Masyarakat Tumpeng Raya
MUNGKIN karena ilmu-ilmu sosial baku dianggap mmakin kurang mampu membaca hari besok, atau bahkan tidak cukup terampil merumuskan hari kemarin dan hari ini, muncul makin banyak orang yang menyodorkan output dari ilmu-ilmu–mungkin–paranormal, mungkin abnormal, atau pokoknya lain dari kebiasaan pendekatan dan tingkah laku ilmu pengetahuan.
Misalnya tumpeng approach, yang menggulir di Yogya ke wilayah timur. Anda tentu sudah kenal tradisi tumpengan — gunung nasi mini — yang biasanya menandai kegembiraan orang, keluarga, organisasi, atau lingkungan yang lebih luas dari itu.
Tumpengan itu digamblangkan oleh nama lain, yakni potong tumpeng. Gunung itu dipenggal lehernya oleh orang yang merupakan titik pusat upacara sukaria itu.
Kebudayaan Jawa memang pakar bentuk-bentuk upacara, tetapi sekarang kata-kata semacam itu tak bisa licin untuk diucapkan karena tradisi tumpengan sudah terdaftar dalam khazanah budaya Indonesia modern yang melibatkan keluarga paling elite, tinju prof hingga perusahaan-perusahaan King Konglomerat.
Dengan kata lain, upacara potong tumpeng bukan khazanah masa silam yang terpuruk di etalase museum. Ia diterima sebagai bagian dari modernitas meskipun belum tentu bisa disebut dalam perbincangan mengenai proses transformasi budaya.
Tetapi, apa sebenarnya urusan tumpeng dengan ilmu sosial dan realitas zaman?
Telaah ilmu-ilmu sosial “biasa” sudah klise dan bunyi ngrasani-nya itu-itu juga dari koran ke koran, dari seminar ke seminar, dari pidato ke pedati. Maka, diperlukan rendezvouz melalui analisa tumpeng.
Jangan pula terlalu dianggap serius atau “diambil ke hati”. Anggaplah teori tumpeng sekadar daerah pariwisata. Itu pun sejauh yang saya dengar belum ada konsistensi mengenai hal tersebut.
Umpamanya struktur tumpeng dipakai untuk menjelaskan bentuk stratifikasi suatu masyarakat, entah ekonominya atau budayanya. Kalau untuk politiknya, ada baiknya tumpeng diletakkan terbalik: yang bagian atas kekuasaannya sak-hohah (besar sekali), yang bagian bawah menggenggam kekuasaan seujung jarum, atau bahkan ujung jarum itu menancap di jidat mereka.
Maka, tradisi memotong tumpeng di bagian atasnya sesungguhnya adalah subversi ideologi yang menyarankan distribusi dan demonopolisasi. Kalau puncak tumpeng tak dipotong- potong, yang berlangsung selalu bukanlah ekonomi rakyat melainkan ekonomi pembangunan.
Susahnya, tradisi potong tumpeng justru banyak diselenggarakan oleh penghuni puncak tumpeng karena yang bagian bawah tak sempat membentuk-bentuk nasi secara estetis sebab keburu disantap untuk mengganjal nasib. Dengan demikian, subversi potong tumpeng itu menjadi semakin kehilangan magi, dan akhirnya tidak mengilhami siapa pun untuk melakukan perubahan.
Teori tumpeng yang lain menyangkut software realitas manusia dan realitas sosial.
Lapis bawah selalu merupakan bagian yang vulger, yang wadak, yang korban, yang tertindih–ini tergantung kita mau berbicara tentang struktur eksternal-internal nilai-nilai ataukah mau berbincang tentang tahap-tahap dari gagasan ke aplikasi, atau tahap-tahap dari yang paling material hingga yang spiritual.
Makin memuncak tumpeng, makin tergambar proses sublimasi kesadaran dan perilaku manusia menuju puncak, yang inti, yang tersaing, yang kristal.
Dalam pendekatan teori tumpeng part two ini, acara potong tumpeng diasumsikan sebagai kesalahan filosofis yang amat fatal. Kalau Anda membiasakan diri memoton bagian atas tumpeng, sebenarnya itu merefleksikan bawah sadar Anda bahwa kecenderungan rekayasa yang Anda lakukan ialah memotong lapis spiritual dari apa pun saja yang dikerjakan dalam sejarah.
Pemotongan bagian atas gunung tumpeng menyebabkan (secara psikologis) dan menjelaskan betapa segala yang kita lakukan–segala macam pola dan bentuk modernisasi ini pun–harus kita bayar dengan pengikisan dimensi spiritual. Setidaknya karena tidak mungkin Anda ciptakan sebuah kota metropolitan spritual, supermarket spiritual, atau klub malam spiritual.
Belum lagi kalau pada perangkat kerasnya Anda jumpai bahwa pemotongan tumpeng itu sesungguhnya penghormatan dan pengistimewaan terhadap bagian atas tumpeng. Jika puncak tumpeng telah diangkat dengan pisau (militer, umpamanya), semua orang bertepuk tangan, kemudian memakan bagian bawahnya beramai-ramai.
Maka, para pakar tumpeng menganjurkan agar tradisi pemotongan tumpeng diubah. Yakni tidak dengan memotong penggalan atasnya, melainkan dipotong vertikal arah pisaunya, dan dibagi-bagi menjadi banyak irisan agar keseluruhan strukturnya lebih memungkinkan distribusi.
Namun, adakah MPR punya hak untuk mengubah pola potong tumpeng? Era Tinggal Landas dan optimisme abad ke-21 tetap bisa diucapkan tanpa harus bertentangan dengan idiom masa lalu: Masyarakat Tumpeng Raya.
Padahal, yang paling sip, nasi itu yang dihamparkan saja di atas tampah tanpa bangunan estetis dan monopolistis macam itu.