Anak Bukan Fotokopi Orang Tua: Sekolah Kita dan Bahasa yang Salah Tempat


Kalau boleh saya mulai dengan agak manas-manasin sedikit, bahwa dunia pendidikan kita ini seperti seorang bapak tua yang memaksa anaknya main layangan dengan gaya duduk bersila sambil ngopi. Anak kecil mau main layangan ya lari-lari, jingkrak-jingkrak, jerit-jerit. Tapi si bapak bilang, “Kalau mau main, jangan ribut. Duduk yang sopan. Pikirkan arah angin dan konsep aerodinamika.” Lah? Anak-anak bukan insinyur Boeing, Pak!
Masalah paling pokok — kalau boleh kita “ngomong dalam” — dari pendidikan kita mungkin bukan kurikulum yang terlalu rumit, bukan juga anggaran yang terlalu kurus, melainkan bahasa. Ya, bahasa. Kita memaksakan anak-anak untuk berbicara dengan bahasa orang dewasa. Bahasa yang tidak hanya kaku dan kering, tapi juga seringkali tidak tahu malu karena merasa paling tahu. Anak-anak itu dunia imajinasi, sementara orang tua itu dunia kalkulasi. Ketika bahasa imajinasi dipaksa tunduk pada bahasa kalkulasi, maka lahirlah generasi bingung.
Di sekolah, anak-anak seperti diminta untuk menjadi orang tua versi junior. Mereka harus duduk rapi, diam, dan paham semua yang dikatakan guru, padahal gurunya sendiri sering tak paham apa yang dirasakan murid. Guru memaksa anak masuk ke dunia yang bukan miliknya, lalu ketika anak-anak itu kebingungan atau melawan dengan caranya yang lugu, guru bilang mereka “anak bermasalah”. Padahal, siapa tahu justru gurunya yang mengalami gangguan — kepekaan?
Anak-anak itu bukan fotokopi orang tua. Mereka bukan hasil duplikat, mereka itu makhluk orisinal, limited edition. Ada anak yang bicara dengan burung di jendela, bukan karena dia aneh, tapi karena dia sedang hidup. Coba bayangkan, kita yang dewasa ini kalau lagi “ngobrol” sama notifikasi ponsel aja dianggap biasa. Tapi anak-anak yang ngobrol sama burung dianggap gangguan mental? Siapa sebenarnya yang kehilangan realitas?
Contohnya si Toto-chan, anak kecil yang oleh sistem pendidikan Jepang waktu itu dianggap “tidak sesuai prosedur” — alias terlalu hidup. Dia dipindahkan ke sekolah lain yang justru mendidik dengan memahami. Di Sekolah Tomoe, anak-anak belajar di dalam gerbong kereta. Kenapa? Karena dunia anak-anak itu penuh imajinasi, bukan kursi plastik dan papan tulis hitam.
Yang luar biasa dari sekolah ini bukan hanya bentuknya, tapi sikapnya. Ketika waktu makan siang, gurunya tidak berkata, “Anak-anak, kita akan membahas piramida gizi.” Tapi cukup bilang, “Mari kita buka yang dari laut dan dari gunung.” Simpel. Indah. Mengandung gizi bahasa dan vitamin makna. Pendidikan bukan soal omongan yang panjang-panjang, bukan soal power point yang tebal-tebal, apalagi tentang nilai-nilai ujian yang dicetak pakai tinta merah. Pendidikan itu soal tradisi hidup yang diam-diam dijalani. Diam-diam, anak-anak itu makan ikan dan sayur. Diam-diam mereka belajar kesehatan. Diam-diam mereka bahagia.
Sekarang mari kita bandingkan. Di sini, di negeri kita tercinta, ketika ada anak yang “bermasalah”, yang dicurigai tidak cocok dengan sistem sekolah, maka… dipindah. Diusir secara administratif. Dan setelah itu? Tak ada yang menengok ke belakang. Tak ada guru yang penasaran: “Apa kabar anak itu sekarang ya?” Guru seperti tentara yang sudah menjatuhkan vonis tanpa mau tahu apa yang terjadi setelahnya. Seakan anak-anak itu hanya objek dalam sistem pabrik, bukan makhluk hidup yang tumbuh dan mencari bentuknya.
Kita ini bangsa yang suka bilang “Anak adalah masa depan bangsa.” Tapi saat si anak nangis, disuruh diam. Saat dia bicara, disuruh pelan. Saat dia bergerak, disuruh duduk. Kalau semua keinginan anak-anak harus diatur, dikekang, dicetak seragam, masa depan bangsa akan jadi masa lalu yang didaur ulang.
Maka, saya kira, kita perlu pertobatan kultural dalam pendidikan. Kembali menyadari bahwa anak-anak tidak untuk dicetak, tapi dibimbing. Tidak untuk diseragamkan, tapi dikembangkan. Kita perlu sekolah-sekolah yang mengerti anak, bukan sekolah yang meminta anak mengerti sekolah.
Bahasa anak-anak itu bukan bahasa yang harus disederhanakan — karena ia sudah sederhana. Yang harus dirumitkan sedikit adalah kemampuan orang tua dan guru untuk mendengarnya. Karena selama ini kita terlalu sibuk bicara, dan lupa bahwa mendidik adalah mendengar.
Dan kalau saya boleh usul, yuk… kita mulai pendidikan dari tepi jendela. Tempat burung-burung masih bisa dijadikan teman bicara. Tempat di mana anak-anak boleh bertanya dengan jujur: “Kau sedang apa?” Dan kita — orang dewasa yang konon lebih bijak — akhirnya bisa menjawab dengan rendah hati: “Sedang belajar menjadi anak-anak kembali.”
Mari kita akui dengan rendah hati bahwa barangkali kita — para orang tua, guru, dan pemangku kebijakan — telah terlalu lama menjadikan anak-anak sebagai korban dari ilusi kedewasaan kita sendiri. Kita mengira sedang mendidik, padahal sedang memformat. Kita menyangka sedang membimbing, padahal sedang menyesuaikan mereka dengan kekhawatiran dan ambisi kita yang belum tuntas.
Sudah waktunya pendidikan kembali menjadi ruang bermain yang serius, dan keseriusan yang menyenangkan. Sudah waktunya kita tidak sekadar menyiapkan anak-anak untuk menjadi bagian dari dunia, tetapi membiarkan mereka menciptakan dunia mereka sendiri, yang lebih adil, lebih jujur, lebih manusiawi. Dunia yang mungkin tidak kita mengerti sekarang, tetapi bisa jadi lebih layak ditinggali daripada dunia hasil produk pikiran orang dewasa yang kelelahan dan terlalu lama terjebak dalam rutinitas birokrasi bernama sistem pendidikan.
Anak-anak bukan calon dewasa. Mereka adalah manusia seutuhnya — hari ini, di sini, sekarang — dengan bahasa, jiwa, dan logikanya sendiri. Dan kalau dunia ini masih ingin diselamatkan, barangkali kita harus mulai belajar bukan dari profesor, tapi dari anak-anak. Dari cara mereka melihat burung di jendela, dan dari keberanian mereka bertanya: “Sedang apa kau?” []
Nitiprayan, 20 Juli 2025