CakNun.com

72 Tahun: Merefleksi

Sigit Skysufa
Waktu baca ± 3 menit
72 tahun tak hanya angka. Ia adalah ruang waktu yang menyimpan jejak seorang manusia yang memilih menyala, bukan hanya menyulut. Yang memberi, bukan sekadar mengajar. Yang berdiri teguh, meski sunyi. Yang menanam benih nilai, bukan untuk dipetik cepat-cepat, tapi untuk diwarisi dalam waktu panjang.

Adalah karunia besar bagi kita — menyaksikan, menimba, bahkan ikut berjalan — dalam jejak seorang yang menyalakan hidupnya sebagai lentera. Yang menunjukkan bahwa kata bisa menggugah, laku bisa menghidupkan, dan kesetiaan bisa diwujudkan tanpa harus mengikat siapa pun.

Selamat ulang tahun ke-72, Cak Nun..Mbah Nun, kita semua memanjatkan doa: Semoga Allah melimpahkan kesembuhan, kekuatan, dan kedamaian kepada beliau. Agar cahaya yang telah beliau nyalakan terus memberi arah bagi banyak jiwa — termasuk kita di sini.

Kita, di tempat kecil ini, telah lama mencoba berjalan. Membaca, mendengar, melantunkan, berkumpul. Ada cinta. Ada upaya. Ada kesetiaan dalam bentuk-bentuk yang kita bisa. Ada tawa, ada keharuan, ada kerja yang tak selalu mudah. Apa yang telah dilakukan bukan hal sepele. Ia lahir dari kerinduan untuk ikut menyalakan cahaya itu. Dan semua itu patut disyukuri.

Namun justru karena kita mencintai perjalanan ini, mungkin kita perlu bertanya lebih jujur pada diri sendiri: Sudahkah kita bertumbuh, atau sekadar bergerak? Apakah kata-kata yang kita bacakan benar-benar sudah mengakar di hati? Apakah pertemuan demi pertemuan membawa kedalaman, atau justru hanya pengulangan?

Kita ingin dekat pada kedalaman, tapi kadang terjebak dalam rutinitas yang nyaman tapi mandek. Kita mengucap kata-kata indah, tapi belum tentu menghidupinya. Bahkan untuk membaca saja kadang malas. Apalagi menulis. Teknologi yang bisa menjadi sarana belajar, bahkan mungkin penguat jaringan dan penghidupan, sering kali kita hindari. Diskusi yang bisa menumbuhkan, kadang dianggap membebani.

Yang muncul malah perdebatan lama: tentang diskusi atau tandang — berulang lagi, seperti tak selesai-selesai. Ego kita masih menyelinap, walau samar, dalam keputusan dan percakapan. Kadang kita begitu ingin maju, tapi tak tahu dari mana mulai. Yang aktif hanya segelintir. Yang lain seperti bingung harus bagaimana.

Sementara jumlah kita… ya, kadang banyak, kadang sedikit. Bahkan mungkin semakin berkurang. Ada semangat, tapi sering menguap. Ada ide, tapi lenyap sebelum menjadi gerakan. Ada harapan, tapi tak menjelma jalan. Dan kita masih di sini — dengan masalah yang tak jauh beda: pekerjaan, kepercayaan diri, rasa buntu, rasa tidak cukup.

Padahal di hadapan kita ada teladan — yang hidup dengan disiplin, menggali tiap makna, menulis dengan kesungguhan, yang tetap berdiri meski sendiri, yang menunjukkan bahwa idealisme bukan untuk dipajang, tapi dijalani.

Maka ulang tahun ini bukan hanya selebrasi. Ia adalah jeda yang menyadarkan, cermin yang menyingkapkan, undangan untuk menata ulang cara kita berjalan.

Karena setia bukan hanya soal hadir. Ia adalah keberanian untuk berubah. Untuk belajar lebih giat. Untuk jujur melihat kekurangan. Untuk tidak puas dengan pengulangan. Untuk tidak berhenti hanya karena “sudah biasa begini”. Untuk tidak takut mencoba cara-cara baru — selama ruhnya tetap dijaga.

Kita ingin berjalan lebih utuh. Dengan lebih banyak belajar. Lebih berani berdiskusi. Lebih berani tandang. Lebih terbuka terhadap kebaruan, tanpa meninggalkan akar.

Mari kita rayakan usia 72 tahun ini bukan hanya dengan puisi dan munajat, tetapi juga dengan keberanian untuk jujur pada diri sendiri: apa yang ingin kita warisi, dan apa yang harus kita perbarui?

Karena warisan sejati tak cukup hanya dikenang. Ia perlu dijaga dengan kesungguhan, dihidupi dengan ketekunan, dan dilanjutkan dengan cara-cara yang terus diperbarui — agar cahaya tetap menyala, bukan hanya terpantul.

Setelah ini, bagaimana kita ingin berjalan bersama? [Sigit Skysufa]

Magelang, 27 Mei 2025

Lainnya

Exit mobile version