CakNun.com

Membeli Gengsi

Bagian ke-2 Materialisasi Pendidikan
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit
Photo by Bayu Syaits on Unsplash

Salah satu tragedi terbesar zaman ini adalah ketika pendidikan tidak lagi berdiri di atas cita-cita kemanusiaan, tetapi di atas logika pasar.

Jika dahulu pendidikan dimaknai sebagai ruang pembebasan, kini ia menjadi arena kompetisi sosial, tempat orang tua membeli rasa aman, dan anak-anak tumbuh dalam dunia yang dikonstruksi oleh bubble privilege yang nyaris terpisah dari realitas mayoritas bangsanya.

Akar dari perubahan ini bukan semata kesalahan individu, melainkan bagian dari kerja ideologi besar yang telah lama menguasai cara kita berpikir: neoliberalisme.

Neoliberalisme percaya bahwa pasar adalah penentu terbaik bagi segalanya — lebih efisien daripada negara, lebih rasional daripada kebijakan publik.

Dalam pandangan neoliberalisme, setiap individu dianggap bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Jika gagal, itu salah ente pribadi, bukan kegagalan sistem. Akibatnya, semua aspek kehidupan — termasuk pendidikan — dikomodifikasi.

Sekolah tidak lagi dipahami sebagai hak warga negara, tetapi sebagai barang yang bisa dibeli. “Anda memperoleh layanan sesuai harga yang Anda bayar,” demikian semboyan tak tertulis yang kini meresap dalam kesadaran kita.

Masuknya neoliberalisme dalam ruang pendidikan berlangsung perlahan tapi pasti. Pada awalnya, negara — atas tekanan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF — diminta mengurangi peran dan subsidinya atas nama efisiensi. Sekolah-sekolah publik mulai kekurangan dana, sementara sekolah swasta bermunculan dengan janji “standar internasional”, “sekolah unggulan”, “sekolah para juara.”

Orang kaya pun keluar dari sistem publik. Mereka membangun dunia pendidikan sendiri, terpisah dari mayoritas rakyat. Perlahan, sekolah negeri kehilangan perhatian, bukan karena tidak penting, tapi diseret keluar gelanggang. Ketika itu terjadi, pendidikan berhenti menjadi urusan bersama dan berubah menjadi urusan pribadi.

Kini, hegemoni logika pasar sudah mencengkeram begitu kuat. Pendidikan bukan lagi hak, tapi investasi. Orang tua “menanam modal” untuk anak mereka dengan harapan akan mendapatkan “return” berupa pekerjaan bergaji tinggi di masa depan.

Pertanyaan publik pun bergeser: bukan lagi “Mengapa negara tidak menjamin pendidikan yang layak untuk semua?”, melainkan: “Bagaimana saya mampu membayar sekolah terbaik untuk anak saya?”.

Di sinilah kita melihat bagaimana neoliberalisme bekerja secara halus — tidak dengan paksaan, tapi dengan membentuk cara kita berpikir. Mas Sabrang menyebutnya sebagai perang persepsi. Masyarakat tidak lagi kritis terhadap ketimpangan sistem, melainkan sibuk menyesuaikan diri dengannya.

Di sisi psikologis, ideologi ini melahirkan status anxiety — kecemasan sosial tentang posisi seseorang di tangga kehidupan. Orang tua kelas menengah rela berutang, bekerja lembur, bahkan menunda kebahagiaan pribadi demi menyekolahkan anak di sekolah berbayar mahal.

Mengapa? Karena di dalam benak mereka tertanam ketakutan mobilitas sosial mereka bisa menurun. Mereka takut anaknya jatuh kelas, takut terlihat “tidak sukses” dibandingkan teman-teman sebayanya. Sekolah mahal kemudian dipersepsikan bukan sekadar tempat belajar, tetapi tiket untuk mempertahankan status sosial.

Tekanan sosial juga memperkuat ilusi ini. Di lingkungan kelas menengah-atas, muncul norma tidak tertulis: orang tua yang baik harus menyekolahkan anaknya di sekolah “yang mahal”. Jika tidak, mereka dianggap gagal.

Maka, pilihan sekolah anak berubah menjadi simbol keluarga — bukan lagi ruang pendidikan. Sekolah menjadi cermin identitas. Orang tua tidak lagi membayar layanan pendidikan, tetapi membeli gengsi: gengsi menjadi “keluarga sukses”, gengsi menjadi bagian dari lingkaran sosial tertentu. Dan sekolah berbayar mahal paham betul logika ini. Selain mengajarkan ilmu, mereka juga menjual tiga hal: janji mobilitas sosial, akses ke jaringan elite, dan simbol status.

