CakNun.com

Nggak Gaul Ama Tuhan

Corona, 22
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Bisa jadi saya memang bodoh, tidak intelektual, tidak terdidik oleh Sekolah. Tapi pada pandangan saya, sampai jangka waktu sangat lama Ilmu manusia seakan-akan belum juga memahami bahwa segala sesuatu dalam hidupnya ada yang bersifat mutlak dan ada yang nisbi. Ada yang absolut ada yang relatif. Kegagalan utama 20 milenial hidup manusia adalah kecenderungan sangat besar, buta dan maniak untuk menisbahkan kemutlakan kepada dirinya sendiri.

Terjadi semacam intellect malfunction atau logic malfunction pada kehidupan manusia selama 2020 tahun. Uniknya Tuhan sendiri mengumumkan pernyataan: “aktsaruhum la ya’qilun”, “aktsaruhum la yatafakkarun”. Kebanyakan manusia tidak menggunakan akalnya. Ditambah lagi manusia membikin idiom “akal sehat”, seolah-olah ada akal yang tidak sehat. Padahal yang ada adalah manusia sehat kalau pakai akal, dia sakit kalau tidak menggunakan akal. Bahkan puncaknya, penyalahgunaan akal oleh manusia menghasilkan tidak hanya sakit, tapi memproduksi “syaithan” alias setan.

Setan adalah produk Jin dan Manusia yang mengalami malfungsi akal melalui ketidakjujuran berpikirnya, memanipulasi objektivitas ‘aqliyah-nya. Sampai memuncak: manusia melihat bahwa dia atau merekalah segala-galanya dalam kehidupan. Mereka yang menumbuhkan janin menjadi bayi, kemudian bayi berisiniatif keluar dari Rahim Ibunya dengan terlebih dulu kursus bagaimana tekniknya. Manusia yang tidak hanya menanam padi, tapi menumbuhkannya dan membuatnya panen. Manusia yang memutar Bumi serta benda-benda semesta semuanya pada sumbunya, dan mengelilingi induknya dengan ukuran tertentu. Bahkan ada suatu aliran berpikir yang menyatakan bahwa manusialah yang menciptakan Bulan dengan suatu upaya teknologi.

Dari seluruh perilaku peradaban manusia hingga abad 21 ini, tercermin bahwa mereka tidak butuh-butuh amat kepada Tuhan. Salah satu sebabnya adalah karena semacam gagal bergaul dengan Tuhan. Misalnya, di Maiyah dikenal rumusan: “Apa saja yang bisa dijangkau oleh akal, gunakanlah ilmu. Apa saja yang tidak mungkin dijangkau oleh akal, pakailah iman”. Kalau dengan ilmu dan pengetahuannya seseorang meyakini bahwa “ini garam”, keyakinan ilmunya itu berbeda serius dengan keyakinannya kepada Tuhan dan apapun lainnya yang tak tersentuh oleh akalnya.

Kalau dilembagakan secara kognitif: keyakinan ilmu tidak sama dan memang bukanlah keyakinan Agama. Bahkan kalau Tuhan sendiri menyatakan “qul huwallahu Ahad”, “Katakanlah, Ia adalah Allah yang Tunggal” — maka tunggalnya Allah bukanlah sebagaimana yang dipahami manusia sebagai tunggalnya yang bukan Allah. “Satu”-nya Allah tidak sama dengan “satu” biji jagung atau kedelai. Bedanya bagaimana? Itu pertanyaan akal dan ilmu, untuk sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan ilmu. Di sinilah letak bias ilmu pengetahuan manusia, dari zaman primitif sampai ultramodern sekarang ini. Itulah liang sumber kesombongan manusia. Itulah ranjau yang menjebak manusia memasuki kehancurannya.

Manusia yang di dalam jiwanya terdapat cinta kepada Tuhan, terdorong untuk melakukan tafakkur, semedi, uzlah, ijtihad dan ikhitar ilmiah. Bagi manusia yang tidak punya romantisme dengan peran Tuhan, disandera oleh kemalasannya dan mengambil jalan pintas dengan menuhankan dirinya sendiri. Di puncaknya manusia berani, sombong dan tidak tahu malu mendirikan Lembaga Hak Cipta, copyright institution — memangkas alur pemahaman sejarahnya atas segala sesuatu. Kalau di pikirannya terbersit sesuatu, ia menyangka itu bikinannya sendiri.

Kalau ia menciptakan lagi atau menemukan sesuatu dalam kehidupan, ia menyebut dirinya inventor, penemu, seolah-olah tidak ada faktor lain di luar dirinya. Itulah sebabnya dunia ilmiah tidak pernah punya tema untuk meneliti dan merumuskan apa beda antara inspirasi, ilham, karamah, wahyu dlsb. Sampai semodern ini, kita hanya sampai tahap nggebyah uyah belaka soal sangkan paran inspirasi itu.

Maka sedahsyat ini trauma Corona, tapi frame berpikir manusia sedunia tidak sampai ke “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Mindset kita bukan itu sama sekali, selain hanya dicantumkan di kertas atau teks Berita Duka. ***

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version