CakNun.com

Sambung Sedulur

Milad Gambang Syafaat Ke-26
Gambang Syafaat
Waktu baca ± 2 menit

Dua puluh enam tahun adalah jarak waktu yang panjang untuk sebuah perjalanan kebersamaan. Ia tidak hanya mencatat usia, tetapi menyimpan jejak laku, kesetiaan, dan ketekunan dalam merawat hubungan antarmanusia. Gambang Syafaat tumbuh bukan sebagai ruang yang mencari kemenangan pendapat, melainkan sebagai forum perjumpaan—tempat orang-orang datang dengan keragaman latar belakang, kegelisahan, dan cara pandang, lalu duduk bersama dalam suasana belajar dan saling mendengarkan.

Sejak awal, Gambang Syafaat hadir dengan kesadaran bahwa persaudaraan tidak dibangun dari keseragaman. Justru dalam perbedaanlah manusia belajar tentang adab, kesabaran, dan kebijaksanaan. Di tengah dunia yang semakin mudah terbelah oleh opini, identitas, dan kepentingan, Gambang Syafaat memilih untuk menjaga ruang dialog agar tetap teduh. Ruang di mana perbedaan tidak disangkal, tetapi dirawat agar tidak berubah menjadi jarak.

Tema “Sambung Sedulur” menjadi penegasan dari perjalanan panjang itu. Menyambung sedulur berarti menyadari bahwa hubungan antarmanusia tidak selalu utuh dan rapi. Ada masa ketika ikatan terasa renggang, ada saat ketika kesalahpahaman mengendap, bahkan ada kondisi ketika perbedaan nyaris memisahkan. Namun, laku menyambung adalah keberanian untuk kembali mendekat—dengan niat baik, kerendahan hati, dan kesediaan untuk memahami.

Selama 26 tahun, Gambang Syafaat telah menjadi ruang temu lintas generasi. Banyak orang datang dan pergi, membawa cerita hidupnya masing-masing. Tidak semua pulang dengan jawaban yang sama, tetapi banyak yang pulang dengan kesadaran baru: bahwa hidup dapat dijalani bersama tanpa harus selalu sepakat. Bahwa persaudaraan justru tumbuh ketika manusia mau saling memberi ruang.

Nilai ini sejalan dengan falsafah Jawa yang menempatkan rukun sebagai dasar kehidupan bersama. Rukun bukanlah keadaan tanpa perbedaan, melainkan kemampuan untuk hidup berdampingan dengan adab. Di dalamnya hidup sikap tepa slira—menimbang perasaan orang lain sebelum bersikap—dan eling, kesadaran bahwa setiap manusia sedang menjalani laku hidupnya masing-masing. Gambang Syafaat menjadikan nilai-nilai ini bukan sekadar wacana, tetapi praktik yang terus dihidupkan dalam forum-forum perjumpaan.

Di tengah refleksi ini, visual yang menyertai tema milad ke-26 hadir sebagai penanda simbolik. Tangan terbuka yang digunakan merujuk pada Abhaya Mudra, sebuah gestur dalam tradisi Buddha yang bermakna ketiadaan rasa takut, perlindungan, dan niat damai. Ia adalah bahasa tubuh yang universal—tangan yang tidak mengancam, tidak menggenggam, tidak menunjuk—melainkan hadir untuk menenangkan.

Padang yang luas menjadi simbol ruang bersama: hamparan tempat setiap orang boleh hadir apa adanya. Seperti Gambang Syafaat yang selama 26 tahun membuka ruang bagi dialog, perenungan, dan pencarian makna hidup secara bersama-sama. Di sanalah nilai hamemayu hayuning bawana menemukan wujudny—merawat keindahan dunia dengan cara merawat hubungan antar manusia.

Di usia ke-26 ini, Gambang Syafaat kembali menegaskan niat awal perjalanannya: menyambung sedulur. Bukan untuk menyeragamkan pikiran, melainkan untuk menjaga kedekatan. Bukan untuk meniadakan perbedaan, tetapi untuk memastikan bahwa perbedaan tetap berada dalam bingkai rukun dan welas asih.

Lainnya

Semau-maumu

Semau-maumu

Penguasa rebutan kuasa atas perut bumi
Paguyuban masyarakat
ikut antre jatah tambang.
Rakyat di bawah ikut bersorak
selama ada bantuan dan subsidi.

Redaksi
Redaksi
Exit mobile version