Ayat Perubahan, Sinau Bareng, dan Ruang Berkumpulnya Cahaya

Beberapa tahun lalu ketika Pengajian Padhangmbulan, Mbah Nun menegaskan bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah Swt. Namun, selalu terbesit dalam benak kita pertanyaan: bagaimana kita dapat melakukan sinkronisasi arus perubahan agar selaras dengan yang dijalankan Allah Swt? Bagaimana dialektika itu terjadi sedangkan pada saat yang sama Allah melibatkan manusia dalam setiap dinamika perubahan?
Untuk itu kita bisa mencermati ayat: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d: 11). Pada ayat ini kita membaca teologi perubahan bekerja ketika “kehendak manusia” dan Kehendak Allah saling menyapa dan bertemu dalam satu ruang kesadaran.
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan bermula dan diawali dari dalam diri manusia. Yang pertama kali harus disentuh adalah “mā bi anfusihim”—apa yang ada di dalam jiwa kita: niat, cara pandang, nilai, kesadaran, dan orientasi batin.
Allah tidak menyatakan, “Aku tidak mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah sistemnya,” melainkan “mengubah apa yang ada di dalam jiwa mereka.”
Artinya, sistem (ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya) adalah pantulan luar dari kondisi batin manusia. Jika jiwa manusia berubah, diubah, atau mengalami perubahan, maka sistem yang mereka bangun pun akan berubah sebagai dampak atas perubahan internal jiwa mereka. Perubahan itu akan berlangsung secara organik dan berakar.
Dua “Mā”: Timbal Balik Perubahan
Sekarang, mari kita perhatikan: ada dua “mā” dalam ayat ini. Mā pertama (mā bi qawmin) menggambarkan manifestasi luar—sistem, budaya, dan keadaan sosial politik ekonomi. Mā kedua (mā bi anfusihim) menunjuk pada akar dalam jiwa suatu kaum—kesadaran, jiwa, nilai, dan niat manusia.
Allah tidak akan mengubah nasib sosial (mā bi qawmin) suatu kaum sampai mereka mengubah nilai-nilai batin (mā bi anfusihim) yang menopangnya. Dengan kata lain, yang diubah Allah adalah cerminan luar (mā bi qawmin’), tapi kuncinya ada pada batin (‘mā bi anfusihim’).
Dengan demikian, Al-Qur’an menempatkan perubahan batin manusia—transformasi kesadaran—sebagai fondasi kausal dari setiap perubahan sosial atau reformasi sistem dan struktur. Dua “mā” menunjukkan hukum timbal balik (resiprokal) antara perubahan lahir sebagai bayangan dari perubahan batin.
Dalam pandangan Al-Quran, anfusihim bukan hanya “jiwa” dalam arti psikologis, melainkan pusat energi kesadaran manusia—tempat bertemunya niat, makna, dan nilai. Ketika seseorang mengubah dirinya dari ego menuju kesadaran tauhid, ia melepaskan energi rohani yang sangat besar. Al-Qur’an menyebut energi ini sebagai nur (cahaya) (Q.S. An Nur: 35).
Ruang Berkumpulnya Cahaya
Pada konteks ini kita menemukan makna Sinau Bareng sebagai majelis ilmu yang menyediakan ruang bagi transformasi kesadaran kita bersama. Mbah Nun sebagai manusia yang jernih hatinya, lapang pikirannya, dan lurus niatnya, menebar iklim batin kepada jamaah. Yang terjadi selanjutnya adalah emotional contagion (penularan emosional), atau tajalli al-nur (pantulan cahaya batin).
Dapat dibayangkan bagaimana Sinau Bareng menjadi ruang berkumpulnya nur (cahaya) yang dipancarkan oleh setiap individu (jamaah) sebagai dampak pencerahan dan perubahan yang berlangsung pada level mā bi anfusihim. Perubahan pada level ini tidak hanya berlangsung secara mental atau moral, tetapi bersifat vibrasional—ia mengubah frekuensi batin seseorang. Maka, setiap perubahan diri adalah pancaran energi yang menembus batas antar individu dan menata ulang ruang sosial di sekitarnya. Al-mutahabbuna fillah adalah indikator nyata nur yang bekerja dalam diri setiap jamaah.
