Ngaai ma Dodera: Napak Tilas Jejak Mbah Nun di Kesultanan Ternate


Mbah Nun, pada akhir Oktober 2011, dianugerahi gelar Ngaai ma Dodera oleh Kesultanan Ternate yang memiliki makna “Sebuah pohon rindang, sebatang kayu, atau tempat di mana burung-burung hinggap untuk berlindung”. Menurut cerita salah seorang komandan militer Kesultanan Ternate, Ngaai ma Dodera juga pernah menjadi nama sebuah desa di kecamatan Malifut, Halmahera Utara. Juga menjadi nama sebuah pulau di kepulauan Bacan. Gelar Ngaai ma-Dodera untuk Mbah Nun merupakan gelar pertama dan satu-satunya yang pernah diberikan oleh Kesultanan Ternate.
Hari itu, dalam rangkaian napak tilas perjalanan Mbah Nun, bertepatan dengan Milad Mbah Nun ke 72, kami berkunjung ke Kesultanan Ternate untuk bersilaturahmi kepada Sultan Hidayatullah Sjah II di Kedaton Kesultanan Ternate. Beliau adalah Sultan ke 49 yang menggantikan ayah beliau: Sultan Mudaffar Sjah almarhum. Sultan Mudaffar Sjah-lah yang menganugerahi Mbah Nun gelar tersebut.
Sultan berkenan menerima kami dalam 2 waktu. Hari pertama, kami diterima Sultan dalam suasana semi formal di beranda samping Kedaton. Pertemuan malam itu hanya berlangsung sekitar 20 menit dikarenakan malam sudah larut dan Sultan belum sepenuhnya bugar setelah melakukan perjalanan panjang mengunjungi beberapa wilayah di Kesultanan Ternate.
Di hari kedua, menjelang sore, kami kembali diterima Sultan dalam suasana santai di beranda samping Kedaton. Kami bertukar pikiran dengan Sultan selama sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tentang Mbah Nun, tentang pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan Mbah Nun, tentang pernak-pernik sejarah Kesultanan Ternate yang selama ini tidak dimuat dalam buku-buku sejarah, dan beberapa hal lain.

Dalam pertemuan itu, Sultan didampingi Sekretaris Kesultanan (Sekretaris Negara) dan Hukum Soa sio (Menteri Dalam Negeri). Kami disuguhi kue dan secangkir kopi. Benar-benar mencerminkan bagaimana kehidupan Sultan yang bersahaja dan rendah hati. Di pertemuan siang hingga sore itu, Sultan pun hanya mengenakan kaos.
Menurut Sultan Hidayatullah Sjah, di masa kecil, putra-putra Sultan Ternate akan dititipkan untuk diasuh oleh rakyat biasa. Termasuk beliau. Hal ini bertujuan agar kelak jika memimpin negeri, putra-putra tersebut benar-benar pernah merasakan hidup sebagai rakyat jelata. Bukan hanya menyelami atau berempati kepada rakyat, tapi benar-benar menjadi rakyat.
Setelah bertukar pikiran selama sekitar 1,5 hingga 2 jam, Sultan sudah dijadwalkan bertemu dengan rakyat Kesultanan Ternate di bagian lain Kedaton. Kami pun melanjutkan bertukar pikiran dengan Sekretaris Kesultanan (Sekretaris Negara) dan Menteri Dalam Negeri Kesultanan Ternate hingga menjelang maghrib.
Ternate adalah sebuah Kerajaan Islam yang sudah berdiri sejak 1254. Satu masa dengan kerajaan Singhasari di Jawa< Timur. Pada masa keemasannya, kekuasaan Kesultanan Ternate mencakup wilayah yang sangat luas. Sejak pulau Timor di Selatan hingga Filipina bagian Selatan. Tidak heran jika Filipina bagian selatan dihuni oleh muslim. Bahkan, Kesultanan Ternate pernah menguasai Kepulauan Marshal di Pasifik barat -tempat Amerika menguji bom atom- yang terletak tepat di tengah-tengah antara Jayapura dan Hawai. Jika menganut deklarasi Juanda, maka bisa jadi teritori Kesultanan Ternate lebih luas dibanding luas Republik Indonesia saat ini. Sebuah imperium yang tak pernah dikenalkan di buku sejarah sekolah.
Menjelang maghrib, kami mohon diri. Dengan banyak informasi dan pengalaman baru. Sampai hari ini, Sultan dan beliau-beliau yang hadir bertukarpikiran dengan kami menyampaikan bahwa beliau-beliau tetap menjaga silaturahmi secara pemikiran dan batin dengan Mbah Nun.*
Ternate, Akhir Mei 2025