CakNun.com

Sedia Garu Sebelum Hujan

Tulisan ini terhimpun dalam buku Kiai Sudrun Gugat, Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 216-219
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Kiai Sudun Gugat, Penerbit Grafiti, 1994
Kiai Sudun Gugat, Penerbit Grafiti, 1994

Setahun belakangan ini kita asyik dan prihatin menyaksikan berbagai peristiwa besar di muka bumi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kemudian, berbagai peristiwa yang lebih besar dan lebih mendasar akan kita songsong puncak-puncaknya pada dua tiga tahun mendatang.

Apa yang akan bisa kita lakukan?

Sesungguhnya kita tak usah menjadi futurolog ulung atau ilmuwan komplet atau ahli nujum untuk yakin bahwa kita memang sedang menapaki ambang pintu gerbang hari baru sejarah peradaban umat manusia. Sebab, sorot mata orang-orang di sekitar Anda, garis merah perilaku lingkungan alam dan manusia, bahkan takaran warna dan nuasa langit pada senja dan fajar hari — adalah pelaku-pelaku perubahan itu.

Saya bukan sedang bicara klenik atau alam gaib. Sebab, manusia itu khalifah, perekayasa: jika wereng menyerbu sawah, jika kemarau molor atau hujan keliru musim, sesungguhnya bisa kita temukan sangkan paran-nya di dalam kerangka perekayasaan umat manusia atas realitas sosial dan realitas natur.

Anda boleh memaknakannya secara harafiah ataupun amsal: wereng dalam arti sesungguhnya, berjuta-juta yang menaburi padi nasib rumah tangga Anda, atau “wereng-wereng” bangsat yang kini berlaga di Teluk. Juga bagaimana reaksi Anda jika segera pada tahun-tahun di depan hidung kita para “wereng” akan mematuk dan saling menyengat satu sama lain — dan itu akan menentukan apakah Anda bisa membeli beras atau tidak, bisa bayar listrik dan iuran teve atau tidak.

Katakanlah hidup adalah permainan sepak bola di lapangan. Dewasa ini beberapa pemain bertabrakan. Ada yang dijegal dari belakang, ada yang nakal tapi teriak bahwa ia dinakali, atau macam-macam lagi. Nanti jika “pintu gerbang” itu mulai kita masuki, akan ada semacam kekisruhan di wilayah tertentu dari lapangan. Pada saat itu, Anda boleh menyiapkan sesuatu untuk memberi isi baru di wilayah-wilayah tertentu di lapangan. Dan, kesiapan itu mestinya telah Anda rintis sejak hari ini, bahkan sejak kemarin-kemarin. Terserah apa konteksnya, bidangnya, stratanya, skalanya, apa dan siapanya, maupun jaringan-jaringannya. Pun software maupun hardware-nya.

Oleh karena itu, saya bertanya, apa yang bisa kita lakukan? Mungkin Anda seorang muslim. Anda tahu bahwa Islam bukanlah perniagaan kapitalistik dosa-pahala. Anda tahu, Quran adalah ilmu dan metode bagaimana “bercocok tanam sejarah” dalam kehidupan yang jatahnya cuma sekali ini.

Ada ribuan cara untuk mendekati Quran. Ada ribuan kerangka metode, terminologi, acuan yang dikandung Quran itu sendiri untuk melihat dirinya sendiri, agar Anda capai kesejahteraan “perkawinan” antara empat titik: Allah, alam semesta, manusia, serta ayat-ayat-Nya. Ada metoda surah (baca: serat), ada terminologi “juz”, ada galaksi angka-angka, ada pembagian rasional ilmiah biasa, ada parsial-kuantitatif dan holistik-kualitatif — pokoknya tak terhingga jumlahnya dan bersifat “memuai” seperti halnya semua makhluk Allah. Di dalam setiap terminologi itu, Anda temukan bukan hanya surga dan neraka, tapi juga titik-titik refleksi tubuh manusia, filsafat gerak, sudut dan lingkaran, watak manusia dan kadal, politik semut, teknologi lebah-lebah, sakit mag, atau apa pun saja hingga yang paling detail dari sistem-sistem nilai personal maupun sosial yang diperlukan manusia. Kalau Quran tak mengandung itu semua, jangan percaya bahwa ia wahyu dan bahwa ia semesta ilmu bagi perjalanan sejarah manusia dan alam semesta.

