Berguru kepada Tuhan: Membaca Rahasia Gelap dalam Cahaya

Tuhan, aku berguru kepada-Mu
Tidak tidur di kereta waktu
Tuhan, aku berguru kepada-Mu
Meragukan setiap yang kutemu
Lagu “Tuhan Aku Berguru,” Emha Ainun Nadjib, 1997
Lirik itu dimulai dengan kalimat yang sederhana tapi menggetarkan: “Tuhan, aku berguru kepada-Mu.” Lirik ini menyodorkan sikap dan cara berpikir bagaimana manusia belajar memaknai hidup. Berhadapan dengan Tuhan manusia tidak lagi menjadi makhluk yang serba tahu dan paling tahu, tetapi makhluk yang sedang dituntun untuk mengerti. Manusia bukan pusat pengetahuan, melainkan “murid” yang dibimbing oleh Allah Swt melalui semesta, ruang, waktu, cahaya dan gelap yang silih berganti.
Kita memerlukan cara pandang untuk mengerti bagaimana “aku berguru kepada-Mu.” QS. Al-Baqarah [2]: 32 menyatakan: “Tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ilmu tidak lahir dari keinginan untuk menguasai atau menaklukkan, tetapi lahir dari kesediaan untuk selalu belajar dengan kerendahan hati. Ayat di atas mengajak kita berhenti sejenak, mengambil jarak, dan berpikir: sesungguhnya kita tidak tahu apa-apa selain yang Dia izinkan untuk diketahui.
Untuk itu kita perlu terjaga dan selalu waspada agar “tidak tidur di kereta waktu.” Hidup ini bergerak seperti kereta—cepat, bising, dan tidak bisa dihentikan. Banyak orang tertidur dalam gerbong waktu—anut grubyuk dan tidak waspada, larut dalam rutinitas, hilang kesadaran bahwa setiap detik adalah tanda.
Tidak tidur berarti hadir secara penuh (mindfulness), selalu terjaga untuk membaca pesan-pesan Tuhan yang tersembunyi di balik perjalanan waktu. Kita tidak hanya hidup di atas permukaan fakta dan data, tetapi berusaha menembusnya, membaca setiap peristiwa sebagai ayat—tanda dari Tuhan yang menunggu untuk dimaknai.
Namun, kesadaran itu tidak lahir tanpa luka-batin. “Meragukan setiap yang kutemu” bukan bentuk kita sedang kehilangan iman, melainkan gerak reflektif seorang pencari. Kita meragukan sesuatu bukan karena tidak percaya, tapi karena ingin melihat secara lebih mendalam. Keraguan seperti ini justru bersifat suci, sebab di dalam sikap keraguan itu tersimpan kerendahan hati. Kita mengakui bahwa apa pun yang kita tahu ternyata berada dalam bingkai ketidaktahuan.
Dalam keraguan itu kita juga tidak sedang kehilangan arah, melainkan berupaya menemukan cara baru dalam memandang fakta. Kita menyadari bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang dimiliki, tapi diamanahkan—dan karenanya, harus dijaga dengan sikap rendah hati.
Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Buta mata menganugerahi penglihatan
Jika aku tahu, terasa betapa tak tahu
Waktu melihat betapa penuh rahasia
Gelap yang dikandung oleh cahaya
Lalu lahirlah baris-baris yang paradoksal: “Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan, buta mata menganugerahi penglihatan.” Kita belajar di Maiyahan bahwa realitas selalu bersifat ganda namun padu dan berjodoh: di balik setiap kelemahan tersembunyi kekuatan, di balik kehilangan tersimpan penemuan, di balik kesulitan ada kemudahan. Allah mentajalikan diri-Nya tidak hanya dalam terang, tetapi juga dalam misteri kegelapan dan ketidaktahuan. Maka “buta” di sini bukan kutukan, melainkan cara lain untuk melihat—melihat dengan mata hati, bashirah, bukan mata kepala semata.
Lantas apa yang terjadi? “Waktu melihat betapa penuh rahasia, gelap yang dikandung oleh cahaya.” Kalimat ini adalah pintu menuju kebijaksanaan. Ia menyingkap bahwa hidup bukan hanya terang yang bersinar, tapi juga gelap yang meneduhkan. Artinya, tidak ada kegelapan kecuali ketiadaan kesadaran akan cahaya itu sendiri.
Cahaya dan gelap bukan lawan, melainkan dua sisi dari satu kebenaran. Gelap bukan ketiadaan cahaya, tetapi bagian dari rahasia yang dikandung cahaya. Dan rahasia itulah yang membuat hidup ini menjadi suci—karena tidak semua hal perlu dijelaskan, tapi cukup dirasakan, direnungi, dan disyukuri.
Tuhan Aku Berguru kepada-Mu menyimpan pesan tentang alur siklikal perjalanan manusia: dari melihat fakta menuju tanda (ayat), dari tanda (ayat) menuju makna, dari makna menuju nilai, dan dari nilai menuju kebijaksanaan. Fakta membuat kita tahu, tanda membuat kita sadar, makna membuat kita mengerti, nilai membuat kita bermoral, dan kebijaksanaan membuat kita hidup selaras dengan Tuhan.
Itulah kiranya, Allah Swt menutup ayat 32 surat Al-Baqarah dengan kalimat: Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui (Al-‘Alim) lagi Maha Bijaksana (Al-Hakim). Terjadi transformasi dari Al-‘Alim menuju Al-Hakim. Bergerak dari sangat mendalami fakta, pakar pada satu bidang ilmu, master pada bidang keahlian tertentu menuju sikap bijaksana. Cara pandang ini menawarkan alternatif terhadap reduksionisme modern dengan mengintegrasikan ilmu dalam kerangka makna yang utuh dan transenden.
Transformasi itu mau tidak mau harus ditempuh bersama Allah Yang al-‘Alim al-Hakim, dan karenanya Aku Berguru kepada-Mu, Tuhan.
Jombang, 2 November 2025
