Presiden Artificial Intelligence (AI) Sebagai Alternatif


Besok malam (Minggu, 25 Mei 2025) pukul 20.00 WIB kembali Tafsir Nadjibiyah edisi ke-32 hadir menjumpai teman-teman semua di YouTube caknun.com, Partai X, dan Radius. Kali ini teman-teman Partai X akan mengajak kita sedikit berbicara tentang Presiden AI. Apa dan bagaimana?
Hari ini rakyat umumnya sudah jemu dibohongi oleh aktor-aktor dalam sistem pemerintahan negeri ini: politikus yang berjanji membela kepentingan rakyat justru menggasak uang negara; polisi yang tugasnya mengayomi rakyat malah menjadi algojo bayaran para cukong. Birokrat di balik meja layanan publik menyulap syarat administrasi jadi 12 lapis—bukan untuk melayani, tapi untuk memeras. Pengadilan menjadi panggung sandiwara di mana vonis dan salah-benar diperjualbelikan.
Sementara itu pendidikan — yang semestinya mencerdaskan — ternyata hanya memproduksi ijazah dan mental korup, minim kompetensi dan integritas. Di tengah puing-puing kepercayaan pada sistem yang rusak parah ini, sebuah pertanyaan tumbuh: apakah sudah saatnya kita menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Artificial Intelligence (AI)?
Konsep “Presiden AI” muncul bukan sebagai fantasi teknokratik, melainkan cermin jeritan keputusasaan kolektif. Di Estonia, penggunaan AI sektor peradilan untuk menangani kasus pelanggaran ringan mulai diuji coba sejak 2019, dengan hasil awal yang menjanjikan. Ada pula alat pengenalan suara yang meningkatkan efisiensi pencatatan sidang. Data-data ini menggoda: jika manusia gagal, mungkin mesinlah solusinya.
Tapi, Allah telah mendesain manusia sebagai khalifah (pemimpin di muka bumi). Allah juga telah mendeklarasikan bahwa sebaik-baik (masterpiece) ciptaan adalah manusia. Sehingga, semestinya manusialah yang memegang kepemimpinan di muka bumi. Lalu, AI boleh direkrut untuk membantunya menyediakan berbagai data dan opsi.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi bisakah AI menjadi presiden, melainkan mampukah kita — rakyat yang terluka oleh pengkhianatan institusi — mempercayai siapa pun (atau apa pun) lagi? Atau jangan-jangan, keinginan untuk menciptakan “Presiden AI” justru cermin kegagalan kita sendiri: pengakuan bahwa peradaban manusia telah mencapai titik di mana mesin pun lebih layak dipercaya daripada sesama manusia. Bisa jadi, Tafsir Nadjibiyah kali ini tak hanya obrolan tentang teknologi, tapi tentang krisis eksistensi. Sampai ketemu besok malam.