Di antara ketakterhitungan metode yang semakin memuai paralel dengan pemuaian perspektif kesadaran pikiran dan spiritualisme manusia itu, akhir-akhir ini di kalangan muslimin tertentu semakin populer dipelajari dan dipakainya metode tujuh ayat terakhir surat al-Hasyr. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyatakan bahwa itu merupakan ayat “favorit” Allah sendiri. Dengan demikian, ia pasti merupakan wanti-wanti yang teramat serius.

Tentu saja tulisan ini bukan “forum ngaji” di beranda masjid pesantren, dan saya memang sama sekali bukan kiai. Tetapi, kita bisa melihat bersama hamparan tujuh ayat itu: tantangan futurologis, kritik terhadap ateisme ilmu pengetahuan beserta efek destruktifnya, dialektika duniawi-ukhrawi dan jarak sutra sorga-neraka. Jaminan komprehensi keilmuan Quran yang kemudian dianatomikan melalui peta kosmologi ilmu tentang hakikat dan realitas yang padat penuturan substansial sebagian asmaul husna itu. Anda temukan segala macam acuan bagi setiap bagian iptek, ilmu politik dan perubahan, sampai pun ilmu gerakan bunga-bunga, dan demokrasi manusia terhadap dirinya sendiri, terhadap tetumbuhan, hewan, jin, para malaikat, dan Allah sendiri yang merupakan “aktivis” kehidupan.

Anda insya Allah mengerti bagaimana agar tak terjebak dalam pengklenikan terhadap realitas Qurani itu, juga untuk tidak picisan menjadi sebuah “aliran” atau “sekte”. Begitu Anda mengungkung diri menjadi “sekte”, berdirilah kembali hijab, tembok, di antara Quran dengan mata pandang anda.

Apa yang saya maksudkan kali ini hanyalah bagaimana dari acuan itu kita temukan kesanggupan untuk “mengisi lapangan” ketika pada suatu hari terdapat “kekosongan-kekosongan”. Anda yang pemuda-pemudi, apa yang Anda siapkan untuk masa kosong itu. Anda yang berkumpul dalam jamaah-jamaah, lembaga, organisasi, remaja masjid, mahasiswa, pedagang, kaum pinggiran atau tengahan, atau di mana pun maqam Anda dan apa pun wujud eksistensi sosial Anda: apa yang telah dan sedang Anda persiapkan untuk tahun-tahun esok lusa ini.

Anda musti mengerti itu, setidaknya agar Anda tidak hanya bersibuk mempersiapkan acara romantik — nina bobo dengan mubalig pelawak, mubalig bintang film, atau berbagai macam mubalig jadi-jadian — yang pada suatu hari menyeret Anda beronani dalam kepalsuan dan realitas semu. Kita semua sebaiknya menyiapkan diri menjadi subjek perekayasaan khalifah yang cerdas dan jeli — sebelum memasuki “pintu gerbang” esok hari yang semakin dekat.

Saya tidak ingin menganjurkan “sedialah payung sebelum hujan”, sebab kata-kata mutiara kita itu sialan betul. Kalimat yang kita hapal sejak SD itu merugikan proses pencerdasan bangsa dan melemahkan etos kekhalifahan. “Hujan” diasumsikan sebagai “ancaman”. Dan terapinya adalah “payung”: kita lantas terdidik untuk hanya pandai mencari perlindungan, mencari cantolan atau santunan. Pantas sarjana-sarjana pada umumnya berprofesi mencari upah, bukan menciptakan upah.

Padahal, “hujan” juga bukan ancaman. Bagaimana mungkin kehidupan berlangsung tanpa hujan. Hujan dan kemarau tergenggam di tangan daya rekayasa atau etos kekhalifahan manusia yang memimpin bumi.

“Hujan deras memang tampaknya akan mengguyur bumi kita. Saya ingin bilang. ‘Sedia garu sebelum hujan!’ Kini tentu Anda sudah nyingkal tanah alot itu, meskipun kelihatan Anda sibuk nggandang dan dangdutan saja sehari-hari. Nanti, hujan tiba dan Anda sudah siap garu. Sebab, sementara itu telah pula Anda siapkan benih-benih yang akan Anda persemaikan sesudah tanah sawah digaru sambil rengeng-rengeng. Bahkan telah pula Anda siapkan tali jidar untuk tandur: semacam konsep tata sosial baru yang lebih adil dan merata. Lebih dari itu, Anda saya lihat telah mulai siap pula melakukan dhadhak: mencabut rumput-rumput liar di sela-sela batang padi.”

30 September 1990

Lainnya

Exit mobile version