CakNun.com

Sastra Yang Membebaskan: Sebuah Pengantar

Tulisan ini merupakan pembuka atau pengantar dalam buku Emha Ainun Nadjib, Sastra yang Membebaskan: Sikap terhadap Struktur dan Anutan Seni Moderen Indonesia, PLP2M, Yogyakarta, 1984, hal. 1-4
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Buku ini disusun tidak dengan berangkat dari teknik pembaganan atau sistematisasi permasalahan, melainkan merupakan rangkuman suatu konteks yang tak berbeda, serta diusahakan antara satu tulisan dengan lainnya memiliki alur.

Pengungkapan yang demikian mengandung beberapa resiko. Misalnya ia meminta suatu ‘teknik ambil napas’ tertentu dalam cara membacanya. Juga, sesuai dengan pola dan sifatnya sebagai esei, maka pokok-pokok pemikiran tentang ‘sastra yang membebaskan’ muncul seringkali secara spontan di sana-sini, pada momen-nmomen tertentu, illustrasi-illustrasi tertentu, relevansi dan mood- mood tertentu. Pemikiran itu hadir lebih sebagai suatu keseluruhan daripada sebagai kronologi.

Penekanan permasalahan buku ini adalah kesusastraan, tapi sesungguhnya ia menyangkut problema semua segi kesenian moderen kita, meskipun masing-masing bidang seni memiliki takaran dan iramanya sendiri sendiri. Dalam proses masyarakat yang sama, selalu terjumpai paralel-paralel antara problema sastra dengan seni rupa misalnya, bahkan logis pula jika paralel gejala penyempitan dimensi kesenian yang digelisahkan oleh buku ini, juga terjadi dalam kehidupan ilmu pengetahuan, keagamaan dan lain-lain. Karena itu arnat penting untuk menghitung berbagai gejala dalam kesusastraan dengan mempertimbangkan latar makronya.

Sejak awal 1982 kita menyaksikan berbagai gugatan agar sastra lebih menunjukkan peran sertanya dalam proses perubahan sosial. Ini jelas bukan sekedar gejala kesusastraan, tapi bersumber pada kompleksitas kegelisahan sosial yang lebih luas. Meskipun batang tubuhnya berupa pemikiran sastra, namun ia adalah ‘saudara kembar’ dari sebutlah meluasnya kesadaran akan keperluan sosiologi dalam banyak ilmu-ilmu-pilah moderen, munculnya antitesa terhadap tradisi arsitektur moderen, tumbuhnya solidaritas-solidaritas baru dalam kehidupan beragama, atau makin banyak diselenggarakannya kegiatan yang menegur-sapakan berbagai spesialisasi kehidupan.

Dengan kata lain, tumbuhnya komitmen baru sastra moderen kita terhadap lingkungan konkritnya, merupakan salah satu dorongan di antara dorongan-dorongan lain untuk menciptakan gelombang kesadaran baru masyarakat yang mencoba merangkum dan mengutuhkan kembali kehidupan yang dewasa ini terpecah berserakan.

Tentu saja sastra yang konsern dengan perubahan sosial bukanlah ‘sastra yang mengangkat senjata’ terhadap suatu kekuasaan fisik. Sebab, pertama, hal-hal yang harus dirubah dan dibebaskan tidak sekedar berada di luar sastra, sebutlah misalnya politik dan ekonomi yang menciptakan sistem nilai adab-budaya tertentu yang menyempitkan nilai kesenian, tetapi bahkan juga dikandung oleh dunia dan sikap kesusastraan itu sendiri, yakni hal-hal yang pada batas tertentu merupakan tiran atas nilai sastra itu sendiri, atas sastrawannya maupun masyarakatnya. Dan kedua, setidaknya dengan sikap ‘sastra yang membebaskan’, bisa mulai ditumbuhkan suatu kemungkinan di mana kesusastraan dan kesenian pada umumnya bisa menjadi salah satu komponen pendorong perubahan sosial ke arah kehidupan yang lebih manusiawi.

Seorang Ketua Jurusan di Fakultas Sastra sebuah Universitas terkemuka, pernah bertanya dalam sebuah diskusi sastra: “Bagaimana cara sastra membebaskan seratus juta rakyat Indonesia dari kemiskinan?”.

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan mengemukakan bahwa sastrawan sebaiknya mengumpulkan beras atau mengadakan malam dana dan hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Namun ini adalah jawaban konyol, untuk pertanyaan yang tidak proporsional. Pertama, ia sebaiknya melihat beda letak konteks antara kemiskinan dan proses pemiskinan. Dan kedua, sastra bukan pengurus zakat: ia, dengan kodrat dan keterbatasan jangkauannya, paling tidak bisa menjadi suatu tenaga sejarah manusia.

Hal itu dikemukakan, untuk menunjukkan betapa pentingnya sekarang ini kita meluaskan pemikiran dan kesadaran tentang keterkaitan antara berbagai bidang hidup manusia, justru untuk menemukan gerak yang tepat bagi usaha-usaha perubahan.

Sastra dan seni yang baik terwujud selalu karena ia mengandung pemikiran dan perasukan masalah-masalah manusia. Karena itu tidak ada pameo ‘sastra untuk sastra’ kecuali kita berbicara tentang bunga plastik yang tak perlu akar karena ia tak hidup. Maka salah satu hasrat buku ini ialah merangsang kemauan mempertanyakan kembali hakekat estetika: apakah ia adalah keindahan-keindahan salon, ataukah keindahan yang dicapai dan diungkapkan setelah melalui internalisasi utuh terhadap kompleksitas dimensi manusia dan masyarakat.

Yogyakarta, 7 Juni 1983

Lainnya

Dari Esei, Eseis, Manusia Hingga Warganegara

Esei

Esei bukan tulisan ilmiah yang dipersyarati oleh kaidah-kaidah keilmuan, kecerdasan dan kejernihan terhadap fakta, serta oleh teguh dan tajamnya logika.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version