalian masih setia pada janji kami?”

Indonesia bukan hanya nama negara, ia rumah jiwa. Tanah air ini bukan sekadar bumi dan batas administrasi, tapi ruang batin yang dihuni doa ibu-ibu di ladang, kidung di surau, dan napas para petani yang terus setia membajak sawah meski panennya sering tak menentu. Maka, ketika kita bicara demokrasi, sejatinya kita sedang bicara: apakah kita masih mampu mendengar suara yang paling lirih — suara kaum yang tak punya pengeras suara.

Namun kita ini memang bangsa yang lucu. Kita bangga dengan slogan “NKRI harga mati”, tapi sering lupa kalau harga sembako bikin rakyat mati duluan. Kita mengagungkan persatuan, tapi masih gampang marah hanya karena beda pilihan politik. Kita mencintai Indonesia, tapi kadang seperti mencintai bayangan sendiri: narsistik, penuh puja-puji pada diri, bukan tulus menjaga sesama.

Merdeka itu bukan cuma bebas dari penjajah asing. Merdeka itu bebas dari belenggu dalam diri: rakus, dengki, ego yang merasa paling benar. Kalau masih terikat itu semua, kita hanya merdeka di kertas, tapi tidak merdeka di hati.

Maka tugas kita sekarang bukan hanya menjaga tanah, tapi juga menjaga langit jiwa kita. Agar merah putih bukan sekadar bendera, melainkan cahaya yang menuntun kita pulang: keadilan, kasih sayang, kemanusiaan.

Namun, mari kita jujur: di lapangan sehari-hari, Indonesia ini kadang terasa seperti sandiwara besar. Demokrasi kita seperti pasar malam: ada panggung musik, ada badut, ada undian berhadiah. Rakyat antre beli tiket, tapi yang dapat hadiah selalu orang dalam. Kalau rakyat protes, dibilang merusak pesta.

Indonesia memang rumah bersama. Tapi jujur saja, modelnya mirip rumah kontrakan. Ada yang ngontrak kamar besar dengan fasilitas Netflix, ada yang kebagian pojokan dekat tungku. Kalau listrik padam, yang gelap cuma dapur. Yang kamar besar tetap terang, karena punya genset pribadi.

Merdeka dari kebodohan? Lho, sekarang malah ada industri besar yang hidup dari kebodohan massal. Namanya konten receh. Rating tinggi, iklan deras, rakyat makin candu. Merdeka dari kemiskinan? Ah, yang miskin makin miskin, yang kaya sibuk mencari cara supaya kemiskinannya nggak kelihatan.

Selama merah putih berkibar, kita masih bisa harap. Tapi jangan lupa: bendera itu berkibar bukan hanya karena angin, tapi karena rakyat terus meniup dengan napasnya yang ngos-ngosan. Kalau rakyat berhenti meniup, bendera bisa turun sendiri.

Indonesia katanya mau terus berlayar. Tapi kalau nakhodanya sibuk selfie di anjungan, anak buahnya rebutan jatah makan, sementara kapal bocor di mana-mana — ya jangan salahkan kalau nanti kapal tenggelam jadi trending topic.

Dan pada akhirnya, kita akan sadar: merah putih itu bukan sekadar simbol kebanggaan. Ia juga cermin: apakah kita betul-betul bangsa merdeka, atau sekadar penumpang kapal yang sibuk tepuk tangan — sementara kapal perlahan karam, pelan-pelan, diam-diam, tapi pasti.

Ya Allah, Engkau yang menanamkan merah putih di dada kami,
jangan biarkan kami hanya pandai mengibarkan kainnya,
tapi lupa menjaga makna yang Kau titipkan di dalamnya.

Engkau yang menyaksikan darah para syuhada bangsa ini, jangan biarkan pengorbanan mereka dikurangi nilainya oleh tikus-tikus yang menggerogoti lumbung rakyat.

Ya Allah, ajari kami merdeka yang sejati: merdeka dari keserakahan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari rasa ingin menguasai sesama.
Kalau negeri ini adalah kapal, jadikan kami awak yang jujur, bukan penumpang gelap, bukan pencuri bahan bakar.

Kalau negeri ini adalah rumah, jadikan kami keluarga yang rukun, bukan penghuni egois yang sibuk mengunci kamarnya sendiri.

Dan kalau negeri ini adalah doa, ajari kami menyebut nama-Mu bukan hanya di bibir, tapi juga di sawah, di pasar, di jalan, di kantor, di ruang-ruang sunyi hati.

Ya Allah, ampuni kami yang sering berteriak “NKRI harga mati”
tapi masih tega membiarkan tetangga mati kelaparan.
Ampuni kami yang rajin mengutip Pancasila, tapi sering lupa sila pertama: Engkau.

Berkatilah negeri ini, agar keadilan tidak hanya jadi janji, agar kemakmuran tidak hanya jadi iklan, agar kedaulatan tidak hanya jadi jargon. Dan bila kami tergelincir lagi, ingatkan kami dengan cara-Mu yang lembut, agar merah putih tak hanya berkibar di tiang, tapi juga di hati kami yang paling dalam.[]

Nitiprayan, 17 Agustus 2025

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version