Peluru-peluru Nafsu
Tidak berarti mereka atau sesama manusia itu tidak menyayangimu. Atau tidak punya keberanian berperang untuk membelamu. Atau tidak mampu menerapkan prinsip nilai dalam suatu komplikasi persoalan. Mungkin saja mereka sekadar tidak lebih kuat atau tangguh darimu. Mereka tidak memiliki pandangan selengkap yang kau punyai. Tidak terbiasa dengan kreativitas atau akurasi setajam kamu. Mereka bukan Allah Swt yang punya kelengkapan ilmu dan kuasa untuk engkau sujudkan “hasbiyallah”.
Semua anak-anakku Jamaah Maiyah pasti sudah mengenal Weldo. Lelaki muda, pelukis, berpakaian bukan kain, tidak pakai celana dan baju seperti lazimnya semua orang. Melainkan krincing-krincing logam di sekujur tubuhnya. Plus tattoo-tattoo. Saya tidak bisa membayangkan ada forum pengajian, seminar ilmiah atau bentuk-bentuk rembug sosial apapun yang bisa menerima kehadirannya. Kecenderungan setiap orang tatkala berjumpa dengannya adalah heran, menepisnya atau membuangnya, atau cenderung tidak bisa menerimanya. Apalagi forum-forum resmi. Dengan prinsip dan ideologi pluralisme tingkat tinggi pun sukar membayangkan ada kumpulan resmi manusia-manusia bersedia mengakomodasinya.
Tetapi Maiyahan di Denpasar menerimanya. Saya mengajaknya naik panggung. Memproses komunikasi untuk mengenalinya. Saya sangat yakin bahwa Weldo adalah manusia. Maka ia punya hak untuk saya sapa dan terima, sebagaimana saya punya hak untuk disapa dan diterima oleh Weldo. Saya tidak berani menyimpulkan bahwa ia Jin atau Setan, Iblis, Dajjal, atau tidak terkandung di dalam yang Allah maksudkan dengan firmannya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ
وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan dengan potensi dan dimensi kelelakian dan keperempuanan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Potensi kelelakian dan keperempuanan itu tidak terbatas pada pemahaman gender di alam pikiran modern. Juga “lelaki” berbeda dengan “kelelakian”. Tanah atau bumi adalah perempuan dalam konsep kosmologi dan filosofi Jawa. Yang mengandung potensi kelelakian dan keperempuanan bukan hanya manusia, apalagi hanya jasadnya, melainkan juga semua unsur alam dan segala ciptaan Tuhan.
Allah menciptakan perjodohan. Hukum alam ciptaan Tuhan memberikan panduan kepada peradaban yang dibangun manusia, agar senantiasa memperjodohkan “kelelakian” dengan “keperempuanan”. Raja atau pemerintah adalah “lelaki’, rakyat adalah “perempuan. Di wacana Maiyah sudah lama hal itu dijadikan pemahaman bersama. Manusia adalah “lelaki”, bumi dan seluruh alam adalah “perempuan”. Maka Khalifahnya adalah manusia, bukan alam.
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ
فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا
وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
“Syu’uban wa qabail” selama ini hanya diinfromasikan oleh para penerjemah Al-Qur`an sebagai suku-suku dan bangsa-bangsa. Padahal keragaman pada hidup manusia jauh lebih detail dari itu. Miliaran jenis kecenderungan hati, psikis atau kejiwaan manusia, ragam tak terukur dari pergesekan-pergesekannya. Pluralisme tidak bisa disempitkan menjadi hanya beda bangsa, suku, golongan, ormas, ideologi, madzhab atau aliran-aliran dan kecenderungan-kecenderungan. Kalau manusia berpikir luas dalam probabilitas kosmologis seperti yang dikandung oleh ayat Allah, ia tidak heran dan tidak merasa berat untuk bersilaturahmi dengan Weldo.
Kami mewawancarai Weldo, prosesnya sejak remaja di Surabaya, aktif sebagai jamaah Masjid Al-Falah, kemudian rentetan kekecewaannya terhadap banyak kiai dan ustadz. Yang menurut Weldo mereka tidak mengantarkan Islam kepadanya sebagaimana yang ia sendiri sudah menikmatinya di dalam pengalaman dan pengembaraan batinnya. Akhirnya ia berhijrah ke Bali, meneguhkan keyakinannya sebagai makhluk Tuhan, menyadari batas kemerdekaannya dan tak terbatas kenikmatan Tuhan kepadanya.
Weldo mengatakan: “Saya berpakaian seperti ini karena ini adalah cara yang sangat mudah untuk mendengar, mengetahui atau mengenali pikiran buruk orang-orang yang berjumpa dengan saya”. Weldo adalah Guru Besar yang berdiri di depan mata kita, kalau kita mau mempelajari dan mendalami peringatan Allah:
َعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Tetapi manusia abad 21 tidak berminat untuk mempelajari apalagi mendalami itu. Dengan teknologi canggih internet dan medsos, manusia justru melakukan yang sebaliknya. Apa yang baik ia buruk-burukkan. Apa yang buruk ia baik-baikkan. Yang hina dimulia-muliakan, yang mulia, dihina-hinakan. Yang rendah ditinggi-tinggikan dan yang tinggi direndah-rendahkan. Semua demi pelampiasan nafsu dan kepentingan yang mereka kempit di ketiaknya, sambil menyembunyikan wajahnya.
