CakNun.com

Belajar Kepada Sunyi

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 5 menit
Image by Christian Lambert on Unsplash

Seorang anak muda bertanya kepada penyair Linus Suryadi, “Apa yang membuat Sampeyan bisa menulis puisi?”

“Sunyi,” jawab Linus pendek.

Anak muda itu bingung.

“Sunyi?”

“Tanpa sunyi saya tidak bisa menulis puisi.”

“Bukan cinta? Jatuh cinta maksudku.”

“Cinta. Kalau tidak ketemu kekasih ketemunya sunyi juga. Rindu itu isinya sunyi. Penuh.”

“Jadi, penyair itu serba sunyi ya hidupnya?”

“Ya. Justru karena itu dia bisa menulis puisi.”

“Kalau gelisah?”

“Gelisah karena sunyi justru bisa menyuburkan puisi dalam jiwa.”

“Jadi sunyi adalah puisi dan puisi adalah sunyi, begitu ya?”

Linus Suryadi tertawa lirih. Dunia terasa damai melihat salah seorang murid Umbu Landu Paranggi tertawa.

Perbincangan tentang sunyi dan puisi ini terjadi di ruang tamu kantor Pak Umar Kayam. Dan anak muda yang bertanya itu saya sendiri.

Saya jadi ingat cerita Mbah Nun yang waktu mudanya lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Najib dan Umbu memanggilnya Em. Sering diceritakan bagaimana dalam perguruan silat kehidupan yang diajarkan oleh Umbu Landu Paranggi adalah belajar bagaimana murid bisa sabar dan bertahan terhadap sunyi yang ekstrem.

Berjalan mengelilingi kota Yogya dengan membisu. Mirip-mirip tapa mbisu keliling Beteng Kraton. Tidak boleh ada yang tergoda untuk berbicara, apalagi orasi. Ini bukan demonstrasi. Bukan protes kepada siapa-siapa atau protes kepada apa. Lebih mirip dengan gerakan ahimsa Mahatma Gandhi, gerakan nir kekerasan. Tidak ada niat, pikiran atau tindakan untuk melakukan kekerasan sama sekali.

Serombongan anak muda berjalan mengelilingi kota tanpa berbicara. Umbu Landu Paranggi diam, para murid perguruan silat kehidupan ini juga diam, mungkin ada yang bingung dan bertanya-tanya untuk apa semua ini dilakukan? Mengapa hatiku dengan diam kalau ingin memahami kehidupan, mengapa tidak dengan diskusi gaduh karena peserta pamer keunggulan pikirannya sendiri sendiri?

Apa yang sesungguhnya dicari lewat prosesi bisu yang kadang ditambah panjang jalan yang ditempuh karena Umbu tiba-tiba ingat kalau dia malam itu diundang sebuah kampung? Menurut Mas Iman Budhi Santosa dalam suatu obrolan di padepokan sor sawo suatu sore, “Yang dicari ya menurut aliran sufi Jawa disebut susuhe angin. Mencari sarang angin.”

Apa pula ini? Mencari sarang angin? Untuk apa? Kalau mencari sarang burung walet jelas bisa menghasilkan uang jutaan rupiah. Atau kalau mencari sarang semut bisa mendapatkan obat manjur untuk meningkatkan kesehatan. Lha kalau sarang angin?

“Kita bisa mendapatkan puisi kalau sudah menemukan sarang angin atau susuhe angin.”

“Lalu kalau sudah mendapatkan puisi di sarang angin?”

“Puisi bisa mendewasakan pribadi orang dan menghindari dari kutukan untuk menjadi kanak kanak-kanak abadi,” tambah Mas Iman.

Saya hampir tertawa karena ingat kata-kata Gus Dur tentang kutukan menjadi kanak-kanak abadi ini.

Jadi, sunyi bukan sesuatu yang sepele. Sesuatu yang amat sangat serius dan kadang punya wajah romantis. “Sambil menyeberangi sepi, kupanggil namamu, wanitaku”, ratap seorang WS Rendra ketika rindunya kepada wanita bernama Dik Narti memuncak.

Bayangkan, sepi atau sunyi mirip jurang dalam yang perlu diseberangi dengan membaca mantera cinta, nama kekasih itu. Dan bersama sunyi seorang penyair besar bernama Sapardi Djoko Damono menulis puisi DukaMu Abadi dan seorang Kuntowijoyo menulis Sajak Awang Uwung, dan Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi Petiklah Aku. Saya merasakan adanya sunyi terpancar ketika Emha Ainun Najib alias Mbah Nun menulis puisi-puisi Sembilan Puluh Sembilan Untuk Tuhanku. Atau ketika Ebiet G Ade menyanyikan lagu berjudul Lolong.

Kalau penyair sudah menemukan sarang angin mendapat puisi, berbeda sekali dengan Miyamoto Musashi waktu masih bernama Taiko dimasukkan dalam sebuah ruangan tertutup oleh gurunya dalam waktu lama lalu diminta untuk bertapa dengan cara dijantur.

Musashi mendapat pencerahan karena saat dia bertapa di ruang tertutup dan tirakat dengan cara dijantur dia bisa tuntas mendengarkan suara suara dari dalam jiwanya. Dia merenung, bagaimana sebagai ronin kelas desa dipaksa gurunya mengalami transformasi menjadi seorang samurai yang peka sehingga bisa mendengar segala gerakan termasuk gerakan angin yang disebabkan oleh gerakan pedang lawan. Dia bisa membaca intisari gerak dua tangan seorang pemukul bedug dan menemukan jurus pedang kembar. Dia menemukan puisi lewat jalan pedang dan bertemu dengan banyak guru yang ilmu sunyinya lebih tinggi sampai kemudian dia bisa menulis kitab lima lingkaran.