Janji mobilitas dinyatakan dengan: “Lulusan kami diterima di sekolah favorit atau perguruan tinggi ternama.” Akses ke jaringan elite: “Teman-teman sekelas anak saya adalah anak pejabat, pengusaha kaya, dan profesional sukses.” Dan mengapa saya memilih sekolah ini? “Menyekolahkan anak di sini menunjukkan bahwa saya adalah keluarga yang berhasil dan mampu.”

Tidak mengherankan jika sekolah-sekolah semacam itu berlomba-lomba membangun gedung megah dan menyediakan fasilitas layaknya hotel bintang lima yang membuat kagum siapa pun yang berkunjung.

Menurut ekonomi simbolik, kemewahan adalah bukti kualitas. Orang tua yang melihat ruang kelas ber-AC dan kolam renang berstandar internasional langsung merasa yakin: “Ini pasti berkualitas karena biayanya mahal.”

Bagaimana psikologi konsumen itu bekerja? Pertama, heuristic of price: konsumen cenderung percaya bahwa mahal sama dengan berkualitas. Jika sekolah terlihat mewah, orang tua percaya pendidikan di sana pasti bagus. Mahal dianggap identik dengan bermutu.

Kedua, symbolic consumption: membeli pendidikan mahal bukan sekadar membeli jasa, tetapi membeli “rasa identitas” — identitas sebagai orang tua yang sukses, keluarga yang elite, anak yang “punya masa depan cerah”.

Ketiga, social proof: ketika orang kaya menyekolahkan anak di sana dengan persepsi bahwa sekolah itu memang “terbaik” — padahal bisa jadi mereka terjebak oleh dua logika di atas.

Semua kenyataan itu menggoreskan ironi. Sejarah pendidikan besar justru lahir dari kesederhanaan. Socrates mengajar di jalan-jalan Athena. Confucius berkeliling dari desa ke desa. Al-Ghazali menulis karya agungnya di ruang sunyi. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan semangat kerakyatan.

Mereka semua memahami bahwa inti pendidikan bukanlah fasilitas, tetapi relasi manusiawi yang menumbuhkan kesadaran dan membentuk karakter. Namun, sistem kapitalistik telah menjungkir balikkan segalanya. Kesederhanaan dianggap tanda kemiskinan, dan kemewahan dijadikan bukti keberhasilan.

Maka, pertanyaan penting yang perlu kita ajukan adalah: apa sebenarnya yang sedang kita kejar ketika berbicara tentang pendidikan?

Bagi pengelola sekolah mahal, mungkin jawabannya adalah profit dan reputasi. Bagi orang tua, mungkin status sosial, jaringan elite, dan jaminan posisi anak di masa depan. Dan bagi anak? Sering kali mereka bahkan tidak tahu jawabannya. Anak-anak hanya menjalankan skenario hidup yang ditulis oleh sistem dan ambisi orang tua.

Kita juga perlu jujur mengakui adanya aliansi antara sekolah berbayar mahal dengan kekuasaan dan modal. Mereka dekat dengan korporasi, politisi, bahkan dengan media. Anak-anak dari kalangan elite tumbuh dalam jaringan yang sama, bersekolah di tempat yang sama, lalu saat dewasa saling memberi peluang kerja di lingkaran yang sama. Sirkuit kekuasaan ini terus berputar, memperkuat dominasi dan menutup peluang bagi mereka yang berada di luar lingkaran.

Dan pada akhirnya, kita sampai pada inti persoalan: pendidikan telah disubordinasikan pada kepentingan ekonomi dan status sosial. Substansi dikorbankan demi simbol, keadilan digantikan oleh gengsi, dan hak bersama direduksi menjadi komoditas individual.

Ketika pendidikan kehilangan orientasi humanistisnya, ia berhenti menjadi alat pembebasan dan berubah menjadi alat reproduksi ketimpangan. Inilah akar terdalam dari proses materialisasi yang kini menggerogoti dunia pendidikan.

Ternyata di bawah kilau kemewahan itu tersimpan kenyataan getir: semakin mahal harga yang dipatok oleh sekolah, semakin murah makna kemanusiaannya.

Jombang, 11 Oktober 2025

Lainnya

Wajah Materialisasi Pendidikan

Wajah Materialisasi Pendidikan

Usai membaca tulisan Materialisasi Manusia, kita menemukan kerangka berpikir yang menarik untuk digunakan sebagai cara pandang membaca kahanan.

Achmad Saifullah Syahid
A. Saifullah Syahid
Exit mobile version