Apakah Weldo termasuk hina atau mulia? Apa bedanya Weldo dengan saya? Sebagaimana Weldo, saya menyikapi kehidupan berbeda dibanding kebanyakan orang menyikapinya. Saya bikin forum tidak dengan bentuk, cara, dan prinsip sebagaimana kebanyakan forum-forum. Saya mengkreatifi bermacam-macam bidang, komunikasi sosial, formula budaya, pengajian agama, mekanisme pembelajaran, dan macam-macam lagi yang tidak seperti kebanyakan orang. “Nasib” atau posisi sosial saya relatif sama dengan Weldo: marjinal, gharib, terpinggirkan, tidak diakui. Bahkan saya tidak punya keberanian yang Weldo memilikinya: tampil dengan pakaian merdeka, radikal dengan keputusannya. Saya pengecut untuk melakukan seperti yang Weldo lakukan. Maka perbedaan antara Weldo dengan saya mungkin terletak pada apa dan seberapa eksploitasi, menipulasi, bullying dan trollying yang menimpa saya dibanding Weldo yang relatif tenang di areanya.
Hidup di era digital milenial ini seperti menyeberangi medan perang yang berseliweran ribuan peluru-peluru nyasar. Dan saya tertembus oleh sudah berapa ribu peluru. Peluru fitnah. Peluru manipulasi. Peluru eksploitasi. Peluru adu domba. Peluru kecurangan. Peluru kedengkian. Peluru subjektivisme. Peluru-peluru yang seharusnya ditembakkan oleh senapan-senapan Iblis atau Dajjal. Tetapi ini bedil medsos dan hulu ledak maya yang menembakkannya.
Saya tidak pasang akun Twitter, Facebook, Instagram atau apapun. Bagaimana mungkin di aplikasi-aplikasi itu bisa begitu banyak dan sering ada nama saya. Gambar saya. Ucapan saya yang dieksploitasi dan dimanipulasi. Atau bahan apapun dari saya yang disunat dan dipertentangkan dengan tokoh ini itu seolah-olah saya pernah bertemu dan berdebat dengan beliau-beliau.
Saya keliling selama 30 tahun lebih ke hampir 5.000 tempat di pelosok-pelosok Nusantara, menulis hampir 100 buku dan melakukan berbagai bentuk cinta dan kesetiaan kepada semua level dan segmen masyarakat, untuk menyirami martabat nasionalisme dan karakter keindonesiaan serta harga diri kebangsaan. Tetapi ekspresi dan partisipasi saya itu di-thithili, dipotong-potong, di-tugel, di-pothol-pothol, digergaji, dibetot ekornya, dinista sebagai “kalamussalam” dan dipakai untuk menyebarkan keburukan, kebusukan, kehinaan dan kerendahan, untuk melukai orang dan golongan lain, untuk memecah belah bangsa dan menghancurkan nilai-nilai kehidupan yang dianugerahkan oleh Tuhan.
Saya bukan hanya tidak diterima oleh alam pikiran dan kejiwaan Indonesia, kecuali komunitas Maiyah. Lebih dari itu banyak dimanipulasi dan dieksploitasi atau dibiaskan seolah-olah saya adalah manusia gila eksistensi, kriminal politik, pelaku budaya anarkhis, cerewet, rewel dan suka memusuhi sana sini.
Untung sejak saya kanak-kanak di rumah Pak Carik Gontor, saya terbiasa berpuasa. Tidak hanya puasa konvensional tidak makan dari Subuh hingga Maghrib. Tapi juga puasa dalam pemaknaan yang lebih luas, kontekstual dan empirisme kehidupan. Seluruh hal yang mengecewakan, yang menyakitkan, yang mencemaskan, yang bikin menderita dan sengsara. Segala kejadian yang menekanku, yang menindasku. Berbagai posisi yang tidak menghargai pelaksanaan kebaikan dan pengabdianku. Hak-hakku yang tak dipenuhi. Kesetiaan perjuangan dan kewajibanku. Partisipasi dan integritas bahkan jasa-jasaku yang dianggap tidak pernah ada. Semua itu saya niati sebagai bagian dari lelaku puasa hidup saya.
Dan saya tidak mendambakan akan berbuka di dunia. Apalagi di budaya rakus Indonesia. Alam dan dunia ciptaan Allah ini begini kaya raya, tetapi manusia sangat memiskinkan dirinya. Maka dunia bukanlah area yang tepat didambakan sebagai tempat berbuka puasa. Saya tidak punya daya dan apapun untuk memastikan bahwa tempat berbuka puasa saya adalah sorga. Tetapi begitulah muatan mateg aji kehidupan saya. Saya mempedomani prinsip yang terkandung dalam firman ini, meskipun mindset semua stakeholders kekuasaan dunia dengan mainstream peradabannya menyatakan sebaliknya.
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَيَسۡخَرُونَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۘ
وَٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ فَوۡقَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”