Api Yang Tak Pernah Padam


HARI INI, 72 tahun yang lalu, di sebuah desa kecil bernama Menturo — sekitar 15 kilometer timur laut pusat Kota Jombang — lahirlah seorang bayi laki-laki dari pasangan Bapak Muhammad Lathif dan Ibu Halimah.
Tak ada yang menyangka, bayi itu kelak tumbuh menjadi sosok yang istimewa — seorang penjaga nurani zaman, yang dengan teguh dan konsisten menyuarakan kebenaran. Qulil haqqa walau kana murran — sampaikanlah kebenaran, meskipun pahit. Prinsip ini bukan hanya omon-omon, tapi benar-benar disemai, ditumbuhkembangkan, disiangi, meski harus menghadapi penolakan, fitnah, hingga serangan dari barisan buzzer bayaran. Kebenaran, adalah amanah yang harus ditegakkan, apapun risikonya.
Dikenal sebagai Emha di kalangan seniman Yogyakarta, dan akrab disapa Cak Nun oleh para sahabat, kini dipanggil dengan penuh takzim sebagai Mbah Nun — oleh anak cucunya, Jamaah Maiyah.
Saya merasa sangat bersyukur pernah mengenal Mbah Nun dari jarak yang begitu dekat. Tatkala sedang berada di penghujung studi di Yogyakarta, takdir yang membawa ikut bergabung di sebuah rumah kontrakan sederhana di kawasan Patangpuluhan.
Rumah Patangpuluhan bukan sekadar tempat tinggal. Adalah ruang hidup yang dinamis, tempat berbagai arus pemikiran bersilangan dan berdialektika. Hiruk pikuk tak pernah padam. Para seniman, wartawan, aktivis LSM, hingga para tokoh nasional datang dan pergi — membawa ide, mempertemukan gagasan, dan menciptakan getaran perubahan.
Rumah Patangpuluhan, sebagaimana sering disampaikan oleh Mbah Nun, adalah tempat belajar yang hidup. Seperti Kawah Candradimuka, di sanalah anak-anak muda datang untuk tumbuh bersama, berdialog, bereksperimen, dan mencari arah dalam kehidupan dengan hati terbuka dan pikiran yang jernih.
Bagi Mbah Nun, era Patangpuluhan — khususnya sejak 1980-an hingga 2000-an — merupakan salah satu fase paling produktif dalam hidup dan kiprah kepenulisannya. Dari rumah sederhana ini, lahir berbagai gagasan besar yang melintasi batas-batas geografis, menyebar melalui media massa nasional maupun daerah.
Tulisan-tulisannya dinantikan oleh para pembaca setia, hadir secara rutin di berbagai kolom majalah dan surat kabar ternama seperti Tempo, Panjimas, Zaman, HumOr, serta harian Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Surabaya Post, Jawa Pos, Republika, hingga tabloid DeTik dan Adil. Dari rumah Patangpuluhan lahir puluhan — bahkan mungkin ratusan — buku, yang kini menjadi rujukan penting dalam literatur sosial dan budaya Indonesia.
Tak hanya lewat tulisan. Dari Patangpuluhan, lahir pula karya-karya pementasan yang mengguncang wacana publik. Salah satu yang paling fenomenal adalah Lautan Jilbab, naskah drama yang diadaptasi dari syair-syair dengan judul sama. Karya ini bukan hanya menggugah, tapi juga menjadi tonggak penting dalam diskursus keislaman dan kebudayaan Indonesia pada masanya.
Hari ini, di usianya yang ke-72, api yang dinyalakan Mbah Nun belum padam. Terus menyala — bukan sebagai nyala yang membakar, tapi sebagai cahaya yang menuntun. Hadir bukan sebagai menara yang menjulang, tetapi sebagai pelita yang berjalan bersama. Mendekat, merangkul, memeluk.
Dalam era yang makin gaduh oleh narasi-narasi omon-omon, suara Mbah Nun tetap jernih karena bersumber dari mata air yang bening: cinta, kejujuran, dan tauhid. Mbah Nun tak sekadar berbicara, Mbah Nun menghadirkan makna. Mbah Nun tak hanya menulis, Mbah Nun menanam hikmah. Mbah Nun tidak sedang mencari pengikut, Mbah Nun mempersilakan siapa pun untuk menjadi manusia.
Bagi kami, anak cucu Jamaah Maiyah, sosok Mbah Nun bukan sekadar guru. Mbah Nun adalah simpul kebersamaan, tempat kembali yang menenangkan, sekaligus arah yang senantiasa mengingatkan.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesehatan, usia yang panjang, serta keberkahan yang dalam dan meluas bagi Mbah Nun. Semoga kami — anak cucu, generasi yang tumbuh dari tanah-tanah Maiyah — mampu terus menjaga, mengalirkan, dan meneruskan spirit keikhlasan, keberanian, serta ketulusan yang telah Mbah Nun piwulangkan kepada kami.
Al Fatehah.