Ketika Batas Melahirkan Keberadaan
Pertanyaan yang muncul saat mendalami tema sadar diri mengenal batas dalam Pengajian Padhangmbulan adalah sejauh apa batas-batas itu diketahui dan bagaimana mempraktikkannya dalam hidup sehari-hari? Beberapa jamaah bergabung di panggung dan menyampaikan pandangan mereka. Salah satu jamaah menyampaikan bahwa batas itu dapat diketahui ketika kita telah menyadari diri kita. Ia menambahkan ada diri sebagai hamba Allah, kepala keluarga, anggota sosial masyarakat, dan seterusnya.
Ini pandangan yang menarik. Mbah Nun kerap menyampaikan bahwa manusia bukan hanya “makhluk kemungkinan.” Manusia adalah makhluk yang memiliki lapisan-lapisan kesadaran, sedemikian lembut dan kompleks lapisan-lapisan itu, sehingga upaya untuk menemukan diri tak ubahnya seperti berjalan menuju cakrawala.
Sadar diri dan sadar batas menjadi dua sisi keping yang tidak dapat dipisahkan. Upaya menemukan batas diri berjalan seiring dengan usaha mengenal diri, terus-menerus, hingga kita berdiri di depan gerbang kematian. Seseorang yang tidak mengenal dirinya tangeh lamun alias jauh panggang dari api dapat mengerti batasan. Demikian pula seseorang yang tidak sadar batas sesungguhnya telah kehilangan dirinya. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Mas Sabrang memberikan formula yang mendasar. Batas melahirkan keberadaan. Ketika kita menatap garis lingkaran dan menyimpulkannya sebagai bentuk lingkaran, hal itu menegaskan bahwa lingkaran menjadi “ada” karena ia hadir dengan keterbatasannya sebagai lingkaran. Keterbatasan bentuk lingkaran menjadikannya “ada” dan hadir sebagai lingkaran, bukan sebagai persegi atau segitiga. Andai lingkaran memiliki “kesadaran diri” ia akan mengerti bahwa dirinya bukan persegi sehingga perilaku hidupnya dijalani sebagai lingkaran.
Mas Sabrang lantas memandu jamaah Padhangmbulan mengenal bentuk batas-batas secara teknis. Ada batas fisik, perasaan, pikiran, dan seterusnya. Kita ringkas saja batasan itu menjadi dua: batas fisik dan batas non fisik atau konsep. Mengenal diri memerlukan batas fisik dan batas konsep. Pada model batas konsep ini aku, Anda, dan kita semua dihadapkan pada versi, lapisan, dimensi, tikungan, lekukan yang tidak sederhana. Ada batas konsep diri yang mengandalkan benere dewe, benere wong akeh, bener kang sejati. Di manakah kita menyandarkan diri atas ketiga konsep bener itu?
Konsep diri yang dibangun oleh benere dewe dapat melahirkan Firaun. Ia ada agar disembah: Ana robbukumul a’laa. Aku adalah tuhanmu yang paling tinggi. Konsep benere dewe melahirkan kepemimpinan yang tiran dan melukai harkat kemanusiaan. Sifat kepemimpinan ini bertolak belakang dengan makna dasar “rabb” yang mengayomi.
Benere wong akeh memiliki relativitas karena konsep batas disepakati berdasarkan konsensus. Kebenaran yang dihasilkan cenderung bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif. Kendati konsensus dapat memberikan landasan untuk kebenaran, ia juga memiliki kelemahan dan perlu diimbangi dengan pemikiran kritis, keragaman perspektif, dan keterbukaan terhadap bukti kebenaran yang baru.
Kebenaran yang lahir dari batas benere wong akeh cenderung bersifat kuantitatif daripada kualitatif. Kebenaran konsensus sering kali dipengaruhi oleh bias kelompok, di mana anggota kelompok cenderung menyetujui pandangan mayoritas meskipun pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar atau tepat. Ini dapat menyebabkan kebenaran yang dihasilkan menjadi bias dan tidak objektif.
Oleh karena itu, cakrawala kebenaran yang sesungguhnya lahir dari batas konsep bener kang sejati. Ia berada di garis horizon “Al-haqqu min rabbika.” Kebenaran yang sesungguhnya datang dari Tuhan. Yang kita hadapi setiap saat adalah tafsir tentang kebenaran itu sendiri. Kita bersandar pada Pemilik Kebenaran dan karena itu kita tidak mengklaim sebagai pihak yang paling benar.
Puasa mengidealkan kesadaran mengerti batas konsep sebagai manusia. Bukan sekadar mengerti batas fisik tidak makan dan minum, melainkan menjalani sekaligus mengalami batas konsep sebagai manusia, hamba Tuhan, dan khalifah fil ardl dalam lingkup personal, komunal, hingga sosial. Kesadaran terhadap batasan itu bukan semata-mata untuk menegaskan diri kita ada, melainkan keberadaan dan kehadiran kita memberi makna. Makna tertinggi adalah manakala kita hadir bersama perilaku yang memantulkan sifat welas asih ketuhanan. Kehadiran kita menjadi representasi sifat-sifat Tuhan yang mulia.[]