Ketika seseorang mengubah niat dan kesadarannya, medan energi batinnya turut berubah. Ia menebarkan thuma’nīnah (ketenangan), rahmah (kasih), dan hikmah (kearifan). Dampaknya, tercipta realitas psikososial yang bisa dirasakan: orang jujur menciptakan kepercayaan, orang sabar menciptakan keteduhan, orang arif menciptakan keindahan. Energi batin ini menular dan menumbuhkan resonansi sosial yang positif.
Jadi, mari tidak berkecil hati menghadapi raksasa sistem yang sudah sangat mapan. Setiap perubahan di dalam diri—sekecil apa pun—menciptakan getaran yang menjalar ke dunia luar sesuai kadar kesadaran itu. Perubahan sekecil apa pun tidak pernah nihil efeknya, sebab Allah sendiri menjadikan semesta sebagai cermin yang responsif terhadap gerak batin manusia.
Jadi, yang selalu harus dijaga dan dipertahankan setiap pasca-sinau bareng adalah komitmen kejujuran, kesabaran, dan cinta agar perilaku kita menjadi ayat yang dibaca orang lain. Ini yang dilakukan para nabi: mereka tidak hanya berkata, tetapi menjadi tanda dari apa yang mereka sampaikan.
Piagam Madinah: Sinkronisasi Spiritual-Struktural
Ketika nilai-nilai baru (amanah, cinta, dan kebijaksanaan) hidup dalam individu, ia mulai mengoperasionalkan nilai itu dalam tindakan sosial. Ketika kesadaran batin kolektif (values, worldview, atau moral imagination) ikut berubah, ia menciptakan dorongan internal untuk memperbarui struktur eksternal—seperti kebijakan publik, undang-undang, sistem pendidikan, dan relasi sosial. Dengan kata lain, perubahan mā biqoumin adalah artikulasi sosial dari perubahan mā bianfusihim.
Kita bisa mengambil contoh dalam sejarah masyarakat di Madinah. Perubahan yang terjadi pada individu (iman, akhlak, kesadaran tauhid) tidak otomatis mengubah struktur sosial—tetapi mendorong mereka untuk membentuk konstitusi sosial, sistem keadilan, dan kebijakan publik yang mencerminkan nilai-nilai baru. Hal itu lantas dituangkan dalam Piagam Madinah. Jadi, perubahan “dalam” dan “luar” harus berjalan beriringan. Kita menyebutnya sinkronisasi spiritual-struktural.
Kesadaran baru tidak serta-merta melahirkan kebijakan baru, karena dunia sosial diatur oleh kekuatan, kepentingan, dan struktur yang sangat mapan. Kendati demikian nilai kebenaran yang hidup di hati seseorang tetap memerlukan gerak sosial dan perjuangan etis untuk menembus sistem yang mapan.
Maka, ayat ini tidak mengajak kita menunggu perubahan datang setelah hati manusia berubah, melainkan mendorong kita menjadikan perubahan batin sebagai dasar moral untuk mengubah sistem secara sadar. Perubahan struktural tanpa fondasi batin cenderung rapuh dan penuh manipulasi (ingat Reformasi 1998); tetapi perubahan batin tanpa tindakan struktural cenderung mandek dalam idealisme yang tidak membumi.
Dengan demikian, mengubah kebijakan publik, struktur sosial, atau sistem yang lebih kompleks adalah bagian sah dari upaya mengubah “maa bi anfusihim”—sejauh itu merupakan pancaran nilai spiritual yang telah hidup di dalam diri dan ruang kesadaran suatu kaum.
Jombang, 11 November 2025