Dalam tradisi pencak silat, kalau seorang guru akan memberikan wejangan tentang ilmu puncak bela diri, pencak silat, berupa ilmu menyembuhkan orang atau ilmu usada memilih tempat sunyi dan tertutup. Tujuan pendekar itu jelas, agar wejangan dia berisi ilmu paling penting dalam beladiri timur itu mak jleb masuk ke dalam kesadaran muridnya. Ayah saya dulu mengajarkan doa-doa taktis di waktu Jumat malam di tengah makam leluhur. Juga ilmu membedakan apakah yang di dekat kita itu manusia yang sedang sembunyi atau jin, dibisikkan di makam gelap dan saya bisa menemukan puisi kehidupan yang mendebarkan.

Saya kemudian hari bisa menyusuri jejak atau riwayat leluhur karena informasi dasarnya mungkin sudah saya hirup di malam itu.

Siaran wayang kulit yang disiarkan radio swasta dan ditangkap radio transistor tetangga paling saya suka adalah saat dalang melantunkan suluk yang membuat nglangut diselingi suara rebab dan satu dua pukulan gamelan lambat. Saya seperti masuk alam sunyi, ngungrum, puisi tak terkatakan indah mencengkeram kesadaran. Berkali-kali dan selalu saya rasakan ini setiap saya mendengarkan siaran wayang kulit.

Suara dalang, Mbah Timbul misalnya, ketika menutup pertunjukan juga membuat saya nglangut. Apalagi ketika suatu hari saya bersama Mohammad Sobary di pendapa Parangkusumo menyaksikan Mbah Timbul memainkan wayang golek sebagai simbol agar penonton mencari atau nggoleki lakon wayang yang baru semalam suntuk dipertunjukkan. Yang teringat biasanya adegan gara-gara atau limbukan.

Saya pun sering nggoleki kawruh di dalam wayang kulit yang ketemu malah suara sinden yang merak ati. Puisi sejati di dalam wayang jarang tergenggam sehabis nonton. Bagi saya ini semacam bencana budaya. Nonton wayang kok ora ketemu wayange malah hanya ketemu suara sinden. Tapi menjelang tidur siang baru muncul sunyi kehidupan karena saya seperti mendengar kembali suluk dalang itu.

Suatu hari saya diajak Adil Amrullah, adik Mbah Nun, ke Menturo. Naik bus dari Yogya sehabis Isya’. Turun di Peterongan, jalan kaki menuju Menturo Somobito. Berjalan dalam kegelapan hanya diterangi bintang di langit. Lewat jalan desa dan jembatan yang mendebarkan sekali. Adil, karena hapal jalannya dia berjalan agak cepat, saya mengikuti dia. Kalau tadi di dalam bis kami gayeng ngobrol, di dalam perjalanan ini kami lebih banyak diam.

Saya betul betul menemukan sunyi desa malam hari. Tiba tiba dari pengeras suara masjid terdengar suara orang tarhim dengan irama adzan Subuh. Saya betul-betul hanyut karena suasana justru makin nglangut. Saya seperti mendengar suluk model lain. Ada sunyi justru muncul di antara bunyi dan nada tarhim itu. Sunyi yang tak terpahami tetapi sangat bisa dinikmati. Ada kerinduan pada hal yang transenden.

Memang, kepada sunyi saya bisa belajar banyak. Termasuk ketika penasihat Nahdlatul Muhamadiyyin, Pak Daliso Rudianto berkata lirih, “Kang, kalau bisa berdzikir dan bertasbih dengan intens dan sudah bisa mendengar bagaimana batu berdzikir, bagaimana pohon berdzikir, bagaimana semut berdzikir dan bagaimana malam ini juga berdzikir dan membaca tasbih itu baru ampuh.”

“Itu jelas kelasnya Rasulullah. Kita manusia biasa sulit sampai ke maqom itu.”

“Ikhtiar menuju kualitas dzikir seperti itu boleh.”

“Ya, tapi waktu shalat saja saya sering tidak khusyuk. Badan bergerak dan mulut komat-kamit sesuai kaifiyah shalat Nabi, tapi ingatan saya malah sering tertuju berita yang belum diketik, sebungkus nasi rendang, dan es teh manis dalam plastik je,” jawabku.

Pak Daliso hanya tertawa.

“Saya juga. Kadang ingatan saya waktu shalat malah kesana kemari. Teringat tema diskusi malamnya.”

Kami berdua sama sama tertawa. Mentertawakan diri sendiri yang kadang gagal khusyuk dalam shalat.

Belajar kepada sunyi ternyata tidak mudah. Apalagi sunyi dan gelisah yang menyatu. Seperti sunyi dan gelisah seorang Al-Amin ketika menyaksikan penderitaan perempuan zaman itu yang kawin secara poliandri dan ketika baru beberapa hari melahirkan sudah dipanggil oleh suaminya yang lain (entah suami kedua atau ketiga) untuk melayani hasratnya. Dia meninggalkan bayinya beberapa waktu demi memuaskan suaminya itu.

Al-Amin tidak bisa menemukan jawaban untuk masalah seruwet ini. “Hanya langit yang bisa menjawab,” batin Al-Amin sambil mendaki Bukit Cahaya, mendekati langit sarang sunyi, dan bertafakur di sebuah gua. Betul, Penguasa Langit yang Perkasa mengirim malaikat Jibril, menyampaikan Wahyu pertama.

“Bacalah!”

Dalam konteks ini dan kini, belajar kepada sunyi adalah dengan membaca sunyi itu sendiri. Bacalah sunyi, akan ketemu puisi yang sejati.

Yogyakarta, 26 Mei 2021

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version