Semau-maumu

Selamat datang di zaman “semau-maumu”.
Penguasa rebutan kuasa atas perut bumi
Paguyuban masyarakat
ikut antre jatah tambang.
Rakyat di bawah ikut bersorak
selama ada bantuan dan subsidi.
Semua mau hidup “seenaknya sendiri”
menuruti nafsu, tapi lupa bahwa
semua pilihan pasti ada akibatnya.
Hutan habis, sungai menghitam, udara jadi racun,
tapi kita masih bisa bercanda:
“Yang penting aku kebagian,
urusan alam belakangan.”
Manusia modern senang merasa hebat sendiri:
paling bebas, paling paham,
merasa tak butuh Tuhan, tradisi, nasihat.
Tapi di sisi lain, justru di situ letak kekonyolannya:
hidup di dunia yang fana,
terikat umur, terikat maut,
tapi berperilaku seolah dirinya pusat semesta.
Tapi siapa lah orang Maiyah kok sok mengingatkan,
kalau Tuhan saja tak didengarkan.
Kalau wahyu Tuhan saja diabaikan,
apa lagi ucapan manusia biasa seperti kita?
Kalau kamu tetap memaksa hidup seenaknya, silahkan.
Tapi jangan pura-pura terperanjat
kalau alam semesta marah.
Jangan pura-pura kaget
kalau nanti maut datang
dan semua ‘semau-maumu’ itu
harus kamu pertanggungjawabkan.
Mbah Nun sudah mengingatkan
lewat lagu Semau-maumu:
Kalau memang itu maumu
Mencari bahagia dengan menuruti nafsu
Terserah kamu…
Pandailah sendiri dan bodohlah sendiri
Kehidupan dan kematian
Keuntungan dan kerugian
Kau sendiri yang menentukan
Sesudah Tuhan
Ke utara atau ke selatan
Cahaya atau kegelapan
Kau sendiri yang mengambil keputusan
Buat apa kumengingatkan
Kalau Tuhan saja tiada engkau dengarkan
Silahkan jalan
Hebatlah sendiri dan konyollah sendiri
Kenikmatan dan kepuasan bukanlah pada khayalan
Tapi di dalam sehatnya akal pikiran
Mencari rahasia Tuhan
Sejatinya kebahagiaan
Memijakkan kaki di bumi kenyataan
Lampiaskanlah semau-maumu
Hanyutkanlah diri sesuka-sukamu
Telanlah api dunia sekenyangmu
Tapi jangan sesalkan akan cepat datang mautmu
